Calvin duduk
tenang di ruang tamu dalam apartemen mewahnya. Semua keterangan yang diberikan
oleh pegawai ayahnya didengarnya
baik-baik.
Setelah pegawai itu selesai membeberkan semua hasil penyelidikannya, Calvin mengangguk
kecil dan memintanya pergi. Kemudian ia merenung sendiri.
Dennis Lionardi.....aku sudah
tahu semuanya...
------------
Keesokkan
harinya...
“Dennis,
ada yang mencarimu di luar,” teriak salah satu teman kerja Dennis.
Dennis yang
sedang bersama dengan Heru memperbaiki pesanan seorang pelanggan, langsung
membersihkan tangannya dan tergopoh-gopoh berlari keluar. Ia terkejut melihat Calvin
tengah berdiri di sana menantinya. Kehadiran pria itu terlihat paling mencolok
ditengah-tengah para karyawan. Tapi setelah melihat Dennis, Calvin langsung
memberi isyarat padanya untuk bicara di luar. Dennis hanya mengikutinya saja
sampai di tempat parkir Calvin.
“Wah, ada
perlu apa nih kau sampai dating kemari? Aku baru saja mau berangkat ke rumah Ann.”
Dennis menghampiri Calvin yang menunggu tepat di depan mobilnya.
Tapi
entah kenapa Calvin mengeluarkan sejumlah uang dari balik jas mahalnya, “Berapa
semua biaya pekerjaanmu?”
”Maksudmu?”
”Aku akan
bayar tunai, hari ini tidak perlu datang lagi ke rumah Ann.”
”Kenapa?
Jam itu kan belum selesai kuperbaiki.”
”Tidak
masalah, lagipula tadi aku sudah terlanjur menyewa tukang lain dari rekomendasi
temanku. Tukang itu yang akan melanjutkan sisa pekerjaanmu.”
Dennis
memiringkan kepalanya, menatap Calvin samar, “Kenapa kau tidak mengizinkan aku
mengerjakan pekerjaanku sampai selesai? Apa kau kira aku tidak sanggup?”
”Aku
tidak ragu pada kemampuanmu. Seperti yang sudah kubilang tadi, aku sudah menyewa
tukang lain. Ini, ambil saja bayaranmu.”
Tapi
dengan sopan Dennis menepis uang itu, “Pekerjaan belum kuselesaikan, mana boleh
aku terima bayaran? Simpan saja untuk tukang servis baru itu.”
Calvin
mengangguk kecil. Kemudian ia menyimpan uang itu kembali ke dalam saku jasnya
dan langsung menatap Dennis dengan dingin, “Kelak aku harap kau tidak perlu datang
ke rumah Ann lagi.”
“Hah?”
“Kau
dengar kataku tadi kan?”
Dennis
terdiam sesaat.
“Jangan
kau kira aku tidak tahu apa-apa tentang hubungan kalian ini. Aku sudah menyelidikimu
baik-baik, Dennis. Aku tahu semuanya. Kau pernah punya hubungan khusus dengan
Ann lima tahun yang lalu, tapi kau mencampakkannya demi uang.”
“Aku
tidak tahu cerita versi mana yang kau dengar, tapi yang pasti aku tidak mencampakkan
Ann, apalagi demi uang.”
”Silahkan
berdalih, tapi fakta kalau kau mendekati Ann karena ingin melunasi hutang ayahmu
adalah benar kan?”
Dennis malas
menjelaskan setiap kali ada orang yang menyalahkan dirinya karena itu, “Awalnya
memang begitu, tapi setelah aku benar-benar menyukainya, sedikitpun aku tidak berniat menyakitinya.”
Dijelaskan
sampai berapa kali pun tidak akan ada yang percaya..
“Aku
tidak peduli bagaimana perasaanmu pada Ann, tapi yang je
las
sekarang Ann itu tunanganku. Aku tidak suka melihat kau mondar-mondir dalam
kehidupannya setelah sekian lama menghilang.”
”Tidak
ada yang menghilang. Bukankah Ann sendiri yang kuliah di Inggris selama lima tahun
ini dan tidak pernah pulang? Aku sama sekali tidak bermaksud menampakkan diri di
depannya begitu saja, pertemuan kami terjadi secara kebetulan. Kalau kau
keberatan, aku maklum. Percayalah, aku sendiri tidak berharap bisa bertemu lagi
dengannya.”
Calvin
melepaskan kacamata tipisnya, wajah tampannya menyiratkan kebencian yang dalam,
“Dengarkan aku baik-baik, tukang servis. Aku tidak mau tahu apa-apa saat ini, aku
hanya mau menegaskan padamu sekali lagi, jangan sampai kau berani dekati tunanganku
itu, karena sebenarnya aku tidak yakin baik kau maupun Ann sudah saling melupakan
atau belum. Aku tidak mau ambil resiko kehilangan Ann karena kau. Asal kau tahu
saja, aku bisa saja berubah menjadi orang yang sangat jahat kalau aku ingin mempertahankan
sesuatu.”
“Apa
maksudmu?”
”Kalau kau
berani mendekati Ann lagi..”
”Tunggu,
siapa bilang aku mau mendekati Ann lagi?”
”Tidak
usah pura-pura, aku bisa membaca semua yang ada di kepalamu itu. Kau mungkin
tidak pernah kepikiran ingin merebut Ann dariku, tapi tentunya kau berharap
bukan? Aku yakin kau juga sadar kau ini bukan apa-apa jika dibandingkan
denganku. Apa dengan
keadaanmu
yang seperti ini kau bisa merebut Ann kembali ke sisimu? Jangan mimpi disiang
bolong. Memandangmu saja Ann sudah tidak sudi.”
Dennis
naik pitam, tapi ditahannya, “Lalu apa maumu?”
”Aku mau
kau tahu diri sedikit. Jangan dekati Ann lagi, kalau tidak aku akan memastikan kau
akan menyesal seumur hidupmu. Sudah kubilang tadi, aku bisa berubah menjadi orang
yang jahat kalau aku ingin mempertahankan sesuatu. Aku tahu semua latar belakang
kehidupan masa lalumu yang suram, tentunya kau tidak ingin semua itu terulang lagi
kan? Kalau kau masih berani merebut milikku yang paling berharga, aku pun akan
berbuat hal yang sama.”
”Jangan
bertele-tele! Apa maksudmu!”
”Akan
kubuat kau kehilangan pekerjaanmu. Segalanya. Orang-orang yang ada disekitarmu
pun akan kubuat menanggung akibatnya. Kau mengerti?”
”Aku
bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Ingat baik-baik, Dennis, aku bisa saja menjadi
orang jahat. Kau tentunya tidak mau kehilangan segalanya kan?”
Dengan marah
Dennis menarik kerah kemeja Calvin, tangannya mengepal marah siap meninju wajah
angkuh itu, “Tadinya kukira kau orang baik-baik, kukira kau memang pantas mendampingi
Ann. Tapi ternyata kau cuma orang licik yang menghalalkan segala cara untuk
menekan orang lain! Apa istimewanya menjadi orang kaya yang punya kekuasaan?!
Aku tidak takut padamu!!”
“Oh ya?
Sekali saja kau memukulku, aku jamin kau akan menyesal seumur hidup.” Calvin
menyeringai licik.
Tadinya
Dennis sudah setengah mati menahan diri untuk tidak menghajar Calvin, tapi pria
itu malah mencondongkan wajahnya menantang Dennis.
“Kenapa?
Bukankah tadi kau bilang tidak takut padaku? Lalu kenapa kau tidak berani menghajarku?”
Calvin tertawa sinis, “orang-orang pinggiran sepertimu memang paling pengecut,
gampang ditekan.”
”Keparat!!”
Dennis tidak
kuat menahan emosinya, dihajarnya wajah sombong itu sampai telak. Calvin
terhuyung jatuh, tapi dalam sekejap ia sudah bangkit lagi. Darah menetes
sedikit dari bibirnya, “Hanya segini kemampuanmu, tukang servis? Kenapa? Kurang
makan jadi tidak kuat menghajar orang?! Rakyat jelata sepertimu memang
memalukan. Tukang pukulku saja bisa memukul anjing lebih baik darimu!”
Dennis semakin
kalap, lagi-lagi ia mengayunkan tinjunya ke wajah Calvin. Kali ini sangat keras,
Calvin sampai tersungkur di bawah dan butuh waktu yang lama untuk bangkit. Nafas
Dennis turun naik. Tapi kemudian ia meredakan emosinya, otaknya berpacu keras untuk
berpikir.
Ada yang aneh...kenapa aku punya perasaan
kalau si brengsek ini
memang sengaja minta dihajar?
Seakan-akan ia yang menawarkan diri?
Belum
sempat Dennis memecahkan teka-teki itu, semuanya sudah terlambat. Tiba-tiba entah
dari mana sebuah taxi berhenti di depan mereka. Ann turun dari taxi itu dan
tergesa-gesa menghampiri tempat mereka dengan wajah ketakutan. Dennis terperanjat
menahan nafas, bagaimana mungkin Ann bisa tiba-tiba muncul?!
Berbagai
kemungkinan skenario yang dirancang Calvin semuanya berterbangan di dalam benaknya.
Saat Dennis menyadari kehadiran Ann yang begitu di luar dugaan, ia baru bisa menebak apa maunya Calvin itu. Sial....orang licik ini pasti sudah
mengatur semuanya!!!!
Benar dugaan
Dennis, begitu melihat Ann datang, tiba-tiba saja Calvin berakting meronta-ronta
kesakitan sembari memegang luka di wajahnya. Ann memeganginya dengan cemas,
“Calvin, kau tidak apa-apa?”
“Kenapa
kau lakukan ini!!” Ann mengangkat wajahnya dan membentak Dennis dengan suara
tinggi, “kenapa kau memukuli Calvin?!”
Dennis
tercekat, “Ann, dengar aku baik-baik, aku tidak.....”
astaga,
bagaimana aku menjelaskannya!!
“dia
duluan yang mencari masalah!!”
Calvin
bangkit berdiri dengan susah payah. Wajahnya tidak ada luka yang berarti, tapi
tingkah lakunya dibuatnya seolah-olah ia sangat kesakitan. Ia menatap Dennis
dengan akting pura-pura ketakutan,
”Aku
menemuinya disini karena aku memintanya tidak perlu datang ke rumahmu lagi
untuk memperbaiki jam, tapi entah kenapa dia marah sekali dan langsung
menghajarku.”.
“Pembohong!!
Ann, jangan dengarkan dia!!! Makhluk ini lebih licik daripada yang kau kira!!”
“Aku
melihat dengan mata kepalaku sendiri, kau memang menghajar
nya,
Dennis!!! Bisa-bisanya kau malah balik menuduh Calvin?!Orang sepertimu mana
bisa kupercaya!”
“A...apa..”
Dennis semakin terpojok.
“Ann,
sudahlah....jangan cari masalah lagi dengannya.” Calvin pura-pura prihatin,
“kita pergi saja.”
Dennis
mencekal tangan Ann, “Ann, dengarkan aku dulu! Ini tidak seperti yang kaulihat!
Dia sengaja memancing emosiku...”
Ann
dengan kasar melepaskan tangan Dennis,
“Keterlaluan
kau, Dennis! Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi karena aku sudah melihat
semuanya!”
