Senin, 03 Maret 2014

dear love (part IV)

Diposting oleh widya emblogs di 11.15


Calvin duduk tenang di ruang tamu dalam apartemen mewahnya. Semua keterangan yang diberikan oleh pegawai ayahnya didengarnya
baik-baik. Setelah pegawai itu selesai membeberkan semua hasil penyelidikannya, Calvin mengangguk kecil dan memintanya pergi. Kemudian ia merenung sendiri.

Dennis Lionardi.....aku sudah tahu semuanya...
------------

Keesokkan harinya...
“Dennis, ada yang mencarimu di luar,” teriak salah satu teman kerja Dennis.

Dennis yang sedang bersama dengan Heru memperbaiki pesanan seorang pelanggan, langsung membersihkan tangannya dan tergopoh-gopoh berlari keluar. Ia terkejut melihat Calvin tengah berdiri di sana menantinya. Kehadiran pria itu terlihat paling mencolok ditengah-tengah para karyawan. Tapi setelah melihat Dennis, Calvin langsung memberi isyarat padanya untuk bicara di luar. Dennis hanya mengikutinya saja sampai di tempat parkir Calvin.

“Wah, ada perlu apa nih kau sampai dating kemari? Aku baru saja mau berangkat ke rumah Ann.” Dennis menghampiri Calvin yang menunggu tepat di depan mobilnya.

Tapi entah kenapa Calvin mengeluarkan sejumlah uang dari balik jas mahalnya, “Berapa semua biaya pekerjaanmu?”
”Maksudmu?”
”Aku akan bayar tunai, hari ini tidak perlu datang lagi ke rumah Ann.”
”Kenapa? Jam itu kan belum selesai kuperbaiki.”
”Tidak masalah, lagipula tadi aku sudah terlanjur menyewa tukang lain dari rekomendasi temanku. Tukang itu yang akan melanjutkan sisa pekerjaanmu.”

Dennis memiringkan kepalanya, menatap Calvin samar, “Kenapa kau tidak mengizinkan aku mengerjakan pekerjaanku sampai selesai? Apa kau kira aku tidak sanggup?”
”Aku tidak ragu pada kemampuanmu. Seperti yang sudah kubilang tadi, aku sudah menyewa tukang lain. Ini, ambil saja bayaranmu.”

Tapi dengan sopan Dennis menepis uang itu, “Pekerjaan belum kuselesaikan, mana boleh aku terima bayaran? Simpan saja untuk tukang servis baru itu.”

Calvin mengangguk kecil. Kemudian ia menyimpan uang itu kembali ke dalam saku jasnya dan langsung menatap Dennis dengan dingin, “Kelak aku harap kau tidak perlu datang ke rumah Ann lagi.”
“Hah?”
“Kau dengar kataku tadi kan?”

Dennis terdiam sesaat.

“Jangan kau kira aku tidak tahu apa-apa tentang hubungan kalian ini. Aku sudah menyelidikimu baik-baik, Dennis. Aku tahu semuanya. Kau pernah punya hubungan khusus dengan Ann lima tahun yang lalu, tapi kau mencampakkannya demi uang.”
“Aku tidak tahu cerita versi mana yang kau dengar, tapi yang pasti aku tidak mencampakkan Ann, apalagi demi uang.”
”Silahkan berdalih, tapi fakta kalau kau mendekati Ann karena ingin melunasi hutang ayahmu adalah benar kan?”

Dennis malas menjelaskan setiap kali ada orang yang menyalahkan dirinya karena itu, “Awalnya memang begitu, tapi setelah aku benar-benar menyukainya, sedikitpun aku tidak berniat menyakitinya.”

Dijelaskan sampai berapa kali pun tidak akan ada yang percaya..
“Aku tidak peduli bagaimana perasaanmu pada Ann, tapi yang je
las sekarang Ann itu tunanganku. Aku tidak suka melihat kau mondar-mondir dalam kehidupannya setelah sekian lama menghilang.”
”Tidak ada yang menghilang. Bukankah Ann sendiri yang kuliah di Inggris selama lima tahun ini dan tidak pernah pulang? Aku sama sekali tidak bermaksud menampakkan diri di depannya begitu saja, pertemuan kami terjadi secara kebetulan. Kalau kau keberatan, aku maklum. Percayalah, aku sendiri tidak berharap bisa bertemu lagi dengannya.”

Calvin melepaskan kacamata tipisnya, wajah tampannya menyiratkan kebencian yang dalam, “Dengarkan aku baik-baik, tukang servis. Aku tidak mau tahu apa-apa saat ini, aku hanya mau menegaskan padamu sekali lagi, jangan sampai kau berani dekati tunanganku itu, karena sebenarnya aku tidak yakin baik kau maupun Ann sudah saling melupakan atau belum. Aku tidak mau ambil resiko kehilangan Ann karena kau. Asal kau tahu saja, aku bisa saja berubah menjadi orang yang sangat jahat kalau aku ingin mempertahankan sesuatu.”
“Apa maksudmu?”
”Kalau kau berani mendekati Ann lagi..”
”Tunggu, siapa bilang aku mau mendekati Ann lagi?”
”Tidak usah pura-pura, aku bisa membaca semua yang ada di kepalamu itu. Kau mungkin tidak pernah kepikiran ingin merebut Ann dariku, tapi tentunya kau berharap bukan? Aku yakin kau juga sadar kau ini bukan apa-apa jika dibandingkan denganku. Apa dengan
keadaanmu yang seperti ini kau bisa merebut Ann kembali ke sisimu? Jangan mimpi disiang bolong. Memandangmu saja Ann sudah tidak sudi.”

Dennis naik pitam, tapi ditahannya, “Lalu apa maumu?”
”Aku mau kau tahu diri sedikit. Jangan dekati Ann lagi, kalau tidak aku akan memastikan kau akan menyesal seumur hidupmu. Sudah kubilang tadi, aku bisa berubah menjadi orang yang jahat kalau aku ingin mempertahankan sesuatu. Aku tahu semua latar belakang kehidupan masa lalumu yang suram, tentunya kau tidak ingin semua itu terulang lagi kan? Kalau kau masih berani merebut milikku yang paling berharga, aku pun akan berbuat hal yang sama.”
”Jangan bertele-tele! Apa maksudmu!”
”Akan kubuat kau kehilangan pekerjaanmu. Segalanya. Orang-orang yang ada disekitarmu pun akan kubuat menanggung akibatnya. Kau mengerti?”
”Keparat...”
”Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Ingat baik-baik, Dennis, aku bisa saja menjadi orang jahat. Kau tentunya tidak mau kehilangan segalanya kan?”

Dengan marah Dennis menarik kerah kemeja Calvin, tangannya mengepal marah siap meninju wajah angkuh itu, “Tadinya kukira kau orang baik-baik, kukira kau memang pantas mendampingi Ann. Tapi ternyata kau cuma orang licik yang menghalalkan segala cara untuk menekan orang lain! Apa istimewanya menjadi orang kaya yang punya kekuasaan?! Aku tidak takut padamu!!”
“Oh ya? Sekali saja kau memukulku, aku jamin kau akan menyesal seumur hidup.” Calvin menyeringai licik.

Tadinya Dennis sudah setengah mati menahan diri untuk tidak menghajar Calvin, tapi pria itu malah mencondongkan wajahnya menantang Dennis.
“Kenapa? Bukankah tadi kau bilang tidak takut padaku? Lalu kenapa kau tidak berani menghajarku?” Calvin tertawa sinis, “orang-orang pinggiran sepertimu memang paling pengecut, gampang ditekan.”
”Keparat!!”

Dennis tidak kuat menahan emosinya, dihajarnya wajah sombong itu sampai telak. Calvin terhuyung jatuh, tapi dalam sekejap ia sudah bangkit lagi. Darah menetes sedikit dari bibirnya, “Hanya segini kemampuanmu, tukang servis? Kenapa? Kurang makan jadi tidak kuat menghajar orang?! Rakyat jelata sepertimu memang memalukan. Tukang pukulku saja bisa memukul anjing lebih baik darimu!”

Dennis semakin kalap, lagi-lagi ia mengayunkan tinjunya ke wajah Calvin. Kali ini sangat keras, Calvin sampai tersungkur di bawah dan butuh waktu yang lama untuk bangkit. Nafas Dennis turun naik. Tapi kemudian ia meredakan emosinya, otaknya berpacu keras untuk berpikir.

Ada yang aneh...kenapa aku punya perasaan kalau si brengsek ini
memang sengaja minta dihajar? Seakan-akan ia yang menawarkan diri?

Belum sempat Dennis memecahkan teka-teki itu, semuanya sudah terlambat. Tiba-tiba entah dari mana sebuah taxi berhenti di depan mereka. Ann turun dari taxi itu dan tergesa-gesa menghampiri tempat mereka dengan wajah ketakutan. Dennis terperanjat menahan nafas, bagaimana mungkin Ann bisa tiba-tiba muncul?!

Berbagai kemungkinan skenario yang dirancang Calvin semuanya berterbangan di dalam benaknya. Saat Dennis menyadari kehadiran Ann yang begitu di luar dugaan, ia baru bisa menebak apa maunya Calvin itu. Sial....orang licik ini pasti sudah mengatur semuanya!!!!

Benar dugaan Dennis, begitu melihat Ann datang, tiba-tiba saja Calvin berakting meronta-ronta kesakitan sembari memegang luka di wajahnya. Ann memeganginya dengan cemas, “Calvin, kau tidak apa-apa?”
“Kenapa kau lakukan ini!!” Ann mengangkat wajahnya dan membentak Dennis dengan suara tinggi, “kenapa kau memukuli Calvin?!”

Dennis tercekat, “Ann, dengar aku baik-baik, aku tidak.....”

astaga, bagaimana aku menjelaskannya!!

“dia duluan yang mencari masalah!!”

Calvin bangkit berdiri dengan susah payah. Wajahnya tidak ada luka yang berarti, tapi tingkah lakunya dibuatnya seolah-olah ia sangat kesakitan. Ia menatap Dennis dengan akting pura-pura ketakutan,

”Aku menemuinya disini karena aku memintanya tidak perlu datang ke rumahmu lagi untuk memperbaiki jam, tapi entah kenapa dia marah sekali dan langsung menghajarku.”.
“Pembohong!! Ann, jangan dengarkan dia!!! Makhluk ini lebih licik daripada yang kau kira!!”
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kau memang menghajar
nya, Dennis!!! Bisa-bisanya kau malah balik menuduh Calvin?!Orang sepertimu mana bisa kupercaya!”
“A...apa..” Dennis semakin terpojok.
“Ann, sudahlah....jangan cari masalah lagi dengannya.” Calvin pura-pura prihatin, “kita pergi saja.”

Dennis mencekal tangan Ann, “Ann, dengarkan aku dulu! Ini tidak seperti yang kaulihat! Dia sengaja memancing emosiku...”

