Dennis
memasuki rumah kumuhnya dengan perasaan tidak enak, perasaannya mengatakan ada
yang baru saja terjadi di situ. Sesuatu yang tidak menyenangkan. Ia terkejut
melihat Vincent sudah berada di dalam rumahnya, sedang menanti kepulangannya.
Lalu ada Ayah yang duduk disana sambil terus tersenyum-senyum
memegang
secarik kertas.
“Ada apa
ini?”
Vincent
bangkit berdiri begitu melihatnya datang, ia tertawa-tawa girang, “Lihat apa yang
baru saja didapat ayahmu. Kau bebas, Dennis! Kalian sekeluarga sudah bebas dari
preman-preman itu!”
“Apa
maksudmu?”
Ayah
mengacung-ngacungkan kertas di tangannya, “Kita baru saja mendapat cek!”
“Cek? Cek
apa?!” sedikitpun Dennis tidak merasa tenang, ada yang tidak beres di sini! Ia merebut
cek itu dari tangan Ayahnya. Sebuah
Tangannya
bergetar saat ia melihat tanda tangan si pemberi cek, dan namanya. Dennis
terperangah, sekujur tubuhnya gemetar menahan marah.
“Bagaimana
Ayah bisa mendapat cek ini!!” teriaknya selantang mungkin.
Vincent
menghampirinya sambil tersenyum, “Waktu kau pergi tadi, Papa-nya Ann dating ke
sini. Gak nyangka, ternyata dari kemarin dia sudah menyuruh orang-orangnya membuntutimu.
“
Ayah
Dennis melanjutkan, “Aku benar-benar tidak mengerti apa maunya si konglomerat itu,
tapi dia terus menanyakan tentangmu.”
“Rencanamu
berhasil,” Vincent berbisik tepat di telinga Dennis, “papanya Ann ketakutan setengah
mati melihat putrinya dirusak olehmu! Dia membujuk ayahmu untuk coba bicara
padamu , supaya kau mau sedikit memperlakukan putrinya dengan baik dan jangan sampai
terjadi sesuatu padanya. Tapi ayahmu itu ternyata selicik kau..”
Dennis
langsung reflek mendorong tubuh kerempeng Vincent dengan kasar hingga ia terhunyung
hingga jatuh. Vincent termangu tak mengerti, dilihatnya Dennis menghampiri ayahnya
sendiri dengan wajah marah.
“Apa yang
Ayah bilang pada orang itu!! Apa?!” bentak Dennis tak sabar.
Ayah
malah tertawa lagi, “Orang itu menyuruh aku bicara baik-baik padamu, agar kau mau
menjaga putrinya. Cih! Memangnya aku ini apa? Aku tidak mau mengurusi kisah
cintamu, tidak akan! Lalu kubohongi dia, aku membanggakan kau di depannya. Kuceritakan
semua tentang masa lalumu, tentang semua teman-teman wanitamu yang kau
campakkan satu-persatu.”
“Hahaha.”
Ayah tertawa sadis, “seharusnya kau lihat tampang pucat
orang
itu, dia sampai keringat dingin mendengar semua ceritaku. Lalu
tiba-tiba
saja otak cerdasku ini berfungsi, aku mengajukan syarat padanya.” “Syarat?
Syarat apa!!”
“Aku
bilang..........”
Aku tidak
jamin putraku itu bisa memperlakukan putrimu dengan baik. Bukan salahku....dia
memang dari dulu tidak pernah berubah, hobi gonta-ganti pacar lalu mencampakkan
mereka satu-persatu sesuka hatinya. Dasar anak muda....Aku bahkan pernah dengar
dia bicara dengan temannya, dia itu sepertinya memacari putrimu hanya demi
uang. Tapi kalau kau memang peduli pada putrimu, yaaa.....rasanya tidak berat bagimu
untuk keluar uang sedikit...”
Papa Ann
menunduk, kecewa mendengar semua cerita tadi. Hatinya sakit mencemaskan Ann.
“Berapa uang yang kau mau?”
“Aku? Aku
mah tidak mau, aku ini orang baik-baik. Tapi putraku itu memang kurang
ajar, dia baru bisa berhenti menemui
anakmu kalau tujuannya sudah tercapai.
Yaaa...untuk
ukuran
orang seperti dia sih...rasanya 10 juta sudah cukup.”
Papa
mengeluarkan selembar cek dari balik jas mahalnya.
“Ehhh....
tunggu, aku tiba-tiba tidak yakin dia mau 10 juta. Rasanya itu tidak bisa
memuaskan dia. Tambahkan lagi jadi 15 juta! Tidak....tidak....20 juta mungkin
lebih baik! Kau tahu anak muda zaman sekarang kan? Paling suka berfoya-foya,
uang sebanyak itu bisa habis dalam waktu yang singkat.”