“Tapi dia
dulu yang mengancamku!! Dia sengaja mengatur semua ini supaya kau dating dan
melihat semuanya! Dia berbuat seperti ini supaya kau semakin membenciku!!”
”Bicara
apa kau?” Ann menatapnya dengan sinis, “aku tidak mau mendengar apa-apa lagi darimu!
Cepat pergi dari hadapanku.”
”Ann,
tunggu dulu!”
Ann berlari
masuk ke dalam mobil Calvin, sedikitpun ia tidak menghiraukan teriakan-teriakan
Dennis dari luar. Calvin menoleh ke tempatnya, tersenyum kecil kemudian
langsung mengemudikan mobil itu kencang-kencang.
***
Di dalam
apartemen Calvin.....
“Maaf,
aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu cemas. Seharusnya kau tidak perlu
datang ke
sana.” ujar Calvin sewaktu Ann mengompres luka di bibirnya.
“Aku
langsung datang ke sana setelah kau telepon. Tadinya kukira ada apa, kau bilang
di
telepon
kalau kau ingin aku ikut bicara pada Dennis. Tapi begitu sampai di sana, aku
malah melihat dia sedang memukulimu.”
”Maaf....seharusnya
aku tidak menyuruhmu datang. Aku juga
tidak tahu kenapa dia bisa
berbuat
seperti ini. Dia menghajarku seperti orang gila saja!”
Ann
meletakkan kantung kompresannya, wajahnya terlihat lesu.
“Aku
tidak mengerti kenapa Dennis bisa semarah itu. Aku bilang baik-baik padanya
kalau dia
tidak perlu datang lagi tapi dia langsung...”
”Calvin,”
potong Ann, “ada yang harus kuceritakan padamu.”
“Tentang
apa?”
“Tentang
Dennis dan aku. Dennis itu sebenarnya...”
”Mantan
pacarmu?”
Ann
mendongak kaget, “Kau sudah tahu?”
”Josh
yang memberitahuku kemarin. Aku tidak marah padamu, Ann. Lagipula itu hanya
masa lalu, kau memang tidak perlu memberitahuku semuanya.”
”Tapi
sebenarnya di antara kami tidak bisa dianggap punya hubungan khusus.”
”Aku
percaya padamu, Ann. Sejujurnya aku memang takut setelah mendengar semuanya.
Makanya
aku tiba-tiba ingin menggantikan Dennis dengan pekerja lain, karena aku khawatir dia akan mendekatimu lagi. Aku tahu
kekhawatiranku itu tidak beralasan...seharusnya aku tidak perlu berbuat begitu.
Aku tidak menyangka dia akan marah besar sampai menghajarku segala...”
”Calvin...kau
perlu tahu satu hal, antara aku dan Dennis benar-benar tidak ada apa-apa
lagi. Itu
hanya masa lalu.”
“Kau
sungguh tidak punya perasaan apa-apa lagi padanya?”
Ann tertawa kaku, “Kau becanda? Tentu saja tidak.
Setelah semua yang ia lakukan padaku, mana mungkin aku masih menyimpan perasaan
padanya. Lagipula....setelah melihat perbuatan dia padamu hari ini...aku jadi
tahu dia memang tidak pernah berubah, tetap saja suka berbuat seenak hatinya.
Dia tidak pernah berhenti membuatku kesal.”
Calvin
meraih tangan Ann dan meremasnya lembut, “Tadinya aku kira kehadiran Dennis bakal
mengancam hubungan kita, tapi kini aku percaya sepenuhnya padamu. Berjanjilah padaku
mulai sekarang kau tidak akan menyembunyikan apa pun lagi dariku.”
”Baiklah.”
***
Malam harinya
saat Ann sedang sibuk menyelesaikan tugas kuliahnya yang menumpuk, pembantu
rumah datang memberitahu Ann bahwa ada seorang pria yang ingin menemuinya. Ann
menyuruh pembantu rumah membukakan pintu dan bilang pada orang itu ia akan
segera turun. Tapi tak lama kemudian pembantu itu datang lagi , katanya tamu itu
tidak mau masuk ke dalam. Ia hanya mau menunggu Ann di luar rumah.
Dengan
malas-malasan Ann mematikan laptopnya dan segera keluar dari rumah. Tamu macam
apa yang lebih memilih bertemu didepan rumah daripada diundang masuk?
Sesampai
di depan pagar, ia kaget melihat tamu itu ternyata Dennis.
“Mau apa
kau ke sini?! Aku tidak mau bicara apa-apa lagi.” Ann segera mengambil langkah
seribu meninggalkan Dennis. Tapi kali ini Dennis tidak akan melepaskannya. Ia dengan
gesit menyambar pergelangan tangan Ann, memaksanya tetap berdiri di sana.
”Aku
tidak rela selalu menjadi pihak yang disalahkan! Kau tenang saja, aku juga
tidak akan berlama-lama di sini.” Dennis mengendurkan pegangannya, “mungkin apa
pun yang kujelaskan padamu tidak akan bermanfaat, aku tahu sedikitpun kau tidak
akan mempercayaiku. Tapi aku minta kali ini kau harus percaya padaku! Kejadian
tadi pagi sungguh di luar kemauanku.”
”Kau
memang selalu memakai alasan itu, Dennis. Apa pun yang kau lakukan selalu kau bilang
di luar kemauanmu!”
“Calvin tidak
seperti yang kau puja-puja selama ini! Dia datang ke tempatku, mengancamku agar
tidak menemuimu lagi atau aku akan dibuatnya menyesal seumur hidup. Dia memang memiliki
segalanya, uang dan kekuasaan yang aku tidak punya. Tapi aku tidak akan mau
menjadi bulan-bulanannya! Terserah kau mau percaya padaku atau tidak, aku hanya
mau kau tahu yang sebenarnya! Aku tidak mau kelak kau menikah dengan orang yang
salah.”
”Calvin
bukan orang seperti itu. Aku tidak akan percaya padamu, Dennis. Sejujurnya kukatakan
padamu, aku menyesal kita bertemu lagi di taman itu. Apa kau tahu, sebenarnya
aku berharap tidak pernah melihatmu lagi!” Ann menatapnya kosong, “lima tahun adalah waktu yang lama, aku baru bisa sembuh dari semua
luka yang kau buat padaku itu selama lima tahun! Aku sekarang sudah punya hidup
yang baru, aku bahkan sudah mulai bahagia dengan pertunanganku. Tapi tiba-tiba
saja kau muncul di depan mataku dan merusak semuanya! Apa kau tidak merasa bersalah
padaku, setelah aku bisa pulih kembali dari semua lukaku lalu kau mau buat luka
yang baru lagi?”
Dennis
diam.
“Apa hakmu
menuduh Calvin orang yang salah? Aku tidak menyesal bertunangan dengannya, setidaknya
aku tidak merasa tertekan setiap kali berhadapan dengannya, aku punya jaminan
dia tidak akan menyakitiku dan setidaknya aku tahu dia sungguh-sungguh mencintaiku!”
”Apa
bersamaku tidak ada perasaan itu?”
”Jika aku
bersamamu yang akan kurasakan hanyalah kesengsaraan!
Apa kau
tahu, berdiri di sini menatapmu saja aku sudah sangat menderita ?!”
Dennis
terpukul sekali, “Sedalam itukah kebencianmu padaku?”
”Seharusnya
kau sudah sadar sejak pertama kali kau menyakitiku. Aku tidak mengerti apa
maumu sebenarnya, dulu kau bilang aku harus melupakanmu, lalu setelah aku berhasil
melupakanmu kau malah memaksaku agar tidak membencimu. Aku tidak tahu sampai
kapan aku bisa memaafkanmu! Jadi aku mohon Dennis, pergilah dari
kehidupanku.
Jangan kau ganggu aku dan Calvin lagi, biarkan aku hidup lepas dari
bayang-bayangmu. Tolong jangan rusak kebahagiaanku.”
”Begitu
ya?” Dennis mengangguk kecil, kemudian perlahan-lahan melepaskan pegangan tangannya
dari Ann, “aku hanya mau kau tahu satu hal. Aku tidak pernah ingin menyakitimu
sedikitpun. Mungkin sudah terlambat bagiku untuk mengatakannya, tapi aku memang
mencintaimu. Mudah bagimu untuk melupakanku, tapi aku tidak bisa
melupakanmu
meskipun kau beri aku waktu selama 5 tahun atau lebih! Aku tidak akan bisa! Aku
menyesal atas semua perbuatanku dulu. Aku tidak menyalahkanmu kalau kau memang
sangat membenciku, aku memang bodoh telah melepaskanmu begitu saja. Kupikir itu
semua demi kebaikanmu, tapi ternyata semuanya hanya akan membuatmu salah paham dan
terus membenciku. Sampai kapan pun kau tidak akan percaya kalau aku sungguh
mencintaimu, semua yang kulakukan, semua yang kukatakan untuk menyakitimu waktu
itu, kulakukan karena terpaksa!”
Ann
tercengang diam, “Kau...kau bilang apa?” Ia kaget mendengar semuanya.
“Aku tahu
semua yang terjadi di antara kita tidak bisa dirubah lagi,
tapi
kalau saja aku bisa memutar balik waktu....aku tidak akan sekalipun menyakiti
hatimu, aku tidak akan melepaskanmu hanya karena aku merasa tidak pantas
mendampingimu. Tapi waktu itu aku tidak bisa berpikir panjang, aku malah
melepaskanmu begitu saja dan sekarang semuanya sudah terlambat. Aku juga
menyesal kenapa kita harus bertemu lagi. Bukan hanya kau yang
menderita, Ann, aku bahkan lebih menderita tapi aku selalu menyimpannya dalam
hati dan sampai kapanpun juga aku tidak akan pernah bisa pulih sepertimu! Tapi
aku janji tidak akan merusak kebahagiaanmu dengan Calvin. Aku juga tidak akan
mengganggumu lagi kalau memang itu maumu. Kalau kau meminta aku pergi........aku
akan pergi.”
Dennis
menatapnya untuk yang terakhir kali, kemudian melangkah pergi, meninggalkan Ann
seorang diri berdiri di sana. Tinggal Ann di sana, berusaha membunuh semua
keraguan yang kini mulai merasuki
hatinya.
Semakin ia mencoba untuk tidak percaya, semakin ia tenggelam dalam keraguan itu.
***
Dalam ruang
kerja yang gelap itu Ann menekan nomor telepon rumahnya di Inggris, jantungnya
berdegup kencang saat mendengar
suara
Papa, “Papa...maaf meneleponmu malam-malam begini.”
Di ujung
sana Papa tertawa, “Tidak apa-apa, sayang. Ada apa sebenarnya, sampai interlokal
begini? Kamu kedengarannya sedang ada masalah.”
“Ada yang
ingin kutanyakan pada Papa.”
”Ya?
Tanyakan saja.”
”Lima
tahun yang lalu....Papa pernah memberi cek kosong pada Dennis. Apa Papa masih ingat?”
Papa
terdiam. Ada jeda panjang di antara mereka.
“Papa....tolong
jawab aku yang jujur. Cek kosong itu apa pernah dicairkan oleh Dennis?”