Ann dengan kasar melepaskan tangan Dennis,
“Keterlaluan kau, Dennis! Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi karena aku sudah melihat semuanya!”
“Tapi dia dulu yang mengancamku!! Dia sengaja mengatur semua ini supaya kau dating dan melihat semuanya! Dia berbuat seperti ini supaya kau semakin membenciku!!”
”Bicara apa kau?” Ann menatapnya dengan sinis, “aku tidak mau mendengar apa-apa lagi darimu! Cepat pergi dari hadapanku.”
”Ann, tunggu dulu!”

Ann berlari masuk ke dalam mobil Calvin, sedikitpun ia tidak menghiraukan teriakan-teriakan Dennis dari luar. Calvin menoleh ke tempatnya, tersenyum kecil kemudian langsung mengemudikan mobil itu kencang-kencang.
***

Di dalam apartemen Calvin.....
“Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu cemas. Seharusnya kau tidak perlu
datang ke sana.” ujar Calvin sewaktu Ann mengompres luka di bibirnya.
“Aku langsung datang ke sana setelah kau telepon. Tadinya kukira ada apa, kau bilang di
telepon kalau kau ingin aku ikut bicara pada Dennis. Tapi begitu sampai di sana, aku malah melihat dia sedang memukulimu.”
”Maaf....seharusnya aku tidak menyuruhmu datang.  Aku juga tidak tahu kenapa dia bisa
berbuat seperti ini. Dia menghajarku seperti orang gila saja!”

Ann meletakkan kantung kompresannya, wajahnya terlihat lesu.

“Aku tidak mengerti kenapa Dennis bisa semarah itu. Aku bilang baik-baik padanya
kalau dia tidak perlu datang lagi tapi dia langsung...”
”Calvin,” potong Ann, “ada yang harus kuceritakan padamu.”
“Tentang apa?”
“Tentang Dennis dan aku. Dennis itu sebenarnya...”
”Mantan pacarmu?”

Ann mendongak kaget, “Kau sudah tahu?”
”Josh yang memberitahuku kemarin. Aku tidak marah padamu, Ann. Lagipula itu hanya masa lalu, kau memang tidak perlu memberitahuku semuanya.”
”Tapi sebenarnya di antara kami tidak bisa dianggap punya hubungan khusus.”
”Aku percaya padamu, Ann. Sejujurnya aku memang takut setelah mendengar semuanya.
Makanya aku tiba-tiba ingin menggantikan Dennis dengan pekerja lain, karena aku  khawatir dia akan mendekatimu lagi. Aku tahu kekhawatiranku itu tidak beralasan...seharusnya aku tidak perlu berbuat begitu. Aku tidak menyangka dia akan marah besar sampai menghajarku segala...”
”Calvin...kau perlu tahu satu hal, antara aku dan Dennis benar-benar tidak ada apa-apa
lagi. Itu hanya masa lalu.”
“Kau sungguh tidak punya perasaan apa-apa lagi padanya?”

Ann tertawa kaku, “Kau becanda? Tentu saja tidak. Setelah semua yang ia lakukan padaku, mana mungkin aku masih menyimpan perasaan padanya. Lagipula....setelah melihat perbuatan dia padamu hari ini...aku jadi tahu dia memang tidak pernah berubah, tetap saja suka berbuat seenak hatinya. Dia tidak pernah berhenti membuatku kesal.”

Calvin meraih tangan Ann dan meremasnya lembut, “Tadinya aku kira kehadiran Dennis bakal mengancam hubungan kita, tapi kini aku percaya sepenuhnya padamu. Berjanjilah padaku mulai sekarang kau tidak akan menyembunyikan apa pun lagi dariku.”
”Baiklah.”
***

Malam harinya saat Ann sedang sibuk menyelesaikan tugas kuliahnya yang menumpuk, pembantu rumah datang memberitahu Ann bahwa ada seorang pria yang ingin menemuinya. Ann menyuruh pembantu rumah membukakan pintu dan bilang pada orang itu ia akan segera turun. Tapi tak lama kemudian pembantu itu datang lagi , katanya tamu itu tidak mau masuk ke dalam. Ia hanya mau menunggu Ann di luar rumah.

Dengan malas-malasan Ann mematikan laptopnya dan segera keluar dari rumah. Tamu macam apa yang lebih memilih bertemu didepan rumah daripada diundang masuk?

Sesampai di depan pagar, ia kaget melihat tamu itu ternyata Dennis.
“Mau apa kau ke sini?! Aku tidak mau bicara apa-apa lagi.” Ann segera mengambil langkah seribu meninggalkan Dennis. Tapi kali ini Dennis tidak akan melepaskannya. Ia dengan gesit menyambar pergelangan tangan Ann, memaksanya tetap berdiri di sana.

”Aku tidak rela selalu menjadi pihak yang disalahkan! Kau tenang saja, aku juga tidak akan berlama-lama di sini.” Dennis mengendurkan pegangannya, “mungkin apa pun yang kujelaskan padamu tidak akan bermanfaat, aku tahu sedikitpun kau tidak akan mempercayaiku. Tapi aku minta kali ini kau harus percaya padaku! Kejadian tadi pagi sungguh di luar kemauanku.”
”Kau memang selalu memakai alasan itu, Dennis. Apa pun yang kau lakukan selalu kau bilang di luar kemauanmu!”
“Calvin tidak seperti yang kau puja-puja selama ini! Dia datang ke tempatku, mengancamku agar tidak menemuimu lagi atau aku akan dibuatnya menyesal seumur hidup. Dia memang memiliki segalanya, uang dan kekuasaan yang aku tidak punya. Tapi aku tidak akan mau menjadi bulan-bulanannya! Terserah kau mau percaya padaku atau tidak, aku hanya mau kau tahu yang sebenarnya! Aku tidak mau kelak kau menikah dengan orang yang salah.”
”Calvin bukan orang seperti itu. Aku tidak akan percaya padamu, Dennis. Sejujurnya kukatakan padamu, aku menyesal kita bertemu lagi di taman itu. Apa kau tahu, sebenarnya aku berharap tidak pernah melihatmu lagi!” Ann menatapnya kosong, “lima tahun adalah waktu yang lama, aku baru bisa sembuh dari semua luka yang kau buat padaku itu selama lima tahun! Aku sekarang sudah punya hidup yang baru, aku bahkan sudah mulai bahagia dengan pertunanganku. Tapi tiba-tiba saja kau muncul di depan mataku dan merusak semuanya! Apa kau tidak merasa bersalah padaku, setelah aku bisa pulih kembali dari semua lukaku lalu kau mau buat luka yang baru lagi?”

Dennis diam.

“Apa hakmu menuduh Calvin orang yang salah? Aku tidak menyesal bertunangan dengannya, setidaknya aku tidak merasa tertekan setiap kali berhadapan dengannya, aku punya jaminan dia tidak akan menyakitiku dan setidaknya aku tahu dia sungguh-sungguh mencintaiku!”
”Apa bersamaku tidak ada perasaan itu?”
”Jika aku bersamamu yang akan kurasakan hanyalah kesengsaraan!
Apa kau tahu, berdiri di sini menatapmu saja aku sudah sangat menderita ?!”

Dennis terpukul sekali, “Sedalam itukah kebencianmu padaku?”
”Seharusnya kau sudah sadar sejak pertama kali kau menyakitiku. Aku tidak mengerti apa maumu sebenarnya, dulu kau bilang aku harus melupakanmu, lalu setelah aku berhasil melupakanmu kau malah memaksaku agar tidak membencimu. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa memaafkanmu! Jadi aku mohon Dennis, pergilah dari
kehidupanku. Jangan kau ganggu aku dan Calvin lagi, biarkan aku hidup lepas dari bayang-bayangmu. Tolong jangan rusak kebahagiaanku.”

”Begitu ya?” Dennis mengangguk kecil, kemudian perlahan-lahan melepaskan pegangan tangannya dari Ann, “aku hanya mau kau tahu satu hal. Aku tidak pernah ingin menyakitimu sedikitpun. Mungkin sudah terlambat bagiku untuk mengatakannya, tapi aku memang mencintaimu. Mudah bagimu untuk melupakanku, tapi aku tidak bisa
melupakanmu meskipun kau beri aku waktu selama 5 tahun atau lebih! Aku tidak akan bisa! Aku menyesal atas semua perbuatanku dulu. Aku tidak menyalahkanmu kalau kau memang sangat membenciku, aku memang bodoh telah melepaskanmu begitu saja. Kupikir itu semua demi kebaikanmu, tapi ternyata semuanya hanya akan membuatmu salah paham dan terus membenciku. Sampai kapan pun kau tidak akan percaya kalau aku sungguh mencintaimu, semua yang kulakukan, semua yang kukatakan untuk menyakitimu waktu itu, kulakukan karena terpaksa!”

Ann tercengang diam, “Kau...kau bilang apa?” Ia kaget mendengar semuanya.

“Aku tahu semua yang terjadi di antara kita tidak bisa dirubah lagi,
tapi kalau saja aku bisa memutar balik waktu....aku tidak akan sekalipun menyakiti hatimu, aku tidak akan melepaskanmu hanya karena aku merasa tidak pantas mendampingimu. Tapi waktu itu aku tidak bisa berpikir panjang, aku malah melepaskanmu begitu saja dan sekarang semuanya sudah terlambat. Aku juga menyesal kenapa kita harus bertemu lagi. Bukan hanya kau yang menderita, Ann, aku bahkan lebih menderita tapi aku selalu menyimpannya dalam hati dan sampai kapanpun juga aku tidak akan pernah bisa pulih sepertimu! Tapi aku janji tidak akan merusak kebahagiaanmu dengan Calvin. Aku juga tidak akan mengganggumu lagi kalau memang itu maumu. Kalau kau meminta aku pergi........aku akan pergi.”

Dennis menatapnya untuk yang terakhir kali, kemudian melangkah pergi, meninggalkan Ann seorang diri berdiri di sana. Tinggal Ann di sana, berusaha membunuh semua keraguan yang kini mulai merasuki
hatinya. Semakin ia mencoba untuk tidak percaya, semakin ia tenggelam dalam keraguan itu.
***

Dalam ruang kerja yang gelap itu Ann menekan nomor telepon rumahnya di Inggris, jantungnya berdegup kencang saat mendengar
suara Papa, “Papa...maaf meneleponmu malam-malam begini.”
Di ujung sana Papa tertawa, “Tidak apa-apa, sayang. Ada apa sebenarnya, sampai interlokal begini? Kamu kedengarannya sedang ada masalah.”
“Ada yang ingin kutanyakan pada Papa.”
”Ya? Tanyakan saja.”
”Lima tahun yang lalu....Papa pernah memberi cek kosong pada Dennis. Apa Papa masih ingat?”

Papa terdiam. Ada jeda panjang di antara mereka.

“Papa....tolong jawab aku yang jujur. Cek kosong itu apa pernah dicairkan oleh Dennis?”
“Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal ini?”
”Tolong, Papa. Jawab aku.”