“Aku
mengerti.” Papa tidak memasukkan jumlah uang yang dimintanya ke dalam lembaran
cek itu, ia malah mengosongkannya. Ia membubuhkan tanda tangan dan kemudian
menyerahkannya pada Ayah Dennis.
Ayah
Dennis tercengang tak percaya melihat blank check yang disodorkan padanya,
cepat-cepat
ia menyambarnya.
“Kau
memang orang yang murah hati! Putrimu pasti sangat beruntung! Baik...baik...aku
jamin dengan uang sebanyak ini pasti Dennis
tidak akan lagi mendekati putrimu. Kau boleh tenang sekarang.”
---
“A...apa? KENAPA AYAH BILANG ITU PADANYA!!!”
Dennis naik pitam, ia kalap dan menyerbu ke arahnya. Direngutnya kerah baju
Ayah dengan kasar, “Kenapa ayah berbuat ini padaku!!”
“Dennis!
Kau ini apa-apaan!! Dennis, lepaskan!” Vincent meraih tubuh sahabatnya dan menariknya
sekuat tenaga, “Kau sudah gila ya? Lepaskan ayahmu!!”
Ayah
Dennis mengap-mengap mencoba menghirup udara dengan rakus saat Vincent berhasil
menarik Dennis jauh-jauh. Ia melotot marah pada putranya, “ANAK BRENGSEK! KAU
MAU MEMBUNUH AYAHMU SENDIRI ?”
Dennis
mendorong Vincent kemudian kembali menerjang Ayahnya. Lalu secepat kilat. Direbutnya
blank check itu dari tangan Ayah. Ia merobek-robek lembaran cek berharga
itu dan
membuang serpihan-serpihannya hingga terbang berjatuhan di depan mata Ayahnya.
“Kau....APA
YANG KAU LAKUKAN?!!!”
“Aku
tidak mau cek ini, dan aku tidak mau menerima apa-apa dari siapapun juga kalau hanya
untuk menyuruhku menjauhi Ann!”
“APA
MAKSUDMU?!! KAU SUDAH GILA! SINTING!!!” Ayah berlutut dan memungut-mungut serpihan kertasnya sambil terus mengutuk nama Dennis. Dennis terengah-engah, bahunya turun-naik
melihat kegilaan ayahnya yang begitu diperbudak oleh uang. Darah seakan-akan
naik ke kepalanya saat ia mengetahui apa yang sudah dikatakan ayahnya pada Papa
Ann. Semuanya hancur berantakan! Ia benar-benar tidak tahan lagi! Rasanya ia
ingin berteriak atau bahkan kalau perlu menghantam kepalanya ke tembok.
Tiba-tiba
Dennis berlari keluar meninggalkan mereka semua. Berlari ke mana pun ia mau,
hingga nafasnya habis pun ia tidak peduli...biar mampus sekalian....
Vincent
berlari kencang mengejar Dennis sambil terus meneriaki namanya. Ia baru
berhasil menangkapnya saat Dennis jatuh tersungkur kehabisan tenaga.
“Kenapa
kau lakukan itu, Dennis? Kenapa? Kenapa kau merobek cek itu? Cek itu bisa menolongmu
dari semua hutang!” Vincent menguncang-guncang bahu Dennis.
“Pergi!!!
Aku tidak mau mendengar semua kata-katamu lagi!!” Dennis mendorongnya.
“Apa-apaan
kau ini?! Aku tidak mengerti, bukankah semua
rencanamu sudah tercapai? Bahkan jauh lebih sempurna dari yang kita mau!”
“Rencana....”
Dennis mengerut keningnya kemudian tertawa pahit sekeras-kerasnya.
Rencananya
memang sudah berjalan mulus. Terlalu mulus malahan. Ia tidak pernah mengikutsertakan
ayahnya dalam rencana itu, tapi siapa sangka justru ayahnya-lah yang
paling
berjasa mewujudkan semua rencananya. Ironis, itu semua terjadi justru saat
Dennis
tidak berniat lagi. Ia tidak mau menipu Ann lagi atau pun merampok uang keluarganya dengan cara kotor.
“Dennis?”
“Aku
tidak mau menjalankan semua rencanaku itu, Vincent. Aku tidak mau! Aku tidak
mau....”
“Tapi
kenapa?”
Tatapan
Dennis terlihat kosong. Wajahnya menandai betapa terluka hatinya saat ini.
“Kau.....kau
jatuh cinta pada gadis itu?” Vincent menelan ludah, “astaga.”
“Tapi....tapi
kalau hutang itu tidak lunas, kau...kau bisa dihabisi mereka.”
“Aku
tidak peduli! Mati pun aku tidak peduli!”