“Kenapa
tiba-tiba kamu menanyakan hal ini?”
”Tolong,
Papa. Jawab aku.”
Papa diam
lagi. Yang ada hanya suara nafasnya.
“Ann,
sebelum Papa mengatakan yang sejujurnya padamu. Papa mau kamu mengerti satu hal,
apa yang Papa lakukan ini semuanya demi kebaikanmu. Papa takut pemuda itu akan merenggut
semua kebahagiaanmu, jadi Papa...”
”Pa,
tolong jawab saja pertanyaanku itu.”
“Ann......”
Jantung
Ann rasanya mau copot, ia seolah-olah mati rasa. Dicengkramnya gagang telepon
itu kuat-kuat, air matanya siap menetes, “Cek itu....cek itu ternyata tidak dicairkan
Dennis, bukan? Ternyata dia tidak pernah memakainya...Benarkah?”
“Ann...Papa...Papa
sungguh tidak bermaksud membohongimu, waktu itu Papa benar-benar mengira dia
sudah memakai cek itu. Maafkan Papa, Ann, Papa tidak memberitahumu karena Papa
tidak mau kamu terjerumus lebih dalam lagi dengan pemuda itu, selain itu Papa
kira antara kamu dan pemuda itu semuanya sudah berakhir, jadi tidak ada yang
perlu diungkit-ungkit lagi. Apa kamu sadar, Papa terpaksa melakukan ini semua
demi masa depanmu? Lihatlah dirimu sekarang....kamu sudah punya segalanya,
tidak kekurangan apapun juga, bukankah itu lebih baik ketimbang hidup luntang-lantung
dengan pemuda itu?”
Jadi benar Dennis tidak
mencairkan cek itu....
Pegangannya
pada gagang telepon itu terlepas begitu saja, sekujur tubuhnya membeku kebingungan.
Ann sudah
mencoba untuk tidak menangis, tapi air mata itu terus menetes tanpa ia sadari. Ia
tidak perlu mempertanyakan hal-hal yang lainnya lagi, hanya perlu tahu satu kebenaran
itu saja sudah cukup untuk mengetuk hatinya, menamparnya keras-keras hingga ia
sadar apa yang sebenarnya terjadi lima tahun yang lalu.
Ia lalu
meringkuk di bawah seorang diri. Menahan penyesalan yang sangat amat dalam. Menyesal
kenapa ia tidak mau menghiraukan kata-kata Emma dan Vincent waktu itu, menyesal
mengapa ia tidak pernah mau mempercayai ucapan Dennis, tapi lebih menyesal lagi
karena ia tidak pernah mau mendengar kata hatinya sendiri.
Bukankah
sekarang semuanya sudah terlambat? Kini Ann tidak tahu harus bersikap bagaimana
terhadap semuanya. Ia sudah terlambat menyadari kebenaran yang selama ini
tersimpan rapat darinya. Ia tidak menyalahkan Papa sama sekali, ia bisa
memaklumi semuanya. Tapi Calvin? Bagaimana Ann harus menghadapi Calvin setelah
ia tahu semuanya? Apa benar yang diucapkan Dennis tadi, kalau Calvin sengaja
mengatur perkelahian itu agar dirinya semakin membenci Dennis?
Perasaan
Ann kini terombang-ambing tak menentu, ia benar-benar kehilangan arah. Butuh
waktu lima tahun baginya untuk menyusun kembali kepingan-kepingan hatinya yang
hancur karena Dennis, dan butuh waktu lima tahun baginya untuk melupakan sosok pemuda
itu. Tapi rentang waktu yang begitu lama itu pupus semuanya hanya dalam waktu
satu malam. Dan dalam waktu satu malam itu ia kembali hancur oleh perasaannya sendiri,
oleh kenyataan bahwa sesungguhnya
Dennis
masih ada di dalam hatinya.
Sesungguhnya
ia tidak bisa melupakan pemuda itu. Dan sesungguhnya selama ini ia hanya
berpura-pura kuat, pada kenyataannya ia masih sangat rapuh. Ia tidak pernah
bisa melupakan Dennis. Ini semua tidak perlu terjadi kalau saja
ia mau mendengar semua penjelasan teman- temannya. Kalau saja ia mau menunggu lebih
lama sedikit di taman itu sebelum keberangkatannya ke Inggris.
Sekarang
semua yang sudah susah payah dibangunnya selama ini hancur berantakan. Perasaannya
pada Calvin lenyap tak berbekas. Ia bahkan tidak sanggup membayangkan dirinya
sudah bertunangan dengan pria itu. Bagaimana ia nanti akan menikah dengan orang
yang tidak ia cintai?
Aku tidak boleh mengkhianati
Calvin.........tapi bagaimana aku bisa mengingkari perasaanku yang sesungguhnya
pada Dennis?
***
Keesokkan
harinya.....
Calvin
bisa mencium gelagat tidak baik dari tingkah laku Ann yang serba aneh pagi ini.
Walaupun mereka sarapan pagi bersama-sama
di ruang
tamu Ann, tapi Ann hanya diam saja dan tidak menatapnya sejak tadi. Gadis itu hanya
sibuk memainkan sarapannya dengan garpu, sedikitpun ia tidak menyentuh makanan
itu.
“Kemarin
aku bertemu dengan keluargaku. Coba tebak apa hasil percakapan kami semalam? Ayah
dan Ibuku minta pernikahan kita dimajukan saja, mungkin 2 minggu lagi, jadi
tidak perlu menunggu kita balik ke London lagi. Ibuku bersikeras mau menyiapkan
segalanya sendiri, katanya pernikahan itu dilangsungkan di sini saja, di gereja
tempat orang tuaku menikah dulu. Kau tidak keberatan kan? Maaf ya...semuanya
jadi tiba-tiba begini. Aku juga sebenarnya tidak mau terburu-buru, tapi mereka
terus mendesak.”
Orang
yang diajak bicara malah diam.
“Ada apa?
Wajahmu kelihatan murung sekali.” tanya Calvin padanya.
Ann
meletakkan garpunya diatas piring, ia termenung sebentar. Kedua tangannya disembunyikan
di balik meja, tangan sebelah kanannya memainkan cincin yang melingkar di jari
manis kirinya dengan penuh perasaan cemas. Ia mengigit bibirnya.
Aku harus jujur pada Calvin, aku
tidak mau ia terluka di saat terakhir. Ann ragu lagi, tapi
kalau aku menceritakan yang sejujurnya pada Calvin sekarang, bukankah sama
saja? Ia tetap bakal terluka..
“Ann, aku
mohon....ada apa sebenarnya? Apa ada yang ingin kau katakan padaku?”
Calvin
menatapnya semakin tajam.
Calvin
terhenyak kaget, roman mukanya langsung berubah drastis begitu mendengar kalimat
tadi.
“Aku
tidak bermaksud melukaimu...aku tahu ini kejam sekali dan kau pasti tidak bisa menerimanya,
tapi aku tidak boleh terus menipu diriku sendiri, terlebih-lebih menipu dirimu.
Aku tidak sanggup menikah denganmu, Calvin..”
“Tapi
kenapa ?!”
“Aku
tidak pantas menikah denganmu....selama ini kau terlalu baik, percayalah kau
akan menyesal bila menikah dengan..”
”Itukah
alasanmu yang sebenarnya? Atau kau punya alasan yang lainnya lagi ?!” bentak Calvin
tiba-tiba.
Ann
mengangkat wajahnya, menatap Calvin dengan perasaan bersalah campur kaget. Baru
kali ini ia mendengar Calvin membentak dirinya.
“Jawab
aku, Ann! Aku tidak bisa terima
kalau
memang cuma itu alasanmu! Sama sekali tidak masuk akal! Setelah bertunangan selama
dua bulan kenapa baru sekarang kau membatalkan pernikahan kita, hah?!”
“Aku...”
Ann berusaha mencari akal bagaimana sebaiknya ia harus menjelaskan semuanya pada
Calvin, “itu karena selama 2 bulan ini aku tidak tahu apa-apa tentang rahasia
itu, aku tidak tahu apa-apa tentang kejadian yang sebenarnya antara aku dan Dennis
lima tahun yang lalu...”
”Apa kau
bilang?” Calvin membanting peralatan makannya ke atas meja. Ia beranjak cepat
dari meja makan itu dan menarik Ann. Wajahnya memerah karena menahan marah, “apa
kau bilang tadi?! Dennis katamu?!”
Ann
benar-benar kaget, ia melepaskan tangannya dari Calvin, “Aku harus jujur
padamu. Antara aku dan Dennis memang terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan
lima tahun yang lalu, tapi ternyata semua itu hanya kesalahpahaman yang sengaja
ditutup-tutupi dariku. Aku baru tahu semuanya tadi malam, dan aku menyesal
padamu...karena saat itu aku sadar aku masih menyimpan perasaan padanya.”
”Jangan kau
lanjutkan lagi, Ann.” Calvin membuang muka, “hentikan semua ucapanmu itu, aku
tidak mau dengar lagi.”
”Calvin, kau
bebas memarahiku karena aku memang salah. Tapi bukankah lebih baik aku menceritakan
semuanya padamu sebelum kita menikah dan semuanya menjadi tidak karuan?”
Tapi
Calvin diam, wajahnya mengeras dan matanya menyorotkan kebencian yang mendalam.
“Calvin,
aku mohon bicaralah padaku. Katakan sesuatu. Apa saja.”
Ann
menatapnya pilu. Aku telah menyakiti
hatinya...tapi aku harus bagaimana lagi?
“Kenapa,
Ann? Kenapa kau bersedia mengorbankan semua kebahagiaan yang bisa kuberikan
padamu demi orang itu? Kenapa kau rela melepaskan semuanya hanya untuk menyelamatkan
hubunganmu dengannya?!! Apa kau tidak bisa berpikir dengan akal sehatmu, apa
yang bisa kaudapatkan dari pria itu, hah?! Dia tidak punya apa-apa untuk membuatmu
bahagia, dia tidak memiliki semua yang aku miliki! Bersama dengannya hanya akan
membuat hidupmu
hancur
berantakan!”
Ann
memejam matanya, sedih.
“Pikir
itu baik-baik, Ann! Apa kau mau mengorbankan segalanya demi dia?!”
”Tapi aku
mencintainya, Calvin.” jawab Ann tak berdaya, “semua yang kau ucapkan itu benar.
Aku tidak memiliki jaminan dia bisa membuatku bahagia seperti yang bisa kaulakukan
padaku. Dia juga tidak memiliki semua yang kaumiliki. Tapi aku tidak mengkhawatirkan
apa-apa karena aku mencintainya. Aku tidak bisa membuang perasaan ini jauh-jauh
hanya karena aku takut melihat masa depanku dengannya. Aku punya harapan
meskipun itu cuma sedikit, tapi aku tidak peduli.”
”Cinta
katamu? Berpikirlah secara logika, Ann! Kau tidak bisa hidup hanya dengan modal
cinta! Aku bisa memberimu cinta sebanyak yang kau mau, bahkan lebih!”