Papa diam lagi. Yang ada hanya suara nafasnya.
“Ann, sebelum Papa mengatakan yang sejujurnya padamu. Papa mau kamu mengerti satu hal, apa yang Papa lakukan ini semuanya demi kebaikanmu. Papa takut pemuda itu akan merenggut semua kebahagiaanmu, jadi Papa...”
”Pa, tolong jawab saja pertanyaanku itu.”
“Ann......”

Jantung Ann rasanya mau copot, ia seolah-olah mati rasa. Dicengkramnya gagang telepon itu kuat-kuat, air matanya siap menetes, “Cek itu....cek itu ternyata tidak dicairkan Dennis, bukan? Ternyata dia tidak pernah memakainya...Benarkah?”
“Ann...Papa...Papa sungguh tidak bermaksud membohongimu, waktu itu Papa benar-benar mengira dia sudah memakai cek itu. Maafkan Papa, Ann, Papa tidak memberitahumu karena Papa tidak mau kamu terjerumus lebih dalam lagi dengan pemuda itu, selain itu Papa kira antara kamu dan pemuda itu semuanya sudah berakhir, jadi tidak ada yang perlu diungkit-ungkit lagi. Apa kamu sadar, Papa terpaksa melakukan ini semua demi masa depanmu? Lihatlah dirimu sekarang....kamu sudah punya segalanya, tidak kekurangan apapun juga, bukankah itu lebih baik ketimbang hidup luntang-lantung dengan pemuda itu?”

Jadi benar Dennis tidak mencairkan cek itu....

Pegangannya pada gagang telepon itu terlepas begitu saja, sekujur tubuhnya membeku kebingungan.

Ann sudah mencoba untuk tidak menangis, tapi air mata itu terus menetes tanpa ia sadari. Ia tidak perlu mempertanyakan hal-hal yang lainnya lagi, hanya perlu tahu satu kebenaran itu saja sudah cukup untuk mengetuk hatinya, menamparnya keras-keras hingga ia sadar apa yang sebenarnya terjadi lima tahun yang lalu.
Ia lalu meringkuk di bawah seorang diri. Menahan penyesalan yang sangat amat dalam. Menyesal kenapa ia tidak mau menghiraukan kata-kata Emma dan Vincent waktu itu, menyesal mengapa ia tidak pernah mau mempercayai ucapan Dennis, tapi lebih menyesal lagi karena ia tidak pernah mau mendengar kata hatinya sendiri.

Bukankah sekarang semuanya sudah terlambat? Kini Ann tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap semuanya. Ia sudah terlambat menyadari kebenaran yang selama ini tersimpan rapat darinya. Ia tidak menyalahkan Papa sama sekali, ia bisa memaklumi semuanya. Tapi Calvin? Bagaimana Ann harus menghadapi Calvin setelah ia tahu semuanya? Apa benar yang diucapkan Dennis tadi, kalau Calvin sengaja mengatur perkelahian itu agar dirinya semakin membenci Dennis?
Perasaan Ann kini terombang-ambing tak menentu, ia benar-benar kehilangan arah. Butuh waktu lima tahun baginya untuk menyusun kembali kepingan-kepingan hatinya yang hancur karena Dennis, dan butuh waktu lima tahun baginya untuk melupakan sosok pemuda itu. Tapi rentang waktu yang begitu lama itu pupus semuanya hanya dalam waktu satu malam. Dan dalam waktu satu malam itu ia kembali hancur oleh perasaannya sendiri, oleh kenyataan bahwa sesungguhnya
Dennis masih ada di dalam hatinya.

Sesungguhnya ia tidak bisa melupakan pemuda itu. Dan sesungguhnya selama ini ia hanya berpura-pura kuat, pada kenyataannya ia masih sangat rapuh. Ia tidak pernah bisa melupakan Dennis. Ini semua tidak perlu terjadi kalau saja ia mau mendengar semua penjelasan teman- temannya. Kalau saja ia mau menunggu lebih lama sedikit di taman itu sebelum keberangkatannya ke Inggris.

Sekarang semua yang sudah susah payah dibangunnya selama ini hancur berantakan. Perasaannya pada Calvin lenyap tak berbekas. Ia bahkan tidak sanggup membayangkan dirinya sudah bertunangan dengan pria itu. Bagaimana ia nanti akan menikah dengan orang yang tidak ia cintai?

Aku tidak boleh mengkhianati Calvin.........tapi bagaimana aku bisa mengingkari perasaanku yang sesungguhnya pada Dennis?
***

Keesokkan harinya.....
Calvin bisa mencium gelagat tidak baik dari tingkah laku Ann yang serba aneh pagi ini. Walaupun mereka sarapan pagi bersama-sama
di ruang tamu Ann, tapi Ann hanya diam saja dan tidak menatapnya sejak tadi. Gadis itu hanya sibuk memainkan sarapannya dengan garpu, sedikitpun ia tidak menyentuh makanan itu.

“Kemarin aku bertemu dengan keluargaku. Coba tebak apa hasil percakapan kami semalam? Ayah dan Ibuku minta pernikahan kita dimajukan saja, mungkin 2 minggu lagi, jadi tidak perlu menunggu kita balik ke London lagi. Ibuku bersikeras mau menyiapkan segalanya sendiri, katanya pernikahan itu dilangsungkan di sini saja, di gereja tempat orang tuaku menikah dulu. Kau tidak keberatan kan? Maaf ya...semuanya jadi tiba-tiba begini. Aku juga sebenarnya tidak mau terburu-buru, tapi mereka terus mendesak.”

Orang yang diajak bicara malah diam.
“Ada apa? Wajahmu kelihatan murung sekali.” tanya Calvin padanya.
Ann meletakkan garpunya diatas piring, ia termenung sebentar. Kedua tangannya disembunyikan di balik meja, tangan sebelah kanannya memainkan cincin yang melingkar di jari manis kirinya dengan penuh perasaan cemas. Ia mengigit bibirnya.

Aku harus jujur pada Calvin, aku tidak mau ia terluka di saat terakhir. Ann ragu lagi, tapi kalau aku menceritakan yang sejujurnya pada Calvin sekarang, bukankah sama saja? Ia tetap bakal terluka..

“Ann, aku mohon....ada apa sebenarnya? Apa ada yang ingin kau katakan padaku?”

Calvin menatapnya semakin tajam.
“Calvin, aku tidak bisa menikah denganmu.”

Calvin terhenyak kaget, roman mukanya langsung berubah drastis begitu mendengar kalimat tadi.
“Aku tidak bermaksud melukaimu...aku tahu ini kejam sekali dan kau pasti tidak bisa menerimanya, tapi aku tidak boleh terus menipu diriku sendiri, terlebih-lebih menipu dirimu. Aku tidak sanggup menikah denganmu, Calvin..”
“Tapi kenapa ?!”
“Aku tidak pantas menikah denganmu....selama ini kau terlalu baik, percayalah kau akan menyesal bila menikah dengan..”
”Itukah alasanmu yang sebenarnya? Atau kau punya alasan yang lainnya lagi ?!” bentak Calvin tiba-tiba.

Ann mengangkat wajahnya, menatap Calvin dengan perasaan bersalah campur kaget. Baru kali ini ia mendengar Calvin membentak dirinya.
“Jawab aku, Ann! Aku tidak bisa terima
kalau memang cuma itu alasanmu! Sama sekali tidak masuk akal! Setelah bertunangan selama dua bulan kenapa baru sekarang kau membatalkan pernikahan kita, hah?!”
“Aku...” Ann berusaha mencari akal bagaimana sebaiknya ia harus menjelaskan semuanya pada Calvin, “itu karena selama 2 bulan ini aku tidak tahu apa-apa tentang rahasia itu, aku tidak tahu apa-apa tentang kejadian yang sebenarnya antara aku dan Dennis lima tahun yang lalu...”
”Apa kau bilang?” Calvin membanting peralatan makannya ke atas meja. Ia beranjak cepat dari meja makan itu dan menarik Ann. Wajahnya memerah karena menahan marah, “apa kau bilang tadi?! Dennis katamu?!”

Ann benar-benar kaget, ia melepaskan tangannya dari Calvin, “Aku harus jujur padamu. Antara aku dan Dennis memang terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan lima tahun yang lalu, tapi ternyata semua itu hanya kesalahpahaman yang sengaja ditutup-tutupi dariku. Aku baru tahu semuanya tadi malam, dan aku menyesal padamu...karena saat itu aku sadar aku masih menyimpan perasaan padanya.”
”Jangan kau lanjutkan lagi, Ann.” Calvin membuang muka, “hentikan semua ucapanmu itu, aku tidak mau dengar lagi.”
”Calvin, kau bebas memarahiku karena aku memang salah. Tapi bukankah lebih baik aku menceritakan semuanya padamu sebelum kita menikah dan semuanya menjadi tidak karuan?”

Tapi Calvin diam, wajahnya mengeras dan matanya menyorotkan kebencian yang mendalam.

“Calvin, aku mohon bicaralah padaku. Katakan sesuatu. Apa saja.”

Ann menatapnya pilu. Aku telah menyakiti hatinya...tapi aku harus bagaimana lagi?

“Kenapa, Ann? Kenapa kau bersedia mengorbankan semua kebahagiaan yang bisa kuberikan padamu demi orang itu? Kenapa kau rela melepaskan semuanya hanya untuk menyelamatkan hubunganmu dengannya?!! Apa kau tidak bisa berpikir dengan akal sehatmu, apa yang bisa kaudapatkan dari pria itu, hah?! Dia tidak punya apa-apa untuk membuatmu bahagia, dia tidak memiliki semua yang aku miliki! Bersama dengannya hanya akan membuat hidupmu
hancur berantakan!”

Ann memejam matanya, sedih.

“Pikir itu baik-baik, Ann! Apa kau mau mengorbankan segalanya demi dia?!”
”Tapi aku mencintainya, Calvin.” jawab Ann tak berdaya, “semua yang kau ucapkan itu benar. Aku tidak memiliki jaminan dia bisa membuatku bahagia seperti yang bisa kaulakukan padaku. Dia juga tidak memiliki semua yang kaumiliki. Tapi aku tidak mengkhawatirkan apa-apa karena aku mencintainya. Aku tidak bisa membuang perasaan ini jauh-jauh hanya karena aku takut melihat masa depanku dengannya. Aku punya harapan meskipun itu cuma sedikit, tapi aku tidak peduli.”
”Cinta katamu? Berpikirlah secara logika, Ann! Kau tidak bisa hidup hanya dengan modal cinta! Aku bisa memberimu cinta sebanyak yang kau mau, bahkan lebih!”