Cinta itu buta, ia akan menutup
semua pikiranmu hingga kau tidak bisa berpikir panjang lagi tentang realita. Aku
tidak mau munafik, aku tahu betul dengan Dennis aku tidak punya masa depan yang
cerah dibandingkan aku bersamamu. Tapi bagaimana mungkin aku hidup dengan orang
yang sama sekali tidak aku cintai? Bukankah itu hanya akan menyiksaku dan malah
membuatku tidak bahagia? Tidak bahagia sama saja membunuh diri kita sendiri... sedikit
demi sedikit.... hingga apa yang bisa kita lakukan selanjutnya hanyalah menyesali
diri. Aku pernah sekali tidak percaya dengan apa kata hatiku, dan aku mengingkarinya
hingga aku sangat menyesal sekarang. Sekarang aku tidak mau lagi berbuat hal yang
sama, aku tidak mau lagi menyesal. Kali ini aku ingin mempercayai kata hatiku.
Melihat Ann
tidak bisa menjawab, Calvin hanya menatapnya dengan dingin. Suaranya terdengar
penuh ancaman, “Aku akan menunjukkan padamu seberapa besar cinta yang bisa
kuberikan. Kau pasti akan menikah denganku. Percayalah.”
Ia mengeluarkan
handphone-nya dari saku, menekan nomor seseorang dan berbicara sangat singkat,
“Kau masih ingat orang yang kemarin kutunjukkan padamu? Kumpulkan orang-orangmu
dan terserah mau kau apakan dia.”
Ann
tercengang tak mengerti, “A..apa maksudmu?”
Calvin
mematikan HP-nya, diam.
“Kau...kau
menyuruh orang-orangmu menghabisi Dennis?!”
”Aku tidak
pernah rela kalau ada orang yang sampai berani merebut sesuatu yang berharga
dariku.”
”Jadi
benar kata Dennis, perkelahian kemarin kau yang mengatur semuanya!! Kau sengaja
menyuruhku datang supaya aku melihat semuanya! Kau...kenapa kau bisa berbuat
seperti itu! Kau kejam sekali!”
”Semua
orang bisa berubah, Ann. Semua orang bisa berubah kalau ia takut kehilangan sesuatu.
Itu naluri dasar seorang manusia.”
----
Dennis
berjalan kaki menuju tempat kerjanya sendirian. Ia sama sekali tidak menduga sudah
ada segerombolan preman yang menguntitnya sejak tadi. Saat Dennis berbelok kejalanan
yang sepi, mereka tiba-tiba menyerbu ke arahnya dan menghajarnya ramai-ramai.
Dennis
kaget bukan main. Semua itu hanya terjadi beberapa menit setelah mereka
mendapat perintah dari Calvin. Dennis berusaha melawan tapi jumlah mereka
terlalu banyak. Meskipun ia berhasil memberi perlawanan yang sengit pada mereka,
tapi tetap saja mereka berhasil menjatuhkannya.
---
“Aku
tidak bisa memastikan apa yang diperbuat orang-orang itu pada Dennis. Tapi kau tahu
kan, orang-orang seperti itu sangat haus uang, mereka akan berbuat semau mereka
kalau aku sudah mengiming-imingkan uang. Kalau Dennis sampai mati, kau tidak
perlu lagi repot-repot memberikan cintamu pada orang lain.”
Ann
bergidik ngeri mendengar kata-kata penuh ancaman itu. Dipandanginya Calvin dengan
ketakutan, tunangannya itu sudah berubah menjadi sosok yang mengerikan tanpa ia
sadari! Ada sesuatu yang mengerikan di balik sifatnya yang begitu tenang dan
kalem.
“Kau
tega, Ann? Kalau kau tidak mau mengucapkan sepatah kata yang enak kudengar, aku
tidak bisa berbuat apa-apa kalau sampai mereka ingin menghabisi nyawa orang
yang kaukasihi itu.”
”Kau
menjijikkan sekali!!“ jerit Ann tidak tahan lagi, “kenapa kau tega berbuat
seperti ini padaku!!!”
”AKU
LAKUKAN INI SEMUA KARENA AKU TIDAK MAU
KEHILANGANMU!! SEKARANG KAU SUDAH TAHU SEBERAPA BESAR CINTAKU UNTUKMU, ANN?! KAU
SUDAH TAHU SEKARANG ?!!”
Ann
menutup kupingnya kuat-kuat, ia ingin menjerit sekencang-kencangnya seakan-akan
ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Berbagai kilatan bayangan yang
mengerikan berkelebat di depan matanya, menghantuinya dengan bayangan Dennis
yang sedang sekarat dihabisi orang-orang suruhan Calvin. Seolah-olah Ann bisa
mendengar jeritan kesakitannya, melihat darah yang merembes dari sekujur
tubuhnya, merasakan nafasnya yang terputus-putus dan tubuhnya yang menjadi
sasaran empuk kebengisan mereka. Ann tidak tahan lagi. Jiwanya ikut meradang
membayangkan semua itu.
“Katakan kau
akan menikah denganku, Ann! Atau aku akan berbuat lebih kejam lagi padanya! Aku
tidak takut dengan apapun didunia ini.Kau tahu sendiri kan, aku bisa berbuat
apa pun semudah aku membalikkan telapak tangan. Kalau sampai ia matipun aku tidak
takut, aku hanya takut kehilanganmu!” desak Calvin sambil mencengkram tangan Ann
dengan kasar,ia hampir membuatnya kesakitan, “KATAKAN PADAKU KAU AKAN MENIKAH
DENGANKU!!”
”Aku
tidak mau!!!”
Tatapan Calvin
berubah dingin, “Baik, kalau memang itu maumu....dengan begini kau sendirilah
yang mencelakakan Dennis. Kau yang bersalah kalau sampai ada sesuatu yang buruk
menimpanya. Semua ini kau yang tanggung sendiri, Ann. Aku tidak akan berbuat apa-apa.”
”Tidak !
Jangan kaulakukan itu! Suruh mereka berhenti! Cepat!”
Calvin
tidak mengubris permohonannya. Ia melangkah pergi dengan angkuh.
“Calvin!!!
Suruh mereka berhenti!!”
Calvin
tetap tidak mempedulikannya. Bahkan seandainya Ann sampai bersujud-sujud memelas
padanya, ia tetap tidak akan peduli. Langkahnya semakin mantap meninggalkan ruangan
itu, meninggalkan Ann yang terus menjerit ketakutan memanggil-manggil
namanya.
Hingga
akhirnya Ann tidak kuasa lagi menahan semua rasa takutnya, ia berseru tegas, “Baik!
Aku akan menikah denganmu!”
Langkah
Calvin berhenti. Ia memunggungi Ann tanpa reaksi.
“Kau
dengar itu?! Aku akan menikah denganmu!! Cepat suruh mereka berhenti, Calvin, aku
mohon!!!”
Akhirnya
Calvin menoleh, tapi wajahnya kembali kelihatan tanpa ekspresi, “Apa kata-katamu
itu bisa dipercaya? Aku butuh kepastian darimu, Ann.”
“Kau tidak perlu kepastian apa-apa..” Ann menatapnya
tanpa daya, “selama kau tidak melukai Dennis, aku pasti akan menikah
denganmu...”
Calvin
tersenyum singkat, ia mengeluarkan HP dari saku celananya lagi, lalu memberi perintah
baru, “Kalian boleh berhenti, biarkan dia hidup untuk menikmati bagaimana menyakitkannya
kehilangan orang yang ia cintai. Lepaskan dia.”
Setelah
mendengar itu, kontan Ann menghela nafas lega. Rasanya ia mau mati saja saat Calvin
memberinya ancaman mengerikan seperti itu. Ia tidak habis pikir bagaimana seorang
Calvin yang begitu tenang bisa berubah menjadi kejam dalam sekejap hanya karena
takut kehilangan orang yang ia cintai? Tapi Ann tidak sempat memikirkan jawabannya
lagi, ia hanya bisa memikirkan keadaan Dennis sekarang.
Dan dalam
sekejap ia lunglai dihantui rasa takut yang luar biasa. Terlebih-lebih lagi
saat Calvin mematikan HPnya dan beralih me
natapnya,
“Aku harap kau mengerti, Ann. Aku lakukan semua ini karena aku tidak rela
melihat kau menjadi milik orang lain. Berjanjilah padaku, kau akan menikah
denganku. Jangan ingkari kata-
katamu tadi,
Ann, kau tahu sendiri aku bisa berbuat yang lebih jauh lagi.”
Ann
membeku ketakutan di sana. Tidak sanggup membalas setiap ucapannya. Kini ia
takluk sepenuhnya.
---
Dennis
tergeletak di sana, bersimbah darah. “Kau dengar kami baik-baik, bocah tengik!
Jangan sekali-kali kau dekati gadis yang bernama Ann itu lagi. Inilah
akibatnya!! Kalau kau sudah bosan hidup, kami tidak akan segan-segan
menghabisimu!”
Mereka
menendang Dennis untuk terakhir kalinya, lalu segera angkat kaki meninggalkan tempat
itu.
---
Pernikahan
yang dimajukan menjadi dua minggu lebih awal ternyata dianggap Calvin sebagai
suatu penantian yang panjang, maka dengan berbagai alasan yang dibuat-buat ia
memajukannya menjadi 3 hari lagi. Tentu saja dari pihak keluarga Ann sangat
terkejut. Mereka bergegas berangkat dari London ke Jakarta untuk membantu
persiapan pernikahan.
Di
bandara udara internasional Soekarno Hatta......
Ann bersama Calvin berdiri di depan terminal kedatangan
untuk penerbangan luar negri. Mereka tersenyum lebar saat melihat kedatangan keluarga
Ann seutuhnya. Ada kedua orang tua Ann, lalu Caroline kakaknya Ann dan suami
Caroline, Theodore. Ann berlari kecil menyambut mereka satu persatu.
Mama
memeluknya erat-erat, “Kamu kelihatan lebih kurus, Ann.”
Caroline
menghampirinya. Ann tersenyum pada Caroline, kakak semata wayangnya yang sangat
cantik dan anggun itu. Kemudian Theo, suami Caroline, ikut menepuk-nepuk pundak
Ann sambil tertawa kecil, “Senang bertemu denganmu lagi, Ann.”
Lalu tiba
giliran Papa. Pria yang penampilannya seolah-olah tidak termakan usia itu terlihat
agak sungkan melihat putri bungsunya sendiri. Percakapan mereka di telepon tempo
hari masih membekas di hatinya dan membuatnya tidak punya keberanian untuk menerima
pelukan Ann. Tapi Ann memeluknya lembut, “Pa, aku kangen sekali.”
Papa
menghela nafas lega saat dilihatnya Ann tersenyum penuh maaf padanya. Mama
memandangi Calvin bingung, “Sebenarnya ada apa? Kenapa tiba-tiba pernikahan
kalian dimajukan jadi 3 hari lagi? Kita semua jadi bingung, cepat-cepat terbang
dari London.”
”Maaf jadi
membingungkan kalian semua,” jawab Calvin penuh karisma, “aku Cuma tidak mau
menunda lebih lama lagi, takutnya nanti akan mengganggu kuliah kami berdua yang
sudah mau mulai sebentar lagi. Liburan kami kan sudah mau habis di sini, jadi
lebih baik segera menikah sebelum kami kembali ke London.”
”Apa
sudah ada persiapannya? Ini semua kan mendadak sekali. Kenapa tidak menikah di London
saja?”
”Tidak,
Tante, kata Ibu lebih baik diadakan di sini saja. Bukankah masih banyak kerabat
yang tinggal di sini? Nanti kan kasihan kalau
mereka
harus jauh-jauh terbang ke Inggris untuk menghadiri pernikahan kami,” Calvin berbalik
menatap Papa, “lagipula Ibu sudah
menetapkan
tempat pemberkatannya. Katanya digereja tempat mereka menikah dulu.”
”Ya...kalau
begitu baik juga...” Papa mengangguk-angguk kecil, masih agak bingung, “meskipun
mendadak begini tapi kami sekeluarga akan membantu Ibumu mempersiapkan
semuanya. Kasihan kan, Ibumu kerja sendiri? Yang menikah kan anak kami juga.”
Mereka semua
tertawa. Ann juga ikut tertawa meskipun ia merasa tawanya itu sangat palsu dan
dibuat-buat. Terserah, mau menikah kapan pun juga tidak ada bedanya, toh dia tetap
akan jatuh ke dalam tangan Calvin. Tapi ia tetap harus menikah dengannya, ia
tidak mau sesuatu yang buruk menimpa Dennis.
Dua hari
belakangan ini berjalan bagai neraka bagi Ann. Semua persiapan pernikahannya sama
sekali tidak membuatnya bergairah. Ia
juga tidak
banyak turun tangan mengurusi semuanya. Ibu Calvin yang paling repot mempersiapkan
pernikahan mereka. Mulai dari pemesanan tempat dan pendeta, menyewa seorang perancang
ternama untuk merancang gaun pengantin Ann, menyebarkan kartu undangan, mengatur
penataan resepsi, sampai pada makanan dan hal-hal kecil lainnya.
Ann hanya
duduk menunggu. Semakin dekat dengan hari pernikahannya ia merasa perasaannya
semakin kacau balau. Malam ini di rumahnya diadakan makan malam keluarga, Calvin
tidak ikut serta karena akan menghadiri pesta bujangan yang diadakan teman-temannya.
Sepanjang
makan malam di suasana keluarga yang penuh kehangatan itu, Ann justru merasa
hampa. Ia merasa hatinya sudah beku dengan semua puji syukur yang dialamatkan
untuknya.
“Selamat
ya, Ann. Aku doain moga-moga pernikahanmu dengan Calvin akan awet sampai tua.”
“Mama juga
mau ucapin selamat buat kamu. Rasanya baru kemarin Mama melahirkanmu, menemanimu
setiap malam saat kamu menangis, melihatmu merangkak dan berjalan untuk pertama
kalinya, mendampingimu mengarungi masa kecil dan masa remaja yang indah....lalu
sekarang putri kecil Mama ini sudah dewasa dan siap menikah. Rasanya Mama masih
belum rela menyerahkanmu pada orang lain. Rumah kita akan sepi ya, Pa. Caroline
dan Svannie sama-sama sudah dewasa dan siap meninggalkan kita.”
”Jangan
begitu, Ma. Nanti kan bakal ada cucu-cucu yang bakal nemenin kita. Tapi Ann, Papa
senang sekali melihatmu akan segera
menikah.
Kamu bukan putri kecil Papa lagi, besok kamu sudah akan menjadi istri orang lain.
Papa cuma berharap Calvin bisa membahagiakan putri Papa ini dan kalian bisa
membina keluarga yang harmonis sampai akhir hayat.”
Ann tersenyum
menatap mereka bergantian. Ia tahu doa mereka sangat tulus untuknya, tapi
hatinya kosong sekali. Besok bukan hari yang ditunggu-tunggunya. Besok adalah
mimpi buruk yang tanpa akhir, sekali ia diseret ke dalamnya maka ia tidak akan
bisa berpaling lagi. Besok adalah neraka baru untuknya.
***
Dennis
baru saja pulang dari tempat kerjanya. Ia berjalan lunglai membelok ke gang sempit
menuju rumahnya. Kondisinya tidak terlalu baik saat itu, dengan luka-luka
disekujur tubuh dan wajah yang hampir babak belur. Tapi ia tetap memaksakan
diri untuk kerja. Ia tahu betul siapa penyebab semua itu, tapi
ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pada teman-teman di tempat kerjanya ia memakai
alasan dihajar perampok.
Langkah
Dennis tiba-tiba terhenti. Jantungnya serasa mau copot
ketika ia
melihat seorang yang sangat dikenalnya tengah berdiri di depan rumahnya,
menantinya. Dengan tertatih-tatih Dennis menghampirinya, suaranya tercekat,
“Ann.”
Ann
menoleh. Hatinya teriris-iris pilu saat melihat keadaan Dennis yang
menggenaskan. Ia cepat menunduk, berusaha menahan diri untuk tidak berbuat
apa-apa pada pemuda itu.
“Kenapa kau
bisa datang ke sini?” Dennis membuka pintu rumahnya, “kau sudah menunggu dari
tadi? Ayo, masuk.”
”Tidak
perlu, lagipula kedatanganku hanya sebentar saja. Ada yang ingin kusampaikan.”
”Bicaralah
di dalam,” Dennis membuka pintu lebar-lebar untuk Ann, “kau tidak keberatan
kan?”
Mau tak
mau Ann terpaksa memasuki rumah sempit itu. Ia berdiri menyapu pandangannya ke
seisi rumah. Kemudian mendesah panjang, kenapa
aku malah masuk? Aku tidak boleh berlama-lama di sini...
“Maaf
berantakan, maklum aku tidak sempat bersih-bersih karena sibuk kerja,” Dennis tertawa
pelan. Ia tahu Ann saat ini tengah mengawasi dirinya yang sibuk mondar-mandir memberesi
semua barang yang berserakan dilantai. Dennis segera mengambilkan kursi
untuk
Ann, “duduklah.”
Ann
menggeleng kecil, “Tidak, aku hanya sebentar di sini.”
Saat itu
Dennis baru sadar apa pun yang ingin dibicarakan Ann padanya, pastilah sesuatu yang
serius. Wajah gadis itu begitu murung, pandangannya kemana-mana dan seolah-olah
tak berani menatapnya.
“Baiklah,
apa yang ingin kaubicarakan?”
Ann diam
sejenak. “Besok aku akan menikah.”
Ann menyebutkan
nama gereja tempatnya menikah besok. Dennis hanya membisu. Kemudian perlahan-lahan
ia membentuk seuntai senyum yang sangat kaku di bibirnya, “Kau tidak perlu
repot-repot datang ke sini untuk memberitahuku. Kau kan bisa kirim
kartu
undangan saja..”
Ann
menatapnya pilu, tidak tahu harus bicara apa lagi. Banyak yang ingin
dikatakannya pada Dennis, tapi semuanya sirna begitu ia harus berdiri
berhadapan dengannya. Bahkan menatapnya saja sudah cukup
membuat Ann lumpuh tak berdaya. Lima tahun yang lalu keadaanlah yang telah
menciptakan jurang diantara mereka, kini setelah mata Ann terbuka pun ia tetap
tidak sanggup menyeberangi jurang itu.
“Aku
ucapkan selamat untukmu.” gumam Dennis tak jelas.
“Ya,” Ann
mencoba tersenyum di hadapan Dennis, menampakkan dirinya seolah-olah sangat
bahagia. Ann merasa Dennis tidak perlu tahu apa-apa tentang penyebab dirinya menikah
dengan Calvin. Biar saja Dennis menganggapnya menikah karena mencintai Calvin,
dengan begitu maka semuanya bisa berakhir. Tapi mengapa hati ini ingin
menjerit?
“Apa kau
mencintai Calvin?”
Pertanyaan
itu membuat Ann terhenyak, ia menengadah menatap Dennis. Dagunya bergetar saat
ia menjawab, “Kenapa kau mempertanyakan itu? Aku menikah dengannya tentu saja
karena aku mencintainya.”
”Tapi
dia...”
Ann
menatap semua perban dan plester luka yang menempel di wajah dan tubuhnya. Ia menunduk
sedih melihat akibat dari perbuatan orang-orang Calvin.
“Tapi
dia...” lanjut Dennis, “dia tidak sebaik dugaanmu.”
”Ada satu
hal lagi.”
Dennis
mengamati gerak-gerik Ann saat gadis itu mengeluarkan sesuatu dari tas
kecilnya. Sebuah gelang, hadiah ulang tahun Dennis untuk Ann waktu itu.
“Aku tak
bisa menerima gelang pemberianmu ini. Aku sudah putuskan untuk tidak menyimpan
apa pun lagi darimu, karena semua itu hanya akan membuatku teringat padamu. Aku
minta maaf, kumohon ambillah kembali benda ini.”
Dennis
mengambil gelang itu dengan hati hancur.
“Kelak
aku harap kita tidak perlu bertemu lagi. Semuanya sudah berakhir.” Ann beranjak
meninggalkannya.
***
“Ann,
tunggu.” Dennis meraih tangannya, “kalau memang semuanya sudah berakhir, lalu kenapa
kau masih mau menemuiku di sini? Apa benar kau sudah melupakanku? Aku mohon pertimbangkan
kembali pernikahanmu itu.”
Dennis, tolong lepaskan
tanganmu...kalau begini kau malah membuatku lemah...
Ann susah payah melepaskan pegangan Dennis tapi Dennis tak mau
melepaskannya. Meskipun genggaman itu lembut, tapi bagi Ann sangat mematikan.
Dennis bisa membunuh keteguhan hatinya kapan saja ia mau.
“Aku
benar-benar tidak mau melihatmu menghabiskan sepanjang hidupmu dengan orang seperti
itu! Aku tidak rela selalu menjadi korban kesalahpahamanmu. Mengapa sampai detik
ini kau masih juga
tidak mau
mempercayaiku?!”
Aku percaya padamu...aku
percaya..
“Tolong
lepaskan aku, Dennis.” jawab Ann lirih.
Tapi
Dennis justru malah mencengkram pundak Ann dan memaksa gadis itu berbalik menatapnya,
“Kau benar sudah melupakan aku? Tidak bisakah kau percaya padaku?”
Jarak mereka
sangat dekat saat itu, meski Ann menunduk tapi Dennis bisa melihat dengan jelas
air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Hatinya bergetar hebat. Lalu
entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk memeluk Ann, melindungi gadis itu
dari semua kerisauannya. Saat ia memeluknya erat-erat, ia tidak merasa takut Ann
akan marah besar, ia justru merasa rapuh. Semua kerinduannya tertumpah di sana.
Rasanya sudah lama sekali ia tidak memeluk Ann. Sudah berapa lama? Lima tahun
kah? Atau lebih? Tidak, Dennis sadar ternyata selama ini ia tidak pernah
sekalipun memeluk Ann. Ia selalu menahan diri untuk tidak mencintai gadis itu,
bahkan sekedar memeluknya pun ia sungguh tidak punya keberanian.
Tapi kini
Ann berada dalam pelukannya. Kenyataan bahwa Ann akan segera meninggalkannya
membuatnya semakin tidak sanggup untuk melepaskan gadis itu. Ia ingin selalu
bersamanya, selalu memilikinya.
Bukankah
selama lima tahun ini perasaan seperti itu selalu ada di hatinya? Begitu
menggebu-gebu hingga ia tidak sanggup menahan diri lagi?