Cinta itu buta, ia akan menutup semua pikiranmu hingga kau tidak bisa berpikir panjang lagi tentang realita. Aku tidak mau munafik, aku tahu betul dengan Dennis aku tidak punya masa depan yang cerah dibandingkan aku bersamamu. Tapi bagaimana mungkin aku hidup dengan orang yang sama sekali tidak aku cintai? Bukankah itu hanya akan menyiksaku dan malah membuatku tidak bahagia? Tidak bahagia sama saja membunuh diri kita sendiri... sedikit demi sedikit.... hingga apa yang bisa kita lakukan selanjutnya hanyalah menyesali diri. Aku pernah sekali tidak percaya dengan apa kata hatiku, dan aku mengingkarinya hingga aku sangat menyesal sekarang. Sekarang aku tidak mau lagi berbuat hal yang sama, aku tidak mau lagi menyesal. Kali ini aku ingin mempercayai kata hatiku.

Melihat Ann tidak bisa menjawab, Calvin hanya menatapnya dengan dingin. Suaranya terdengar penuh ancaman, “Aku akan menunjukkan padamu seberapa besar cinta yang bisa kuberikan. Kau pasti akan menikah denganku. Percayalah.”

Ia mengeluarkan handphone-nya dari saku, menekan nomor seseorang dan berbicara sangat singkat, “Kau masih ingat orang yang kemarin kutunjukkan padamu? Kumpulkan orang-orangmu dan terserah mau kau apakan dia.”

Ann tercengang tak mengerti, “A..apa maksudmu?”

Calvin mematikan HP-nya, diam.

“Kau...kau menyuruh orang-orangmu menghabisi Dennis?!”
”Aku tidak pernah rela kalau ada orang yang sampai berani merebut sesuatu yang berharga dariku.”
”Jadi benar kata Dennis, perkelahian kemarin kau yang mengatur semuanya!! Kau sengaja menyuruhku datang supaya aku melihat semuanya! Kau...kenapa kau bisa berbuat seperti itu! Kau kejam sekali!”
”Semua orang bisa berubah, Ann. Semua orang bisa berubah kalau ia takut kehilangan sesuatu. Itu naluri dasar seorang manusia.”
----

Dennis berjalan kaki menuju tempat kerjanya sendirian. Ia sama sekali tidak menduga sudah ada segerombolan preman yang menguntitnya sejak tadi. Saat Dennis berbelok kejalanan yang sepi, mereka tiba-tiba menyerbu ke arahnya dan menghajarnya ramai-ramai.

Dennis kaget bukan main. Semua itu hanya terjadi beberapa menit setelah mereka mendapat perintah dari Calvin. Dennis berusaha melawan tapi jumlah mereka terlalu banyak. Meskipun ia berhasil memberi perlawanan yang sengit pada mereka, tapi tetap saja mereka berhasil menjatuhkannya.
---

“Aku tidak bisa memastikan apa yang diperbuat orang-orang itu pada Dennis. Tapi kau tahu kan, orang-orang seperti itu sangat haus uang, mereka akan berbuat semau mereka kalau aku sudah mengiming-imingkan uang. Kalau Dennis sampai mati, kau tidak perlu lagi repot-repot memberikan cintamu pada orang lain.”

Ann bergidik ngeri mendengar kata-kata penuh ancaman itu. Dipandanginya Calvin dengan ketakutan, tunangannya itu sudah berubah menjadi sosok yang mengerikan tanpa ia sadari! Ada sesuatu yang mengerikan di balik sifatnya yang begitu tenang dan kalem.

“Kau tega, Ann? Kalau kau tidak mau mengucapkan sepatah kata yang enak kudengar, aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau sampai mereka ingin menghabisi nyawa orang yang kaukasihi itu.”
”Kau menjijikkan sekali!!“ jerit Ann tidak tahan lagi, “kenapa kau tega berbuat seperti ini padaku!!!”
”AKU LAKUKAN INI SEMUA KARENA AKU TIDAK MAU
KEHILANGANMU!! SEKARANG KAU SUDAH TAHU SEBERAPA BESAR CINTAKU UNTUKMU, ANN?! KAU SUDAH TAHU SEKARANG ?!!”

Ann menutup kupingnya kuat-kuat, ia ingin menjerit sekencang-kencangnya seakan-akan ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Berbagai kilatan bayangan yang mengerikan berkelebat di depan matanya, menghantuinya dengan bayangan Dennis yang sedang sekarat dihabisi orang-orang suruhan Calvin. Seolah-olah Ann bisa mendengar jeritan kesakitannya, melihat darah yang merembes dari sekujur tubuhnya, merasakan nafasnya yang terputus-putus dan tubuhnya yang menjadi sasaran empuk kebengisan mereka. Ann tidak tahan lagi. Jiwanya ikut meradang membayangkan semua itu.

“Katakan kau akan menikah denganku, Ann! Atau aku akan berbuat lebih kejam lagi padanya! Aku tidak takut dengan apapun didunia ini.Kau tahu sendiri kan, aku bisa berbuat apa pun semudah aku membalikkan telapak tangan. Kalau sampai ia matipun aku tidak takut, aku hanya takut kehilanganmu!” desak Calvin sambil mencengkram tangan Ann dengan kasar,ia hampir membuatnya kesakitan, “KATAKAN PADAKU KAU AKAN MENIKAH DENGANKU!!”
”Aku tidak mau!!!”

Tatapan Calvin berubah dingin, “Baik, kalau memang itu maumu....dengan begini kau sendirilah yang mencelakakan Dennis. Kau yang bersalah kalau sampai ada sesuatu yang buruk menimpanya. Semua ini kau yang tanggung sendiri, Ann. Aku tidak akan berbuat apa-apa.”
”Tidak ! Jangan kaulakukan itu! Suruh mereka berhenti! Cepat!”

Calvin tidak mengubris permohonannya. Ia melangkah pergi dengan angkuh.

“Calvin!!! Suruh mereka berhenti!!”

Calvin tetap tidak mempedulikannya. Bahkan seandainya Ann sampai bersujud-sujud memelas padanya, ia tetap tidak akan peduli. Langkahnya semakin mantap meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Ann yang terus menjerit ketakutan memanggil-manggil
namanya.

Hingga akhirnya Ann tidak kuasa lagi menahan semua rasa takutnya, ia berseru tegas, “Baik! Aku akan menikah denganmu!”

Langkah Calvin berhenti. Ia memunggungi Ann tanpa reaksi.

“Kau dengar itu?! Aku akan menikah denganmu!! Cepat suruh mereka berhenti, Calvin, aku mohon!!!”

Akhirnya Calvin menoleh, tapi wajahnya kembali kelihatan tanpa ekspresi, “Apa kata-katamu itu bisa dipercaya? Aku butuh kepastian darimu, Ann.”
“Kau tidak perlu kepastian apa-apa..” Ann menatapnya tanpa daya, “selama kau tidak melukai Dennis, aku pasti akan menikah denganmu...”

Calvin tersenyum singkat, ia mengeluarkan HP dari saku celananya lagi, lalu memberi perintah baru, “Kalian boleh berhenti, biarkan dia hidup untuk menikmati bagaimana menyakitkannya kehilangan orang yang ia cintai. Lepaskan dia.”

Setelah mendengar itu, kontan Ann menghela nafas lega. Rasanya ia mau mati saja saat Calvin memberinya ancaman mengerikan seperti itu. Ia tidak habis pikir bagaimana seorang Calvin yang begitu tenang bisa berubah menjadi kejam dalam sekejap hanya karena takut kehilangan orang yang ia cintai? Tapi Ann tidak sempat memikirkan jawabannya lagi, ia hanya bisa memikirkan keadaan Dennis sekarang.
Dan dalam sekejap ia lunglai dihantui rasa takut yang luar biasa. Terlebih-lebih lagi saat Calvin mematikan HPnya dan beralih me
natapnya, “Aku harap kau mengerti, Ann. Aku lakukan semua ini karena aku tidak rela melihat kau menjadi milik orang lain. Berjanjilah padaku, kau akan menikah denganku. Jangan ingkari kata-
katamu tadi, Ann, kau tahu sendiri aku bisa berbuat yang lebih jauh lagi.”

Ann membeku ketakutan di sana. Tidak sanggup membalas setiap ucapannya. Kini ia takluk sepenuhnya.
---

Dennis tergeletak di sana, bersimbah darah. “Kau dengar kami baik-baik, bocah tengik! Jangan sekali-kali kau dekati gadis yang bernama Ann itu lagi. Inilah akibatnya!! Kalau kau sudah bosan hidup, kami tidak akan segan-segan menghabisimu!”

Mereka menendang Dennis untuk terakhir kalinya, lalu segera angkat kaki meninggalkan tempat itu.
---

Pernikahan yang dimajukan menjadi dua minggu lebih awal ternyata dianggap Calvin sebagai suatu penantian yang panjang, maka dengan berbagai alasan yang dibuat-buat ia memajukannya menjadi 3 hari lagi. Tentu saja dari pihak keluarga Ann sangat terkejut. Mereka bergegas berangkat dari London ke Jakarta untuk membantu persiapan pernikahan.

Di bandara udara internasional Soekarno Hatta......
Ann bersama Calvin berdiri di depan terminal kedatangan untuk penerbangan luar negri. Mereka tersenyum lebar saat melihat kedatangan keluarga Ann seutuhnya. Ada kedua orang tua Ann, lalu Caroline kakaknya Ann dan suami Caroline, Theodore. Ann berlari kecil menyambut mereka satu persatu.

Mama memeluknya erat-erat, “Kamu kelihatan lebih kurus, Ann.”

Caroline menghampirinya. Ann tersenyum pada Caroline, kakak semata wayangnya yang sangat cantik dan anggun itu. Kemudian Theo, suami Caroline, ikut menepuk-nepuk pundak Ann sambil tertawa kecil, “Senang bertemu denganmu lagi, Ann.”

Lalu tiba giliran Papa. Pria yang penampilannya seolah-olah tidak termakan usia itu terlihat agak sungkan melihat putri bungsunya sendiri. Percakapan mereka di telepon tempo hari masih membekas di hatinya dan membuatnya tidak punya keberanian untuk menerima pelukan Ann. Tapi Ann memeluknya lembut, “Pa, aku kangen sekali.”

Papa menghela nafas lega saat dilihatnya Ann tersenyum penuh maaf padanya. Mama memandangi Calvin bingung, “Sebenarnya ada apa? Kenapa tiba-tiba pernikahan kalian dimajukan jadi 3 hari lagi? Kita semua jadi bingung, cepat-cepat terbang dari London.”
”Maaf jadi membingungkan kalian semua,” jawab Calvin penuh karisma, “aku Cuma tidak mau menunda lebih lama lagi, takutnya nanti akan mengganggu kuliah kami berdua yang sudah mau mulai sebentar lagi. Liburan kami kan sudah mau habis di sini, jadi lebih baik segera menikah sebelum kami kembali ke London.”
”Apa sudah ada persiapannya? Ini semua kan mendadak sekali. Kenapa tidak menikah di London saja?”
”Tidak, Tante, kata Ibu lebih baik diadakan di sini saja. Bukankah masih banyak kerabat yang tinggal di sini? Nanti kan kasihan kalau
mereka harus jauh-jauh terbang ke Inggris untuk menghadiri pernikahan kami,” Calvin berbalik menatap Papa, “lagipula Ibu sudah
menetapkan tempat pemberkatannya. Katanya digereja tempat mereka menikah dulu.”
”Ya...kalau begitu baik juga...” Papa mengangguk-angguk kecil, masih agak bingung, “meskipun mendadak begini tapi kami sekeluarga akan membantu Ibumu mempersiapkan semuanya. Kasihan kan, Ibumu kerja sendiri? Yang menikah kan anak kami juga.”