Beberapa
saat kemudian Ann melepaskan pelukan Dennis dengan terpaksa. Ia menatap pemuda
di hadapannya itu dengan seluruh cintanya, “Aku telah berbuat banyak kesalahan padamu.
Jika aku meminta kau berjanji satu hal padaku, akankah kau mengabulkannya?”
Dennis
terpaku.
“Berjanjilah
padaku, apa pun yang terjadi nanti kau harus melupakan aku. Kau harus melepaskan
aku.”
“Aku
tidak bisa,” bisik Dennis pedih.
“Kau
harus bisa. Kalau aku berjanji untuk selalu percaya padamu, maka kau harus
berjanji untuk melupakanku. Apa pun yang terjadi nanti. Berjanjilah, Dennis,
berjanjilah kau akan melupakanku.”
Dennis
tidak sanggup memenuhi permintaannya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan Ann,
sedangkan dalam setiap nafasnya saja ia selalu mengingat nama gadis itu?
“Mencintaimu
adalah sesuatu yang berharga, yang akan selalu kujaga sepanjang hidupku. Tapi
aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Besok aku akan menikah dengan Calvin, karena
itu aku harus membuang jauh-jauh semua kenangan di antara kita. Izinkan aku bahagia,
Dennis. Bukankah itu yang selama ini kau inginkan?”
”Aku
ingin kau bahagia, tapi bersamaku. Kenapa kita harus bertemu lagi kalau
akhirnya kita tetap tidak bisa bersatu?”
”Mungkin
kita memang tidak ditakdirkan begitu.” Ann menatapnya pilu.
“Kau ingin
aku berjanji untuk melupakanmu, melepaskanmu. Tapi bagaimana caranya aku
menghilangkan perasaanku? Aku selalu mencintaimu, Ann.”
Ann
menyentuh wajah Dennis dengan tangannya yang gemetar. Air mata menetes dari pelupuk
matanya. Ia menangis saat menatap kedua mata kekasihnya itu. Sampai kapanpun
Dennis akan selalu menjadi ke
kasih
hatinya, Ann sadar hal itu.
Maka ia
pun mencondongkan wajahnya mendekati Dennis, lalu menciumnya. Ciuman pertama
mereka. Tanpa hasrat yang menggebu-gebu. Lembut. Indah. Penuh cinta.
Dennis
luluh, direngkuhnya Ann dengan segenap jiwanya. Ia siap mengorbankan segala sesuatu
yang ia miliki di dunia ini demi satu momentum seindah ini. Momentum di saat Ann
merasuki jiwanya.
Seolah-olah
waktu lima tahun yang selama ini terbuang sia-sia sanggup ditebusnya. Kalau
saja semua ini bisa untuk selama-lamanya. Kalau saja Ann memang bisa menjadi miliknya.
Tapi nyatanya tidak...
Ann melepaskan
dirinya dari Dennis, matanya merah dan suaranya menyerupai bisikan penuh
penderitaan, “Berjanjilah padaku....kau harus melupakan aku.. “
Belum
sempat Dennis berhasil mengumpulkan semua kesadarannya kembali, Ann sudah sepenuhnya
melepaskan diri dari pelukannya. Gadis itu lalu berlari, pergi meninggalkannya
di sana. Dennis ingin mengejarnya, berteriak memanggil namanya untuk memaksanya
kembali... tapi lututnya terasa lemas, suaranya seolah-olah hilang.
Yang bisa
ia lakukan hanya diam, membiarkan dirinya hancur berkeping-keping. Ia membeku
di sana. Tanpa terasa air mata pun menetes tak tertahankan.
***
Pagi-pagi
sekali Dennis berdiri di tepi danau itu seorang diri. Wajahnya kusut tidak karuan,
semalam ia tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Bayangan Ann terus melintas
dalam benaknya. Hatinya sungguh hancur. Berkali-kali ia teringat pada permintaan
Ann agar ia melupakannya, tapi yang tersimpan dalam benaknya justru
betapa
dalam cintanya untuk Ann. Beberapa kali ia menegaskan diri untuk melupakan semua
itu, tapi ia gagal.
Ia masih
ingat betul harum lembut Ann saat ia memeluknya. Manis
bibirnya
saat ia menciumnya semalam. Air matanya saat ia menangis dan pergi
meninggalkannya.
Semuanya
begitu lekat dalam pikirannya. Dennis tahu, saat ini Ann sudah berada dalam
gereja. Siap menikah dan menyerahkan seluruh hidupnya pada pria lain. Dennis
meremas dadanya, sakit membayangkan semua itu. Haruskah semuanya berakhir
begitu saja?
“Pagi-pagi
sudah datang ke sini. Muka dan pakaian sama kusutnya. Sekali lihat saja aku sudah
tahu, kau pasti korban patah hati.”
Dennis
menoleh, melihat seorang pria muda berpakaian rapi tengah berjalan ke situ sambil
menenteng biolanya. Ia membuka kursi lipat yang diletakkannya di tengah-tengah hamparan
rumput, lalu duduk di sana siap memainkan alat musiknya. Dennis sering mendengar
tentang si pemuda ini. Ia sering datang ke taman ini pagi-pagi, lalu bermain biola
dengan segenap hatinya. Irama yang dihasilkan dari gesekan biolanya sangat
indah, selalu penuh penghayatan. Tapi tidak ada yang tahu siapa nama pemuda
itu, orang-orang hanya memanggilnya si Musisi Jalanan.
Dennis
memalingkan wajahnya tak peduli. Tak lama kemudian si Musisi Jalanan itu kembali
berceloteh, “Kalau mau menangisi
nasib burukmu,
tempat ini memang tempat yang paling tepat. Aku menjulukinya Taman Sejuta
Tangisan, tapi tempat ini juga tempat
berseminya
cinta maka aku pun menjulukinya Taman Sejuta Harapan. Karena manusia itu selalu
menangis dulu baru berharap kemudian. Ada yang bilang pribahasa ciptaanku itu
seharusnya terbalik, tapi aku tipe orang yang selalu optimis.”
”Tapi apa
yang bisa kuharapkan? Apa pun yang kulakukan semuanya sudah tidak bisa mengubah
keadaan.”
“Pasti
seorang gadis sudah mencampakkanmu kan?” dia terkekeh-kekeh, “lebih baik sama
biola, selalu setia.”
Dennis
tersenyum pahit.
“Memangnya
apa yang membuatmu bisa berpikiran seperti itu? Tidak ada yang bisa
diharapkan, apapun yang kaulakukan tidak bisa mengubah keadaan? Kadang kita
tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi kalau kita berhenti berharap,
berhenti percaya.”
”Apa
maksudmu?”
”Maksudku,
jangan pernah berhenti berharap pada cinta kalau memang kau ingin meraihnya kembali.
Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang namanya terlambat.” Ia tersenyum,
kemudian perlahan-lahan mulai memainkan biolanya.
Dennis
termenung. Lama ia terdiam di sana. Meresapi setiap kata-kata yang meluncur dari
bibir orang tidak dikenal itu. Tiba-tiba saja ia tersentak kaget dari
lamunannya. jangan pernah berhenti
berharap pada cinta kalau memang kau ingin meraihnya kembali
Dan tanpa
banyak bicara lagi Dennis langsung mengambil langkah seribu meninggalkan taman
itu, berlari sekencang-kencangnya.
---
Alunan
denting piano yang merdu dan suara lembut Priska yang melantunkan lagu Angel membius
semua undangan yang duduk berjejeran di dalam gereja.
You’re in
the arms of the angel.....
Dulu
sewaktu masih duduk di bangku sekolah, Priska dan Ann sama-sama menyukai lagu yang
dinyanyikan Sarah McLachlan itu. Dan mereka membuat perjanjian satu sama lain, jika
kelak salah satu dari mereka menikah maka yang lainnya akan membawakan lagu itu
dengan iringan piano. Baik Priska maupun Ann memang sama-sama mahir memainkan
piano. Dan Priska memenuhi janjinya. Saat ini ia
memainkan
lagu itu, mengiringi langkah Ann yang mulai muncul di depan pintu gereja. Seluruh
undangan yang memenuhi gereja itu menengok ke belakang, ke arah pintu. Mereka berseru
tertahan, menahan nafas bersiap-siap menikmati moment berharga ini.
“Kamu sudah
siap, Ann?” bisik Papa yang berada di sampingnya, “sebelum kita melangkah ke
altar itu, ada satu hal yang ingin Papa tanya padamu. Apakah kamu mencintai
Calvin sebesar cintamu pada pemuda itu?”
Ann menatapnya
bingung, “Ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan itu, Pa.”
”Papa
tidak bermaksud menyerangmu di saat-saat penting seperti ini. Tapi Papa bisa merasakan,
sepertinya kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini. Apa...kamu melakukannya
karena terpaksa?”
”Apapun
alasannya, Pa...aku harus tetap menikah dengan Calvin.”
Akhirnya
Papa mengangguk, tak bertanya-tanya lagi.
Perlahan-lahan
Ann mulai memasuki pintu gereja, ia mengenakan gaun pengantin yang sangat indah
hasil rancangan desainer pilihan Ibu Calvin. Penampilannya sungguh luar biasa
cantik. Seluruh mata tertuju padanya, berdecak kagum sambil melemparkan senyum
padanya. Ann mengapit sebelah tangannya di lengan Papa, bersama-sama mereka
melangkah menuju altar.
Calvin sudah
berdiri di sana dengan jas putihnya, ia berdiri terpana mengagumi pengantinnya.
Hatinya berbisik memuji betapa beruntung dirinya.
---
Dennis
terus berlari dan berlari.....mengikuti kata hatinya. Ia tidak merasakan sakit
disekujur tubuh dan kakinya. Ia tidak peduli sedikitpun. Ia hanya terus
berlari. Tak mau menyerah hingga ia sampai di gereja itu, menjemput kekasihnya.
Sedikit
pun ia tidak boleh terlambat!
---
Ann
berjalan perlahan-lahan, membalas semua senyuman tamu undangannya. Ia melihat mereka
satu per satu. Semuanya hadir disana. Teman-teman sekolahnya termasuk Josh, Ria,
dan Priska yang sedang memainkan lagu mereka. Teman sepermainannya sejak kecil,
salah satunya
Emma yang sedari tadi terus menahan air mata haru. Lalu kerabat jauhnya, dan
seluruh keluarganya. Mamanya, Caroline dan Theodore, mereka tak henti-hentinya tersenyum
menyaksikannya berjalan menuju altar.
Ann
tersenyum pada mereka semua. Tapi tak ada seorang pun yang tahu betapa sakitnya
hati Ann saat itu, betapa berat langkah kakinya untuk menghampiri Calvin.
Mereka tidak
tahu Ann tengah melangkah menuju mimpi buruknya.
---
”Hei,
berhenti!!!” teriak seorang security saat Dennis menerobos memasuki halaman gereja.
Petugas keamanan berbadan kekar itu mencegat langkah Dennis, Dennis berusaha melawan
namun sulit sekali.
“Aku
harus masuk ke sana! Jangan halangi aku!”
---
Ann sampai di sebelah Calvin. Papa melepaskannya dan menyerahkannya pada Calvin. Calvin tersenyum singkat lalu mengandeng tangan Ann di depan pendeta. Pendeta itu memulai upacara dengan membaca bait dari salah satu ayat dalam Alkitab.
Sekilas Ann
menoleh menatap Calvin di sampingnya, ia yakin ia sudah berbuat yang benar.
Lalu
tiba-tiba terdengar suara dobrakan pintu yang menggelegar memekakkan telinga. Suaranya
begitu kencang hingga memenuhi setiap sudut gereja itu. Semua tamu menengok ke
belakang, terperangah melihat kedatangan Dennis.
Tapi yang
mau pingsan adalah Ann. Ia menahan nafas tak percaya melihat siapa yang sedang
berdiri di depan pintu masuk. Dennis! Nafasnya tersengal-sengal, sekujur tubuhnya
basah oleh keringat.
“Ann, “
teriak Dennis lantang, “jangan lanjutkan pernikahan ini!!”
Seluruh
tamu undangan berseru kaget. Beberapa bangkit berdiri
saat
melihat Dennis semakin nekad memasuki gereja itu.
“Apa-apaan
ini!!” Calvin turun dari altar menyambut Dennis dengan wajah penuh dendam. Beberapa
security berlari sangar menghadang Dennis, mencoba menarik dan mengusirnya
keluar.
“Jangan sampai
kau menikah dengannya, Ann!! Kalau kau memang masih mencintaiku, jangan menikah
dengannya!”
“CEPAT
BAWA DIA PERGI DARI SINI! AKU TIDAK
MAU
MELIHATNYA BERKELIARAN DI SINI!” teriak
Calvin
hingga bergema.
“TIDAK !!
ANN, KAU HARUS MENDENGARKAN AKU! INI SEMUA BELUM TERLAMBAT, JANGAN MENIKAH
DENGANNYA!”
”CEPAT
USIR DIA!!”
“KAU
TIDAK BISA MENGUSIRKU! AKU HARUS BICARA PADANYA!”
”AKU
TIDAK PEDULI! ANN AKAN SEGERA MENIKAH DENGANKU, AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN KAU
MENGACAUKAN SEMUANYA BEGITU SAJA! CEPAT BAWA DIA PERGI!!!”
“AKU
TIDAK AKAN PERGI!”
“KAU
HARUS PERGI!!! TIDAK ADA YANG PERLU KAU BI
CARAKAN
LAGI DENGAN ANN!”
Semua
orang terpaku diam. Mereka menoleh kealtar, tercengang saat menyadari suara itu
berasal dari Papa Ann. Ann tak kalah kagetnya, ditatapnya Papa lekat-lekat.
“Biarkan
dia bicara.” Papa maju mendekati Calvin dan Dennis, lalu mengangguk pada security
yang menahan tubuh Dennis, “lepaskan dia.”
Mereka menuruti
perintah Papa dan langsung mundur. Papa menatap Dennis dengan penuh wibawa, “Lima
tahun yang lalu aku tidak pernah memberimu kesempatan untuk bicara. Sekarang...bicaralah.
Katakan semua yang mau kaukatakan di depan Ann, di depan kami semua.”
Calvin berang,
“Om!! Kenapa Om biarkan dia bicara?! Ini hari
pernikahanku!!”
Tapi
Dennis tidak memperdulikannya, ia lalu berjalan gontai mendekati altar tempat
Ann berdiri. Lidahnya terasa kelu saat bertatapan dengan Ann, “Ann...” Dennis mengulurkan
tangannya, “aku tahu denganku, kau tidak akan mendapat apa-apa. Tapi aku bisa
selalu membuatmu bahagia. Akan kupertaruhkan semuanya demi itu. Aku tahu kau masih
mencintaiku, jadi kumohon jangan teruskan pernikahan ini.”
Tapi Ann
memalingkan wajahnya, “Maaf, Dennis, aku tidak bisa.”
Ia
menangis dalam hati. Sadarlah, ini semua
kulakukan demi kau! Cepatlah pergi dari tempat ini dan jangan berpaling lagi.
Jangan membuatku menangis lagi...
“Kau
dengar kata-katanya kan?!! Cepat kau angkat kakimu dari sini!!” Calvin tidak
mau memberi kesempatan lebih banyak lagi untuk Dennis, buru-buru ia menarik
Dennis keluar.
“Ann,
dengarkan kata hatimu!! Kau masih mencintaiku bukan? Aku tahu itu!! Jangan sampai
kau hancurkan semuanya dengan menikahi pria ini!! Malam itu kau memintaku untuk
berjanji melupakanmu, aku tak bisa!! Sampai kapanpun aku akan selalu menunggumu!
Aku akan selalu menyimpan semua kenangan kita!! Karena aku mencintaimu! Kau
dengar itu, Ann?! Aku mencintaimu! Aku tahu kau pun juga begitu!!” teriak Dennis
makin menjadi-jadi saat Calvin menyeretnya keluar, “kau bilang, buat apa kita
bertemu lagi kalau akhirnya kita tetap tidak bisa bersatu?! Aku tidak percaya
kita tidak bisa bersatu! Aku datang ke sini karena aku percaya kita bisa meraih
apapun selama kita masih saling mencintai!!”
Ann
menunduk, ia tak tahan lagi. Suara Dennis begitu menyayat-nyayat hatinya.
Ann jatuh
berlutut, menutup kupingnya.
Aku tidak maudengar!!
“ANN!!”
Di luar
gereja, Calvin menjatuhkan Dennis dengan kasar. Kemarahannya sudah memuncak
pada pemuda itu, “Kau cari mati! Kau sudah tahu kan, apa akibatnya kalau kau
sampai berani mengganggu hubunganku dengan Ann!! Kau akan kuhabisi!”
Dennis
cepat bangkit berdiri, ia tidak takut, “Aku tidak akan membiarkan Ann menikah dengan
orang sepertimu!! Kau tidak pantas mendampinginya!”
”Lalu siapa
yang pantas? Kau?!” Calvin tertawa tergelak-gelak, “jangan membuat lelucon dan
jangan bermimpi!! Sampai kapan pun juga kau tidak akan pernah bisa mendapatkan
Ann!! Kau dengar?! Sampai kapanpun kau tidak akan pernah mendapatkan Ann!” Calvin
melirik pada beberapa security bayarannya, orang-orang itulah yang kemarin mengeroyok
Dennis.
“Aku
tidak mau pernikahanku ini ternoda dengan sampah seperti dia,” ujar Calvin
dingin,“habisi dia, terserah mau kalian apakan!! Pastikan saja dia tidak akan
pernah muncul lagi di depan mataku!!”
Calvin
langsung pergi meninggalkannya, kembali masuk ke dalam gereja seolah-olah tak ada
yang terjadi. Ia tidak memperdulikan jerit-jeritan Dennis saat orang-orang itu menyeretnya
pergi dan siap menghabisinya di tempat lain.
Tapi
kemudian langkah Calvin terhenti. Apa yang terjadi?
Ann
berlari meninggalkan altarnya. Semua tamu undangan berseru kaget, suasana dalam
gereja berubah menjadi begitu gaduh. Para wanita menjerit, memekik.
“Apa yang
kaulakukan?!!” Calvin mencegat Ann dengan kasar sekali, “kembali ke dalam sana,
Ann!”
”Aku
tidak mau!”
“AKU
BILANG KEMBALI KE DALAM SANA!!!!”
Calvin
menariknya hingga tangan Ann terluka. Ann memekik kesakitan. Dari tempatnya,
Ann melihat orang-orang Calvin membawa Dennis keluar dari gereja itu dan mereka
beramai-ramai menghajarnya. Tak ada yang mencegah mereka, tak ada yang menolong
Dennis. Semuanya ketakutan melihat kejadian itu. Ann pun ketakutan. Ia merasa
nyawanya ikut melayang saat menyaksikan Dennis dibantai
habis-habisan oleh mereka.
“Kau
kejam sekali! Lepaskan dia!! Lepaskan dia!!”
Semua
tamu undangan berbondong-bondong keluar dari dalam gereja, mereka menyaksikan
pemandangan itu dengan tak percaya.
“Calvin,
lepaskan anakku!” Papa datang menolong Ann, “kau sudah gila! Apa yang kaulakukan!
Cepat lepaskan Ann atau aku akan berbuat sesuatu yang akan membuatmu menyesal!!”
Calvin
kebingungan. Sialan!! Bangsat!! Bajingan!!! Ia mengumpat-ngumpat kasar saat semua
orang menuding dan memaksanya melepaskan Ann. Kedua orang tuanya tampak begitu
terpukul.
Josh berlari
kencang ke tempat Dennis. Ia datang menolong Dennis meski ia tahu mungkin semuanya
sudah sedikit terlambat.
Sedetik
kemudian, yang Ann tahu hanyalah tiba-tiba ia terlepas dari Calvin. Ia tidak
bisa berpikir apa-apa lagi, langsung berlari menghampiri tempat Dennis dan
mendapatkan pemuda itu roboh di depan matanya. Ann memekik ketakutan. Ia
berlutut dan meraih tubuh Dennis yang lunglai. Dennis belum pulih sejak peristiwa
pengeroyokan beberapa hari yang lalu, dan kini ia dihajar lagi. Keadaannya
benar-benar menggenaskan.
“Dennis!!
Dennis, sadarlah!!” Ann memeluknya erat-erat saat Dennis
tidak
sadarkan diri. Tubuhnya lemah sekali. Ann semakin histeris, “Dennis!!!”
Josh
berdiri mematung di sana. Setelan jas-nya compang-camping tapi ia tak peduli. Jantungnya
berdetak kencang saat mendengar teriakan Ann. Dengan mata kepalanya sendiri ia
bisa melihat darah segar yang merembes dan membasahi seluruh gaun putih
Ann. Itu
darah Dennis. Ia terguncang. Darah itu terus mengalir......
“Dennis!!!!”
Jeritan
Ann menyayat hati semua yang mendengarnya. Tapi Dennis tidak menjawabnya. Ia
terbaring kaku dalam pelukan Ann
***
2 minggu
kemudian...
Di taman
itu Ann berdiri sambil menenteng kopernya. Kemudian ia meletakkan koper itu ke
bawah, dipandanginya pemandangan sore yang indah membentang di depan matanya. Ia
tersenyum pedih.
Hari ini ia akan berangkat ke London. Mungkin ini
sore terakhir yang bisa ia nikmati ditaman ini. Taman tempatnya pertama kali
jatuh cinta pada Dennis, tempatnya berpisah dengan Dennis dan berjanji
melupakannya, lalu tempatnya bertemu kembali setelah lima tahun berpisah. Taman
bersejarahnya. Ia merasa berat untuk meninggalkan tempat itu, sama seperti lima
tahun yang lalu.mTapi ia tetap harus pergi.
Tiba-tiba
Ann teringat sesuatu. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, lalu mengeluarkan
sebuah koin kecil. Kalimat yang diucapkan Dennis lima tahun lalu, saat ia
pertama kali membawanya
kemari
terngiang-ngiang kembali,
”Kau tahu? Dulu orang-orang
bilang kalau kita melempar koin ke danau ini dan meminta permohonan apa saja,
pasti akan
terkabulkan.”