Mereka semua tertawa. Ann juga ikut tertawa meskipun ia merasa tawanya itu sangat palsu dan dibuat-buat. Terserah, mau menikah kapan pun juga tidak ada bedanya, toh dia tetap akan jatuh ke dalam tangan Calvin. Tapi ia tetap harus menikah dengannya, ia tidak mau sesuatu yang buruk menimpa Dennis.
***

Dua hari belakangan ini berjalan bagai neraka bagi Ann. Semua persiapan pernikahannya sama sekali tidak membuatnya bergairah. Ia
juga tidak banyak turun tangan mengurusi semuanya. Ibu Calvin yang paling repot mempersiapkan pernikahan mereka. Mulai dari pemesanan tempat dan pendeta, menyewa seorang perancang ternama untuk merancang gaun pengantin Ann, menyebarkan kartu undangan, mengatur penataan resepsi, sampai pada makanan dan hal-hal kecil lainnya.

Ann hanya duduk menunggu. Semakin dekat dengan hari pernikahannya ia merasa perasaannya semakin kacau balau. Malam ini di rumahnya diadakan makan malam keluarga, Calvin tidak ikut serta karena akan menghadiri pesta bujangan yang diadakan teman-temannya.

Sepanjang makan malam di suasana keluarga yang penuh kehangatan itu, Ann justru merasa hampa. Ia merasa hatinya sudah beku dengan semua puji syukur yang dialamatkan untuknya.

“Selamat ya, Ann. Aku doain moga-moga pernikahanmu dengan Calvin akan awet sampai tua.”
“Mama juga mau ucapin selamat buat kamu. Rasanya baru kemarin Mama melahirkanmu, menemanimu setiap malam saat kamu menangis, melihatmu merangkak dan berjalan untuk pertama kalinya, mendampingimu mengarungi masa kecil dan masa remaja yang indah....lalu sekarang putri kecil Mama ini sudah dewasa dan siap menikah. Rasanya Mama masih belum rela menyerahkanmu pada orang lain. Rumah kita akan sepi ya, Pa. Caroline dan Svannie sama-sama sudah dewasa dan siap meninggalkan kita.”
”Jangan begitu, Ma. Nanti kan bakal ada cucu-cucu yang bakal nemenin kita. Tapi Ann, Papa senang sekali melihatmu akan segera
menikah. Kamu bukan putri kecil Papa lagi, besok kamu sudah akan menjadi istri orang lain. Papa cuma berharap Calvin bisa membahagiakan putri Papa ini dan kalian bisa membina keluarga yang harmonis sampai akhir hayat.”

Ann tersenyum menatap mereka bergantian. Ia tahu doa mereka sangat tulus untuknya, tapi hatinya kosong sekali. Besok bukan hari yang ditunggu-tunggunya. Besok adalah mimpi buruk yang tanpa akhir, sekali ia diseret ke dalamnya maka ia tidak akan bisa berpaling lagi. Besok adalah neraka baru untuknya.
***

Dennis baru saja pulang dari tempat kerjanya. Ia berjalan lunglai membelok ke gang sempit menuju rumahnya. Kondisinya tidak terlalu baik saat itu, dengan luka-luka disekujur tubuh dan wajah yang hampir babak belur. Tapi ia tetap memaksakan diri untuk kerja. Ia tahu betul siapa penyebab semua itu, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pada teman-teman di tempat kerjanya ia memakai alasan dihajar perampok.

Langkah Dennis tiba-tiba terhenti. Jantungnya serasa mau copot
ketika ia melihat seorang yang sangat dikenalnya tengah berdiri di depan rumahnya, menantinya. Dengan tertatih-tatih Dennis menghampirinya, suaranya tercekat, “Ann.”

Ann menoleh. Hatinya teriris-iris pilu saat melihat keadaan Dennis yang menggenaskan. Ia cepat menunduk, berusaha menahan diri untuk tidak berbuat apa-apa pada pemuda itu.

“Kenapa kau bisa datang ke sini?” Dennis membuka pintu rumahnya, “kau sudah menunggu dari tadi? Ayo, masuk.”
”Tidak perlu, lagipula kedatanganku hanya sebentar saja. Ada yang ingin kusampaikan.”
”Bicaralah di dalam,” Dennis membuka pintu lebar-lebar untuk Ann, “kau tidak keberatan kan?”

Mau tak mau Ann terpaksa memasuki rumah sempit itu. Ia berdiri menyapu pandangannya ke seisi rumah. Kemudian mendesah panjang, kenapa aku malah masuk? Aku tidak boleh berlama-lama di sini...

“Maaf berantakan, maklum aku tidak sempat bersih-bersih karena sibuk kerja,” Dennis tertawa pelan. Ia tahu Ann saat ini tengah mengawasi dirinya yang sibuk mondar-mandir memberesi semua barang yang berserakan dilantai. Dennis segera mengambilkan kursi
untuk Ann, “duduklah.”

Ann menggeleng kecil, “Tidak, aku hanya sebentar di sini.”

Saat itu Dennis baru sadar apa pun yang ingin dibicarakan Ann padanya, pastilah sesuatu yang serius. Wajah gadis itu begitu murung, pandangannya kemana-mana dan seolah-olah tak berani menatapnya.

“Baiklah, apa yang ingin kaubicarakan?”

Ann diam sejenak. “Besok aku akan menikah.”

Ann menyebutkan nama gereja tempatnya menikah besok. Dennis hanya membisu. Kemudian perlahan-lahan ia membentuk seuntai senyum yang sangat kaku di bibirnya, “Kau tidak perlu repot-repot datang ke sini untuk memberitahuku. Kau kan bisa kirim
kartu undangan saja..”
Ann menatapnya pilu, tidak tahu harus bicara apa lagi. Banyak yang ingin dikatakannya pada Dennis, tapi semuanya sirna begitu ia harus berdiri berhadapan dengannya. Bahkan menatapnya saja sudah cukup membuat Ann lumpuh tak berdaya. Lima tahun yang lalu keadaanlah yang telah menciptakan jurang diantara mereka, kini setelah mata Ann terbuka pun ia tetap tidak sanggup menyeberangi jurang itu.

“Aku ucapkan selamat untukmu.” gumam Dennis tak jelas.
“Ya,” Ann mencoba tersenyum di hadapan Dennis, menampakkan dirinya seolah-olah sangat bahagia. Ann merasa Dennis tidak perlu tahu apa-apa tentang penyebab dirinya menikah dengan Calvin. Biar saja Dennis menganggapnya menikah karena mencintai Calvin, dengan begitu maka semuanya bisa berakhir. Tapi mengapa hati ini ingin menjerit?

“Apa kau mencintai Calvin?”

Pertanyaan itu membuat Ann terhenyak, ia menengadah menatap Dennis. Dagunya bergetar saat ia menjawab, “Kenapa kau mempertanyakan itu? Aku menikah dengannya tentu saja karena aku mencintainya.”
”Tapi dia...”

Ann menatap semua perban dan plester luka yang menempel di wajah dan tubuhnya. Ia menunduk sedih melihat akibat dari perbuatan orang-orang Calvin.

“Tapi dia...” lanjut Dennis, “dia tidak sebaik dugaanmu.”
”Ada satu hal lagi.”

Dennis mengamati gerak-gerik Ann saat gadis itu mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya. Sebuah gelang, hadiah ulang tahun Dennis untuk Ann waktu itu.
“Aku tak bisa menerima gelang pemberianmu ini. Aku sudah putuskan untuk tidak menyimpan apa pun lagi darimu, karena semua itu hanya akan membuatku teringat padamu. Aku minta maaf, kumohon ambillah kembali benda ini.”
Dennis mengambil gelang itu dengan hati hancur.
“Kelak aku harap kita tidak perlu bertemu lagi. Semuanya sudah berakhir.” Ann beranjak meninggalkannya.
***

“Ann, tunggu.” Dennis meraih tangannya, “kalau memang semuanya sudah berakhir, lalu kenapa kau masih mau menemuiku di sini? Apa benar kau sudah melupakanku? Aku mohon pertimbangkan kembali pernikahanmu itu.”

Dennis, tolong lepaskan tanganmu...kalau begini kau malah membuatku lemah...

Ann susah payah melepaskan pegangan Dennis tapi Dennis tak mau melepaskannya. Meskipun genggaman itu lembut, tapi bagi Ann sangat mematikan. Dennis bisa membunuh keteguhan hatinya kapan saja ia mau.

“Aku benar-benar tidak mau melihatmu menghabiskan sepanjang hidupmu dengan orang seperti itu! Aku tidak rela selalu menjadi korban kesalahpahamanmu. Mengapa sampai detik ini kau masih juga
tidak mau mempercayaiku?!”

Aku percaya padamu...aku percaya..

“Tolong lepaskan aku, Dennis.” jawab Ann lirih.

Tapi Dennis justru malah mencengkram pundak Ann dan memaksa gadis itu berbalik menatapnya, “Kau benar sudah melupakan aku? Tidak bisakah kau percaya padaku?”

Jarak mereka sangat dekat saat itu, meski Ann menunduk tapi Dennis bisa melihat dengan jelas air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Hatinya bergetar hebat. Lalu entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk memeluk Ann, melindungi gadis itu dari semua kerisauannya. Saat ia memeluknya erat-erat, ia tidak merasa takut Ann akan marah besar, ia justru merasa rapuh. Semua kerinduannya tertumpah di sana. Rasanya sudah lama sekali ia tidak memeluk Ann. Sudah berapa lama? Lima tahun kah? Atau lebih? Tidak, Dennis sadar ternyata selama ini ia tidak pernah sekalipun memeluk Ann. Ia selalu menahan diri untuk tidak mencintai gadis itu, bahkan sekedar memeluknya pun ia sungguh tidak punya keberanian.

Tapi kini Ann berada dalam pelukannya. Kenyataan bahwa Ann akan segera meninggalkannya membuatnya semakin tidak sanggup untuk melepaskan gadis itu. Ia ingin selalu bersamanya, selalu memilikinya.
Bukankah selama lima tahun ini perasaan seperti itu selalu ada di hatinya? Begitu menggebu-gebu hingga ia tidak sanggup menahan diri lagi?

Beberapa saat kemudian Ann melepaskan pelukan Dennis dengan terpaksa. Ia menatap pemuda di hadapannya itu dengan seluruh cintanya, “Aku telah berbuat banyak kesalahan padamu. Jika aku meminta kau berjanji satu hal padaku, akankah kau mengabulkannya?”

Dennis terpaku.

“Berjanjilah padaku, apa pun yang terjadi nanti kau harus melupakan aku. Kau harus melepaskan aku.”
“Aku tidak bisa,” bisik Dennis pedih.
“Kau harus bisa. Kalau aku berjanji untuk selalu percaya padamu, maka kau harus berjanji untuk melupakanku. Apa pun yang terjadi nanti. Berjanjilah, Dennis, berjanjilah kau akan melupakanku.”

Dennis tidak sanggup memenuhi permintaannya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan Ann, sedangkan dalam setiap nafasnya saja ia selalu mengingat nama gadis itu?

“Mencintaimu adalah sesuatu yang berharga, yang akan selalu kujaga sepanjang hidupku. Tapi aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Besok aku akan menikah dengan Calvin, karena itu aku harus membuang jauh-jauh semua kenangan di antara kita. Izinkan aku bahagia, Dennis. Bukankah itu yang selama ini kau inginkan?”
”Aku ingin kau bahagia, tapi bersamaku. Kenapa kita harus bertemu lagi kalau akhirnya kita tetap tidak bisa bersatu?”
”Mungkin kita memang tidak ditakdirkan begitu.” Ann menatapnya pilu.
“Kau ingin aku berjanji untuk melupakanmu, melepaskanmu. Tapi bagaimana caranya aku menghilangkan perasaanku? Aku selalu mencintaimu, Ann.”

Ann menyentuh wajah Dennis dengan tangannya yang gemetar. Air mata menetes dari pelupuk matanya. Ia menangis saat menatap kedua mata kekasihnya itu. Sampai kapanpun Dennis akan selalu menjadi ke
kasih hatinya, Ann sadar hal itu.

Maka ia pun mencondongkan wajahnya mendekati Dennis, lalu menciumnya. Ciuman pertama mereka. Tanpa hasrat yang menggebu-gebu. Lembut. Indah. Penuh cinta.

Dennis luluh, direngkuhnya Ann dengan segenap jiwanya. Ia siap mengorbankan segala sesuatu yang ia miliki di dunia ini demi satu momentum seindah ini. Momentum di saat Ann merasuki jiwanya.
Seolah-olah waktu lima tahun yang selama ini terbuang sia-sia sanggup ditebusnya. Kalau saja semua ini bisa untuk selama-lamanya. Kalau saja Ann memang bisa menjadi miliknya. Tapi nyatanya tidak...

Ann melepaskan dirinya dari Dennis, matanya merah dan suaranya menyerupai bisikan penuh penderitaan, “Berjanjilah padaku....kau harus melupakan aku.. “

Belum sempat Dennis berhasil mengumpulkan semua kesadarannya kembali, Ann sudah sepenuhnya melepaskan diri dari pelukannya. Gadis itu lalu berlari, pergi meninggalkannya di sana. Dennis ingin mengejarnya, berteriak memanggil namanya untuk memaksanya kembali... tapi lututnya terasa lemas, suaranya seolah-olah hilang.

Yang bisa ia lakukan hanya diam, membiarkan dirinya hancur berkeping-keping. Ia membeku di sana. Tanpa terasa air mata pun menetes tak tertahankan.
***

Pagi-pagi sekali Dennis berdiri di tepi danau itu seorang diri. Wajahnya kusut tidak karuan, semalam ia tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Bayangan Ann terus melintas dalam benaknya. Hatinya sungguh hancur. Berkali-kali ia teringat pada permintaan Ann agar ia melupakannya, tapi yang tersimpan dalam benaknya justru
betapa dalam cintanya untuk Ann. Beberapa kali ia menegaskan diri untuk melupakan semua itu, tapi ia gagal.

Ia masih ingat betul harum lembut Ann saat ia memeluknya. Manis
bibirnya saat ia menciumnya semalam. Air matanya saat ia menangis dan pergi meninggalkannya.

Semuanya begitu lekat dalam pikirannya. Dennis tahu, saat ini Ann sudah berada dalam gereja. Siap menikah dan menyerahkan seluruh hidupnya pada pria lain. Dennis meremas dadanya, sakit membayangkan semua itu. Haruskah semuanya berakhir begitu saja?

“Pagi-pagi sudah datang ke sini. Muka dan pakaian sama kusutnya. Sekali lihat saja aku sudah tahu, kau pasti korban patah hati.”

Dennis menoleh, melihat seorang pria muda berpakaian rapi tengah berjalan ke situ sambil menenteng biolanya. Ia membuka kursi lipat yang diletakkannya di tengah-tengah hamparan rumput, lalu duduk di sana siap memainkan alat musiknya. Dennis sering mendengar tentang si pemuda ini. Ia sering datang ke taman ini pagi-pagi, lalu bermain biola dengan segenap hatinya. Irama yang dihasilkan dari gesekan biolanya sangat indah, selalu penuh penghayatan. Tapi tidak ada yang tahu siapa nama pemuda itu, orang-orang hanya memanggilnya si Musisi Jalanan.

Dennis memalingkan wajahnya tak peduli. Tak lama kemudian si Musisi Jalanan itu kembali berceloteh, “Kalau mau menangisi
nasib burukmu, tempat ini memang tempat yang paling tepat. Aku menjulukinya Taman Sejuta Tangisan, tapi tempat ini juga tempat
berseminya cinta maka aku pun menjulukinya Taman Sejuta Harapan. Karena manusia itu selalu menangis dulu baru berharap kemudian. Ada yang bilang pribahasa ciptaanku itu seharusnya terbalik, tapi aku tipe orang yang selalu optimis.”
”Tapi apa yang bisa kuharapkan? Apa pun yang kulakukan semuanya sudah tidak bisa mengubah keadaan.”
“Pasti seorang gadis sudah mencampakkanmu kan?” dia terkekeh-kekeh, “lebih baik sama biola, selalu setia.”

Dennis tersenyum pahit.
“Memangnya apa yang membuatmu bisa berpikiran seperti itu? Tidak ada yang bisa diharapkan, apapun yang kaulakukan tidak bisa mengubah keadaan? Kadang kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi kalau kita berhenti berharap, berhenti percaya.”
”Apa maksudmu?”
”Maksudku, jangan pernah berhenti berharap pada cinta kalau memang kau ingin meraihnya kembali. Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang namanya terlambat.” Ia tersenyum, kemudian perlahan-lahan mulai memainkan biolanya.

Dennis termenung. Lama ia terdiam di sana. Meresapi setiap kata-kata yang meluncur dari bibir orang tidak dikenal itu. Tiba-tiba saja ia tersentak kaget dari lamunannya. jangan pernah berhenti berharap pada cinta kalau memang kau ingin meraihnya kembali

Dan tanpa banyak bicara lagi Dennis langsung mengambil langkah seribu meninggalkan taman itu, berlari sekencang-kencangnya.
---

Alunan denting piano yang merdu dan suara lembut Priska yang melantunkan lagu Angel membius semua undangan yang duduk berjejeran di dalam gereja.

You’re in the arms of the angel.....

Dulu sewaktu masih duduk di bangku sekolah, Priska dan Ann sama-sama menyukai lagu yang dinyanyikan Sarah McLachlan itu. Dan mereka membuat perjanjian satu sama lain, jika kelak salah satu dari mereka menikah maka yang lainnya akan membawakan lagu itu dengan iringan piano. Baik Priska maupun Ann memang sama-sama mahir memainkan piano. Dan Priska memenuhi janjinya. Saat ini ia
memainkan lagu itu, mengiringi langkah Ann yang mulai muncul di depan pintu gereja. Seluruh undangan yang memenuhi gereja itu menengok ke belakang, ke arah pintu. Mereka berseru tertahan, menahan nafas bersiap-siap menikmati moment berharga ini.

“Kamu sudah siap, Ann?” bisik Papa yang berada di sampingnya, “sebelum kita melangkah ke altar itu, ada satu hal yang ingin Papa tanya padamu. Apakah kamu mencintai Calvin sebesar cintamu pada pemuda itu?”

Ann menatapnya bingung, “Ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan itu, Pa.”
”Papa tidak bermaksud menyerangmu di saat-saat penting seperti ini. Tapi Papa bisa merasakan, sepertinya kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini. Apa...kamu melakukannya karena terpaksa?”

”Apapun alasannya, Pa...aku harus tetap menikah dengan Calvin.”
Akhirnya Papa mengangguk, tak bertanya-tanya lagi.

Perlahan-lahan Ann mulai memasuki pintu gereja, ia mengenakan gaun pengantin yang sangat indah hasil rancangan desainer pilihan Ibu Calvin. Penampilannya sungguh luar biasa cantik. Seluruh mata tertuju padanya, berdecak kagum sambil melemparkan senyum padanya. Ann mengapit sebelah tangannya di lengan Papa, bersama-sama mereka melangkah menuju altar.

Calvin sudah berdiri di sana dengan jas putihnya, ia berdiri terpana mengagumi pengantinnya. Hatinya berbisik memuji betapa beruntung dirinya.
---
Dennis terus berlari dan berlari.....mengikuti kata hatinya. Ia tidak merasakan sakit disekujur tubuh dan kakinya. Ia tidak peduli sedikitpun. Ia hanya terus berlari. Tak mau menyerah hingga ia sampai di gereja itu, menjemput kekasihnya.
Sedikit pun ia tidak boleh terlambat!
---

Ann berjalan perlahan-lahan, membalas semua senyuman tamu undangannya. Ia melihat mereka satu per satu. Semuanya hadir disana. Teman-teman sekolahnya termasuk Josh, Ria, dan Priska yang sedang memainkan lagu mereka. Teman sepermainannya sejak kecil,
salah satunya Emma yang sedari tadi terus menahan air mata haru. Lalu kerabat jauhnya, dan seluruh keluarganya. Mamanya, Caroline dan Theodore, mereka tak henti-hentinya tersenyum menyaksikannya berjalan menuju altar.

Ann tersenyum pada mereka semua. Tapi tak ada seorang pun yang tahu betapa sakitnya hati Ann saat itu, betapa berat langkah kakinya untuk menghampiri Calvin.

Mereka tidak tahu Ann tengah melangkah menuju mimpi buruknya.
---

”Hei, berhenti!!!” teriak seorang security saat Dennis menerobos memasuki halaman gereja. Petugas keamanan berbadan kekar itu mencegat langkah Dennis, Dennis berusaha melawan namun sulit sekali.
“Aku harus masuk ke sana! Jangan halangi aku!”
---

Ann sampai di sebelah Calvin. Papa melepaskannya dan menyerahkannya pada Calvin. Calvin tersenyum singkat lalu mengandeng tangan Ann di depan pendeta. Pendeta itu memulai upacara dengan membaca bait dari salah satu ayat dalam Alkitab.