Ann
tersenyum penuh arti. Ia mengenggam koin itu erat-erat, kemudian melemparkannya
ke dalam danau.
Sunyi.
Lima tahun yang lalu aku tidak
memasukkan Dennis dalam permohonanku. Kini aku hanya ingin satu hal, aku ingin
selalu bersamanya.
Ann
mengigit bibirnya, lalu menunduk lirih. Perlahan-lahan ia membungkuk dan mengambil
kopernya, siap untuk mengangkat kakinya pergi.
Dan saat
itu.....datang seorang anak kecil. Anak kecil yang cantik dan manis sekali, ia berlari-lari
menghampiri Ann sambil membawa setangkai mawar. Mawar merah. Dan ia menyodorkan
mawar itu pada Ann. Ann tertegun.
“Kakak, mawar
ini untuk kakak.” Kata anak kecil itu,kemudian berlari pergi.
Belum
habis Ann tertegun, datang lagi seorang wanita tua. Wanita yang sangat gemuk namun
wajahnya begitu cerah. Ia datang menghampiri Ann, lagi-lagi menyodorkan setangkai
mawar merah di depan wajahnya.
“Ini
untukmu, Nak.”
Ann
menerimanya dengan heran. Datang lagi satu orang. Kali ini pria setengah baya
yang rapi dengan pakaian kantornya. Dan di tangannya juga ada setangkai mawar.
“Untukmu.”
Begitu
terus kejadiannya hingga ada 29 tangkai mawar di pelukan Ann, masing-masing dari
orang yang berbeda. Orang-orang itu langsung pergi begitu saja tanpa
menjelaskan lebih lanjut lagi. Tapi mereka semua pergi dengan seuntai senyum.
Ann
semakin kebingungan. Lalu entah dari mana Ann mendengar alunan musik biola. Ia
menoleh. Si Musisi Jalanan tengah duduk di atas kursi lipat, memainkan biolanya
dengan alunan musik yang begitu indah dan penuh penghayatan. Membentuk sebuah
simfoni yang begitu mengugah perasaan. Entah kenapa air mata menggenang di
pelupuk mata Ann saat pemain biola itu tiba-tiba mendongak kepalanya dan
melemparkan senyum padanya.
Lalu di
tengah-tengah alunan musik itu, Ann mendengar suara yang begitu lembut. Suara yang
sangat dirindukannya.
“Ini
untukmu.”
Ann
menoleh cepat. Ia tak menyangka Dennis berdiri di sana, memberikan setangkai
mawarnya yang terakhir. Senyum mengembang dari wajahnya yang masih penuh luka.
“Lima
tahun yang lalu, aku menjelajahi seisi taman ini hanya untuk memberimu setangkai
mawar yang sudah layu. Tapi saat itu aku berani yakin sepenuhnya kalau aku sungguh
mencintaimu. Dan kini aku tidak memberimu mawar yang layu lagi. Cintaku tidak pernah
berubah, tidak peduli meski bunga yang kuberikan layu atau hidup.”
Ann
mengigit bibirnya, tercengang sekaligus terharu saat 29 orang yang tadi
memberinya mawar tiba-tiba berkumpul di belakang
sana,
memandangi mereka dengan senyum tertahan.
Ann
menerima mawar terakhirnya dari tangan Dennis. Mawar ke-30nya. Ia tersenyum,
tak sanggup menyembunyikan kebahagiaan di dalam hatinya.
“Aku
tidak punya apa-apa, mungkin tidak bisa setiap hari menghujanimu dengan semua
kebahagiaan di dunia ini. Tapi aku berjanji padamu dan diriku sendiri, aku akan
selalu mencintaimu dengan seluruh hatiku, mencintaimu setiap hari sepanjang
hidupku. Dan kalau kau tidak keberatan, aku ingin mencoba untuk
membahagiakanmu.”
Dennis
mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah gelang. Gelang yang dikembalikan Ann
waktu itu.
Kemudian
tanpa berkata-kata lagi ia memakaikan gelang itu di pergelangan tangan kiri Ann.
Ia mendekati Ann, menatapnya dalam-dalam seolah-olah tidak ada jarak di antara mereka,
“Sebelum kau pergi ke London, aku hanya ingin memastikan aku tidak mengulangi
kesalahan yang sama seperti yang kita lakukan lima tahun yang lalu di taman ini.
Kali ini aku tidak mau terlambat lagi. Jadi sebelum kau pergi, Ann, katakana padaku....apa
kau mau menerima aku kembali?”
Ann mengatup
bibirnya dengan tangan, wajahnya merona merah dan dalam sekejap tawanya
meledak.
Dennis
tersenyum, “Itu artinya ‘iya’?”
Kemudian
ia menarik Ann ke dalam pelukannya. Semua orang yang sejak tadi menyaksikan
mereka serempak bertepuk tangan, bahkan ada yang menangis terharu.
“Aku
mencintaimu.” Bisik Ann untuk pertama kalinya.
Dennis
melepaskan pelukannya dan membungkuk, perlahan-lahan menciumnya dengan lembut. Semua
pengunjung taman semakin bertepuk tangan. Dan tiba-tiba saja baik Ann maupun Dennis
sama-sama tersipu malu. Dennis merangkul pundak Ann, melambai pada mereka, “Terima
kasih ya, sudah membantuku memberinya bunga.”
Ann berbisik
kecil setelah mereka mulai berbubaran, “Kenapa kau pakai ide konyol seperti
ini? Dan kenapa kau bisa ada di sini! Kau pasti kabur dari rumah sakit ya!” Ann
melotot cemas. Dennis seharusnya masih terbaring di rumah sakit sekarang, ia
sengaja
berangkat
ke London tanpa memberitahunya karena ia tahu betul kondisi Dennis masih sangat
lemah. Bahkan ia sadar saat ini Dennis tidak sanggup berdiri tegap. Hatinya terharu
melihat pengorbanan pemuda itu.
”Begitu mendengar
dari Emma kau hari ini akan berangkat ke London untuk melanjutkan kuliahmu, aku
langsung cabut semua infus dari tanganku, langsung lari ke sini!”
“Kau gila!”
Ann tertawa, “lalu pemain biola itu...kau juga yang menyiapkannya?”
Dennis
tertegun sesaat, ia mengandeng tangan Ann menghampiri Musisi Jalanan yang masih
larut dalam permainannya itu. Kemudian
mereka berdua
berdiri di depannya, diam untuk menghayati setiap alunan musik biolanya dan
meresapi setiap detik kebersamaan
mereka.
Begitu
permainannya selesai, Dennis langsung menanyakan apa lagu yang dimainkannya itu
mempunyai judul. Si Musisi Jalanan tersenyum pada mereka, “Ini lagu ciptaanku sendiri,
lagu yang kudapat dari begitu banyak orang yang kuamati di taman ini. Judul?
Aku tidak
pernah memberi judul pada setiap lagu ciptaanku. Tapi ka
rena aku
paling suka mengamati kisah cinta semua pengunjung taman
ini, mungkin
lagu ini akan kuberi nama Dear Love, sama seperti keinginanku untuk menyapa setiap
cinta yang bersemi disekitarku. Termasuk kalian.”
Dennis tersenyum,
kemudian menatap Ann di sampingnya. Ia mempererat gengaman tangannya.
Dear
Love...
Apa kalian
masih ingat? Dulu aku pernah bilang, aku ingin sekali keluar dari kehidupanku
yang serba membosankan. Aku ingin sekali punya cerita cinta yang unik, yang
indah dan berakhir bahagia. Tentu saja aku tidak berharap kisah cintaku bisa menjadi
sedemikian rumit. Tapi aku lega karena pada akhirnya semua ini berakhir
bahagia. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini, mungkin senang...mungkin
deg-degan...tapi yang pasti cinta telah membuatku bahagia. Kata orang cinta itu
buta. Mungkin ada benarnya juga...entah bagaimana aku menjelaskan pada kalian
semua. Aku hanya ingin kalian selalu percaya bahwa cinta itu selalu ada, jangan
pernah ragu mencintai seseorang hanya karena kalian takut menghadapi semua
resikonya. Bukankah cinta itu selalu kuat dan siap menopang kalian?
Dan cinta
bisa memberi sayap pada kalian semua, membawa kalian terbang tinggi. Tapi ada
saatnya bagi kalian untuk jatuh....benar kata orang, semakin tinggi kita
terbang, semakin keras dan sakit saat kita jatuh. Tapi jangan khawatir, sayap
yang patah itu akan segera terbentuk kembali kalau kalian tidak pernah berhenti
percaya. Hm....apa lagi yang harus kuceritakan? Oh ya, Emma sekarang sudah
diangkat jadi kepala manajer di perusahaan Pamannya. Ia kelihatannya sangat
menikmati pekerjaannya. Meskipun banyak yang mengungkit-ungkit keberhasilannya
dengan unsur koneksi, tapi Emma tidak peduli. Ia memang selalu begitu. Selalu
menjadi dirinya sendiri tanpa mau peduli kata orang lain. Tapi sifatnya tidak pernah
berubah, keras kepala dan suka sekali ganti-ganti pacar. Aku bahkan
sudah lupa
siapa nama pacar terbarunya. Percuma saja diingat, minggu depan juga sudah
ganti.
Lalu
Josh...cinta pertamaku dan sahabat baikku. Dua minggu setelah aku sampai di London,
aku menerima kabar darinya kalau ia akan segera melamar Sherly. Aku turut senang,
semoga saja Sherly menerima lamarannya. Aku sungguh berharap Josh bisa bahagia.
Ria dan Priska.
Mereka seperti tidak pernah kehabisan cerita. Priska masih bergelut dengan dunia
tarik suaranya, jangan kaget kalau suatu hari nanti kalian akan mendapatkan
berita tentang sensasi penyanyi baru. Selamanya aku akan menjadi penggemar
nomor satunya. Ria sudah bertunangan dengan seorang bankir muda, Revan kalau
tidak salah. Akhirnya mimpinya terwujud juga, menikah dengan pangeran tampan yang
kaya.
Aku dan Dennis
baik-baik saja. Meski aku sekarang sangat merindukannya. Aku diLondon meneruskan
kuliahku dan dia di sana. Dia selalu penuh kejutan, sebentar-bentar bilang jabatannya
sudah mau dipromosikan...sebentar-bentar bilang mau pindah rumah...Tapi aku
rindu sekali padanya....Apa kalian ada waktu untuk menyampaikan salamku
padanya?
Katakan
padanya....aku selalu mencintainya.
Ann
menutup latopnya. Tersenyum kecil, kemudian beranjak masuk ke kamarnya.
The End
I don't
know but i believe
That some
things are meant to be
And that
you'll make a better me
Everyday
I love you
I never
thought that dreams came true
But you
showed me that they do
You know
that i learn something new
Everyday
i love you
Coz I
believe that destin
y is out
of our control
And
you'll never live
Until you
love with all your heart and soul
It's a
touch when I feel bad
It's a
smile when I ged mad
And all
the things I have
Everyday
I love you
If I ask,
will you say yes?
Together
we're the very best
I know
that I am truly blessed
Everyday
I love you
And I'll
give you my best
Everyday
I love you....
( Everyday I love you : Boyzone )
0 komentar:
Posting Komentar