Sekilas Ann menoleh menatap Calvin di sampingnya, ia yakin ia sudah berbuat yang benar.

Lalu tiba-tiba terdengar suara dobrakan pintu yang menggelegar memekakkan telinga. Suaranya begitu kencang hingga memenuhi setiap sudut gereja itu. Semua tamu menengok ke belakang, terperangah melihat kedatangan Dennis.

Tapi yang mau pingsan adalah Ann. Ia menahan nafas tak percaya melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu masuk. Dennis! Nafasnya tersengal-sengal, sekujur tubuhnya basah oleh keringat.
“Ann, “ teriak Dennis lantang, “jangan lanjutkan pernikahan ini!!”

Seluruh tamu undangan berseru kaget. Beberapa bangkit berdiri
saat melihat Dennis semakin nekad memasuki gereja itu.
“Apa-apaan ini!!” Calvin turun dari altar menyambut Dennis dengan wajah penuh dendam. Beberapa security berlari sangar menghadang Dennis, mencoba menarik dan mengusirnya keluar.
“Jangan sampai kau menikah dengannya, Ann!! Kalau kau memang masih mencintaiku, jangan menikah dengannya!”
“CEPAT BAWA DIA PERGI DARI SINI! AKU TIDAK
MAU MELIHATNYA BERKELIARAN DI SINI!” teriak
Calvin hingga bergema.
“TIDAK !! ANN, KAU HARUS MENDENGARKAN AKU! INI SEMUA BELUM TERLAMBAT, JANGAN MENIKAH DENGANNYA!”
”CEPAT USIR DIA!!”
“KAU TIDAK BISA MENGUSIRKU! AKU HARUS BICARA PADANYA!”
”AKU TIDAK PEDULI! ANN AKAN SEGERA MENIKAH DENGANKU, AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN KAU MENGACAUKAN SEMUANYA BEGITU SAJA! CEPAT BAWA DIA PERGI!!!”
“AKU TIDAK AKAN PERGI!”
“KAU HARUS PERGI!!! TIDAK ADA YANG PERLU KAU BI
CARAKAN LAGI DENGAN ANN!”
“Tunggu. Biarkan dia bicara.”
Semua orang terpaku diam. Mereka menoleh kealtar, tercengang saat menyadari suara itu berasal dari Papa Ann. Ann tak kalah kagetnya, ditatapnya Papa lekat-lekat.
“Biarkan dia bicara.” Papa maju mendekati Calvin dan Dennis, lalu mengangguk pada security yang menahan tubuh Dennis, “lepaskan dia.”

Mereka menuruti perintah Papa dan langsung mundur. Papa menatap Dennis dengan penuh wibawa, “Lima tahun yang lalu aku tidak pernah memberimu kesempatan untuk bicara. Sekarang...bicaralah. Katakan semua yang mau kaukatakan di depan Ann, di depan kami semua.”

Calvin berang, “Om!! Kenapa Om biarkan dia bicara?! Ini hari
pernikahanku!!”

Tapi Dennis tidak memperdulikannya, ia lalu berjalan gontai mendekati altar tempat Ann berdiri. Lidahnya terasa kelu saat bertatapan dengan Ann, “Ann...” Dennis mengulurkan tangannya, “aku tahu denganku, kau tidak akan mendapat apa-apa. Tapi aku bisa selalu membuatmu bahagia. Akan kupertaruhkan semuanya demi itu. Aku tahu kau masih mencintaiku, jadi kumohon jangan teruskan pernikahan ini.”

Tapi Ann memalingkan wajahnya, “Maaf, Dennis, aku tidak bisa.”

Ia menangis dalam hati. Sadarlah, ini semua kulakukan demi kau! Cepatlah pergi dari tempat ini dan jangan berpaling lagi. Jangan membuatku menangis lagi...

“Kau dengar kata-katanya kan?!! Cepat kau angkat kakimu dari sini!!” Calvin tidak mau memberi kesempatan lebih banyak lagi untuk Dennis, buru-buru ia menarik Dennis keluar.

“Ann, dengarkan kata hatimu!! Kau masih mencintaiku bukan? Aku tahu itu!! Jangan sampai kau hancurkan semuanya dengan menikahi pria ini!! Malam itu kau memintaku untuk berjanji melupakanmu, aku tak bisa!! Sampai kapanpun aku akan selalu menunggumu! Aku akan selalu menyimpan semua kenangan kita!! Karena aku mencintaimu! Kau dengar itu, Ann?! Aku mencintaimu! Aku tahu kau pun juga begitu!!” teriak Dennis makin menjadi-jadi saat Calvin menyeretnya keluar, “kau bilang, buat apa kita bertemu lagi kalau akhirnya kita tetap tidak bisa bersatu?! Aku tidak percaya kita tidak bisa bersatu! Aku datang ke sini karena aku percaya kita bisa meraih apapun selama kita masih saling mencintai!!”

Ann menunduk, ia tak tahan lagi. Suara Dennis begitu menyayat-nyayat hatinya.

“Jangan takut pada apapun!! Percayalah padaku!!!!” Tidak....aku tidak mau dengar!!!

Ann jatuh berlutut, menutup kupingnya.

Aku tidak maudengar!!

“ANN!!”

Di luar gereja, Calvin menjatuhkan Dennis dengan kasar. Kemarahannya sudah memuncak pada pemuda itu, “Kau cari mati! Kau sudah tahu kan, apa akibatnya kalau kau sampai berani mengganggu hubunganku dengan Ann!! Kau akan kuhabisi!”

Dennis cepat bangkit berdiri, ia tidak takut, “Aku tidak akan membiarkan Ann menikah dengan orang sepertimu!! Kau tidak pantas mendampinginya!”

”Lalu siapa yang pantas? Kau?!” Calvin tertawa tergelak-gelak, “jangan membuat lelucon dan jangan bermimpi!! Sampai kapan pun juga kau tidak akan pernah bisa mendapatkan Ann!! Kau dengar?! Sampai kapanpun kau tidak akan pernah mendapatkan Ann!” Calvin melirik pada beberapa security bayarannya, orang-orang itulah yang kemarin mengeroyok Dennis.
“Aku tidak mau pernikahanku ini ternoda dengan sampah seperti dia,” ujar Calvin dingin,“habisi dia, terserah mau kalian apakan!! Pastikan saja dia tidak akan pernah muncul lagi di depan mataku!!”
Calvin langsung pergi meninggalkannya, kembali masuk ke dalam gereja seolah-olah tak ada yang terjadi. Ia tidak memperdulikan jerit-jeritan Dennis saat orang-orang itu menyeretnya pergi dan siap menghabisinya di tempat lain.

Tapi kemudian langkah Calvin terhenti. Apa yang terjadi?
Ann berlari meninggalkan altarnya. Semua tamu undangan berseru kaget, suasana dalam gereja berubah menjadi begitu gaduh. Para wanita menjerit, memekik.

“Apa yang kaulakukan?!!” Calvin mencegat Ann dengan kasar sekali, “kembali ke dalam sana, Ann!”
”Aku tidak mau!”
“AKU BILANG KEMBALI KE DALAM SANA!!!!”

Calvin menariknya hingga tangan Ann terluka. Ann memekik kesakitan. Dari tempatnya, Ann melihat orang-orang Calvin membawa Dennis keluar dari gereja itu dan mereka beramai-ramai menghajarnya. Tak ada yang mencegah mereka, tak ada yang menolong Dennis. Semuanya ketakutan melihat kejadian itu. Ann pun ketakutan. Ia merasa nyawanya ikut melayang saat menyaksikan Dennis dibantai habis-habisan oleh mereka.

“Kau kejam sekali! Lepaskan dia!! Lepaskan dia!!”

Semua tamu undangan berbondong-bondong keluar dari dalam gereja, mereka menyaksikan pemandangan itu dengan tak percaya.

“Calvin, lepaskan anakku!” Papa datang menolong Ann, “kau sudah gila! Apa yang kaulakukan! Cepat lepaskan Ann atau aku akan berbuat sesuatu yang akan membuatmu menyesal!!”

Calvin kebingungan. Sialan!! Bangsat!! Bajingan!!! Ia mengumpat-ngumpat kasar saat semua orang menuding dan memaksanya melepaskan Ann. Kedua orang tuanya tampak begitu terpukul.
Josh berlari kencang ke tempat Dennis. Ia datang menolong Dennis meski ia tahu mungkin semuanya sudah sedikit terlambat.
Sedetik kemudian, yang Ann tahu hanyalah tiba-tiba ia terlepas dari Calvin. Ia tidak bisa berpikir apa-apa lagi, langsung berlari menghampiri tempat Dennis dan mendapatkan pemuda itu roboh di depan matanya. Ann memekik ketakutan. Ia berlutut dan meraih tubuh Dennis yang lunglai. Dennis belum pulih sejak peristiwa pengeroyokan beberapa hari yang lalu, dan kini ia dihajar lagi. Keadaannya benar-benar menggenaskan.

“Dennis!! Dennis, sadarlah!!” Ann memeluknya erat-erat saat Dennis
tidak sadarkan diri. Tubuhnya lemah sekali. Ann semakin histeris, “Dennis!!!”

Josh berdiri mematung di sana. Setelan jas-nya compang-camping tapi ia tak peduli. Jantungnya berdetak kencang saat mendengar teriakan Ann. Dengan mata kepalanya sendiri ia bisa melihat darah segar yang merembes dan membasahi seluruh gaun putih
Ann. Itu darah Dennis. Ia terguncang. Darah itu terus mengalir......

“Dennis!!!!”

Jeritan Ann menyayat hati semua yang mendengarnya. Tapi Dennis tidak menjawabnya. Ia terbaring kaku dalam pelukan Ann
***

2 minggu kemudian...
Di taman itu Ann berdiri sambil menenteng kopernya. Kemudian ia meletakkan koper itu ke bawah, dipandanginya pemandangan sore yang indah membentang di depan matanya. Ia tersenyum pedih.
Hari ini ia akan berangkat ke London. Mungkin ini sore terakhir yang bisa ia nikmati ditaman ini. Taman tempatnya pertama kali jatuh cinta pada Dennis, tempatnya berpisah dengan Dennis dan berjanji melupakannya, lalu tempatnya bertemu kembali setelah lima tahun berpisah. Taman bersejarahnya. Ia merasa berat untuk meninggalkan tempat itu, sama seperti lima tahun yang lalu.mTapi ia tetap harus pergi.

Tiba-tiba Ann teringat sesuatu. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, lalu mengeluarkan sebuah koin kecil. Kalimat yang diucapkan Dennis lima tahun lalu, saat ia pertama kali membawanya
kemari terngiang-ngiang kembali,

”Kau tahu? Dulu orang-orang bilang kalau kita melempar koin ke danau ini dan meminta permohonan apa saja, pasti akan
terkabulkan.”

Ann tersenyum penuh arti. Ia mengenggam koin itu erat-erat, kemudian melemparkannya ke dalam danau.

Sunyi.

Lima tahun yang lalu aku tidak memasukkan Dennis dalam permohonanku. Kini aku hanya ingin satu hal, aku ingin selalu bersamanya.

Ann mengigit bibirnya, lalu menunduk lirih. Perlahan-lahan ia membungkuk dan mengambil kopernya, siap untuk mengangkat kakinya pergi.

Dan saat itu.....datang seorang anak kecil. Anak kecil yang cantik dan manis sekali, ia berlari-lari menghampiri Ann sambil membawa setangkai mawar. Mawar merah. Dan ia menyodorkan mawar itu pada Ann. Ann tertegun.

“Kakak, mawar ini untuk kakak.” Kata anak kecil itu,kemudian berlari pergi.

Belum habis Ann tertegun, datang lagi seorang wanita tua. Wanita yang sangat gemuk namun wajahnya begitu cerah. Ia datang menghampiri Ann, lagi-lagi menyodorkan setangkai mawar merah di depan wajahnya.

“Ini untukmu, Nak.”

Ann menerimanya dengan heran. Datang lagi satu orang. Kali ini pria setengah baya yang rapi dengan pakaian kantornya. Dan di tangannya juga ada setangkai mawar.

“Untukmu.”

Begitu terus kejadiannya hingga ada 29 tangkai mawar di pelukan Ann, masing-masing dari orang yang berbeda. Orang-orang itu langsung pergi begitu saja tanpa menjelaskan lebih lanjut lagi. Tapi mereka semua pergi dengan seuntai senyum.

Ann semakin kebingungan. Lalu entah dari mana Ann mendengar alunan musik biola. Ia menoleh. Si Musisi Jalanan tengah duduk di atas kursi lipat, memainkan biolanya dengan alunan musik yang begitu indah dan penuh penghayatan. Membentuk sebuah simfoni yang begitu mengugah perasaan. Entah kenapa air mata menggenang di pelupuk mata Ann saat pemain biola itu tiba-tiba mendongak kepalanya dan melemparkan senyum padanya.

Lalu di tengah-tengah alunan musik itu, Ann mendengar suara yang begitu lembut. Suara yang sangat dirindukannya.

“Ini untukmu.”

Ann menoleh cepat. Ia tak menyangka Dennis berdiri di sana, memberikan setangkai mawarnya yang terakhir. Senyum mengembang dari wajahnya yang masih penuh luka.

“Lima tahun yang lalu, aku menjelajahi seisi taman ini hanya untuk memberimu setangkai mawar yang sudah layu. Tapi saat itu aku berani yakin sepenuhnya kalau aku sungguh mencintaimu. Dan kini aku tidak memberimu mawar yang layu lagi. Cintaku tidak pernah berubah, tidak peduli meski bunga yang kuberikan layu atau hidup.”

Ann mengigit bibirnya, tercengang sekaligus terharu saat 29 orang yang tadi memberinya mawar tiba-tiba berkumpul di belakang
sana, memandangi mereka dengan senyum tertahan.
Ann menerima mawar terakhirnya dari tangan Dennis. Mawar ke-30nya. Ia tersenyum, tak sanggup menyembunyikan kebahagiaan di dalam hatinya.

“Aku tidak punya apa-apa, mungkin tidak bisa setiap hari menghujanimu dengan semua kebahagiaan di dunia ini. Tapi aku berjanji padamu dan diriku sendiri, aku akan selalu mencintaimu dengan seluruh hatiku, mencintaimu setiap hari sepanjang hidupku. Dan kalau kau tidak keberatan, aku ingin mencoba untuk membahagiakanmu.”

Dennis mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah gelang. Gelang yang dikembalikan Ann waktu itu.

Kemudian tanpa berkata-kata lagi ia memakaikan gelang itu di pergelangan tangan kiri Ann. Ia mendekati Ann, menatapnya dalam-dalam seolah-olah tidak ada jarak di antara mereka, “Sebelum kau pergi ke London, aku hanya ingin memastikan aku tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang kita lakukan lima tahun yang lalu di taman ini. Kali ini aku tidak mau terlambat lagi. Jadi sebelum kau pergi, Ann, katakana padaku....apa kau mau menerima aku kembali?”

Ann mengatup bibirnya dengan tangan, wajahnya merona merah dan dalam sekejap tawanya meledak.

Dennis tersenyum, “Itu artinya ‘iya’?”

Kemudian ia menarik Ann ke dalam pelukannya. Semua orang yang sejak tadi menyaksikan mereka serempak bertepuk tangan, bahkan ada yang menangis terharu.

“Aku mencintaimu.” Bisik Ann untuk pertama kalinya.

Dennis melepaskan pelukannya dan membungkuk, perlahan-lahan menciumnya dengan lembut. Semua pengunjung taman semakin bertepuk tangan. Dan tiba-tiba saja baik Ann maupun Dennis sama-sama tersipu malu. Dennis merangkul pundak Ann, melambai pada mereka, “Terima kasih ya, sudah membantuku memberinya bunga.”

Ann berbisik kecil setelah mereka mulai berbubaran, “Kenapa kau pakai ide konyol seperti ini? Dan kenapa kau bisa ada di sini! Kau pasti kabur dari rumah sakit ya!” Ann melotot cemas. Dennis seharusnya masih terbaring di rumah sakit sekarang, ia sengaja
berangkat ke London tanpa memberitahunya karena ia tahu betul kondisi Dennis masih sangat lemah. Bahkan ia sadar saat ini Dennis tidak sanggup berdiri tegap. Hatinya terharu melihat pengorbanan pemuda itu.

”Begitu mendengar dari Emma kau hari ini akan berangkat ke London untuk melanjutkan kuliahmu, aku langsung cabut semua infus dari tanganku, langsung lari ke sini!”
“Kau gila!” Ann tertawa, “lalu pemain biola itu...kau juga yang menyiapkannya?”

Dennis tertegun sesaat, ia mengandeng tangan Ann menghampiri Musisi Jalanan yang masih larut dalam permainannya itu. Kemudian
mereka berdua berdiri di depannya, diam untuk menghayati setiap alunan musik biolanya dan meresapi setiap detik kebersamaan
mereka.

Begitu permainannya selesai, Dennis langsung menanyakan apa lagu yang dimainkannya itu mempunyai judul. Si Musisi Jalanan tersenyum pada mereka, “Ini lagu ciptaanku sendiri, lagu yang kudapat dari begitu banyak orang yang kuamati di taman ini. Judul?
Aku tidak pernah memberi judul pada setiap lagu ciptaanku. Tapi ka
rena aku paling suka mengamati kisah cinta semua pengunjung taman
ini, mungkin lagu ini akan kuberi nama Dear Love, sama seperti keinginanku untuk menyapa setiap cinta yang bersemi disekitarku. Termasuk kalian.”

Dennis tersenyum, kemudian menatap Ann di sampingnya. Ia mempererat gengaman tangannya.

Dear Love...
Apa kalian masih ingat? Dulu aku pernah bilang, aku ingin sekali keluar dari kehidupanku yang serba membosankan. Aku ingin sekali punya cerita cinta yang unik, yang indah dan berakhir bahagia. Tentu saja aku tidak berharap kisah cintaku bisa menjadi sedemikian rumit. Tapi aku lega karena pada akhirnya semua ini berakhir bahagia. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini, mungkin senang...mungkin deg-degan...tapi yang pasti cinta telah membuatku bahagia. Kata orang cinta itu buta. Mungkin ada benarnya juga...entah bagaimana aku menjelaskan pada kalian semua. Aku hanya ingin kalian selalu percaya bahwa cinta itu selalu ada, jangan pernah ragu mencintai seseorang hanya karena kalian takut menghadapi semua resikonya. Bukankah cinta itu selalu kuat dan siap menopang kalian?
Dan cinta bisa memberi sayap pada kalian semua, membawa kalian terbang tinggi. Tapi ada saatnya bagi kalian untuk jatuh....benar kata orang, semakin tinggi kita terbang, semakin keras dan sakit saat kita jatuh. Tapi jangan khawatir, sayap yang patah itu akan segera terbentuk kembali kalau kalian tidak pernah berhenti percaya. Hm....apa lagi yang harus kuceritakan? Oh ya, Emma sekarang sudah diangkat jadi kepala manajer di perusahaan Pamannya. Ia kelihatannya sangat menikmati pekerjaannya. Meskipun banyak yang mengungkit-ungkit keberhasilannya dengan unsur koneksi, tapi Emma tidak peduli. Ia memang selalu begitu. Selalu menjadi dirinya sendiri tanpa mau peduli kata orang lain. Tapi sifatnya tidak pernah berubah, keras kepala dan suka sekali ganti-ganti pacar. Aku bahkan
sudah lupa siapa nama pacar terbarunya. Percuma saja diingat, minggu depan juga sudah ganti.

Lalu Josh...cinta pertamaku dan sahabat baikku. Dua minggu setelah aku sampai di London, aku menerima kabar darinya kalau ia akan segera melamar Sherly. Aku turut senang, semoga saja Sherly menerima lamarannya. Aku sungguh berharap Josh bisa bahagia.

Ria dan Priska. Mereka seperti tidak pernah kehabisan cerita. Priska masih bergelut dengan dunia tarik suaranya, jangan kaget kalau suatu hari nanti kalian akan mendapatkan berita tentang sensasi penyanyi baru. Selamanya aku akan menjadi penggemar nomor satunya. Ria sudah bertunangan dengan seorang bankir muda, Revan kalau tidak salah. Akhirnya mimpinya terwujud juga, menikah dengan pangeran tampan yang kaya.

Aku dan Dennis baik-baik saja. Meski aku sekarang sangat merindukannya. Aku diLondon meneruskan kuliahku dan dia di sana. Dia selalu penuh kejutan, sebentar-bentar bilang jabatannya sudah mau dipromosikan...sebentar-bentar bilang mau pindah rumah...Tapi aku rindu sekali padanya....Apa kalian ada waktu untuk menyampaikan salamku padanya?

Katakan padanya....aku selalu mencintainya.
---

Ann menutup latopnya. Tersenyum kecil, kemudian beranjak masuk ke kamarnya.

The End
I don't know but i believe
That some things are meant to be
And that you'll make a better me
Everyday I love you
I never thought that dreams came true
But you showed me that they do
You know that i learn something new
Everyday i love you
Coz I believe that destin
y is out of our control
And you'll never live
Until you love with all your heart and soul
It's a touch when I feel bad
It's a smile when I ged mad
And all the things I have
Everyday I love you
If I ask, will you say yes?
Together we're the very best
I know that I am truly blessed
Everyday I love you
And I'll give you my best
Everyday I love you....
( Everyday I love you : Boyzone )

0 komentar:

Posting Komentar

 

Widya Emblogs Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | Make Money from Zazzle|web hosting