Vincent kembali
menelan ludahnya, perih. Perlahan-lahan ia menghampiri Dennis dan duduk lemah
di sampingnya. Untuk pertama kalinya ia menatap sosok seorang Dennis yang
berbeda, ia bukan lagi Dennis yang dulu, yang bisa dengan santai menyakiti siapapun
yang ia mau. Yang begitu arogan, tanpa perasaan dan bisa melepaskan diri dari semua
kesalahannya hanya dengan uang dan kekuasaannya.
Tapi
Dennis yang ada di hadapannya ini sudah menjadi sosok yang lemah, yang rela
mengorbankan dirinya sendiri hanya demi perasaannya pada seorang gadis.
“Kenapa
kau jadi begini, Dennis? Kenapa kau harus jatuh cinta pada gadis itu? Kenapa?”
Ann sudah
meruntuhkan tembok-tembok keangkuhannya.
***
Jam 23.46
malam........
Ann
merasa ada yang bergetar di dekat bantalnya saat ia tertidur lelap. Dengan mata
sayup-sayup ia mencoba meraih handphone-nya, ia mengeluh panjang saat melihat
dilayar HPnya tertera nama DëNn¡S (“,) yang berkedip-kedip. Itu nomor telepon
dari wartel, Dennis tadi memasukkannya ke phonebook Ann karena dia bilang dia
akan
sering-sering
telepon dari wartel itu.
“Hmm???”
jawab Ann ngantuk berat.
“Kau
sudah tidur?”
“Hm.....”
Ann mengucek-ngucek matanya, “ada apa malam-malam begini...”
“Aku akan
datang sebentar ke rumahmu. Sebentar saja.”
“Jam 11
malam begini? Orang-orang di rumahku sudah tidur.”
“Jangan
bangunkan siapa-siapa. Aku hanya mau menemuimu sebentar saja. “
“Tapi
Dennis....malam-malam begini....” Ann memeluk gulingnya erat-erat, mencoba melawan
hawa AC yang terlampau dingin
di
kamarnya, “aku sudah tidur. Aku ngantuk sekali. Kau juga sebaiknya tidur saja,
kenapa jam segini masih berkeliaran di wartel?”
“Aku kan tidak
punya HP, ya telponnya lewat wartel donk. Aku ke rumahmu sekarang juga ya. Kau
tunggu di depan gerbang rumahmu setengah jam lagi.”
Setengah
jam kemudian tepatnya pukul 00.24, Ann berdiri mematung di depan gerbang rumahnya
yang gelap. Ia menyusupkan kedua telapak tangannya ke dalam saku jaket yang
menutupi piyama tidurnya, udara malam begini tidak terlalu bersahabat.
Tiba-tiba saja ia mendengar suara langkah kaki, ia menoleh dan melihat Dennis
datang terburu-buru padanya. Akhirnya....
“Ada apa
malam-malam begini? Aku bisa diomeli.”
“Aku
hanya mau mengembalikan ini.”
Ann mengerut
kening melihat payung biru-nya yang sudah ditemukan Dennis, “Tengah malam
datang ke sini hanya untuk mengembalikan payung? Kau sudah gila ya?”
“Katanya ini
payung kesayanganmu. Aku tadi sudah mati-matian mengorek tempat-tempah sampah
di sekitar rumahku hanya untuk mencarinya. Ini sudah kubersihkan.”
“Iya,
tapi kan....” Ann kehilangan kata-kata yang tepat untuk mencela kebodohan
Dennis, tapi dalam lubuk hatinya yang terdalam ia sebenarnya merasa terharu,
“tapi kau tidak perlu sampai tengah malam begini mengembalikan payungku. Apa
kau tahu kau ini sudah mengganggu tidurku? Aku bisa masuk angin karena
menunggumu di sini. Kau juga tolol, kenapa bukan besok aja kembaliinnya?”
“Besok
tidak bisa, karena aku kan harus pergi ke taman itu.”
”Buat
apa?”
“Karena
aku pasti merindukanmu. Kau lupa? Kita sudah buat perjanjian, kalau di antara
kita ada yang merasa rindu kita harus pergi ke taman itu. Besok kau sekolah
sampai sorekan? Aku pasti jadi rindu setengah mati.” Dennis tertawa geli.
Ann
mengambil payung itu dari tangan Dennis, lalu tersenyum kecil melihat paying kenangannya
itu. Andaikan saja Dennis tahu kenapa Ann begitu menyayangi payung itu, apakah dia
juga akan tetap susah payah mencarinya? Ann mencermati pakaian Dennis yang lusuh
dan penuh keringat, juga pada sepatunya yang kotor karena lumpur, tampaknya
cowo itu memang sudah benar-benar ngotot mencari payung itu.
“Sori ya,
aku jadi mengganggu tidurmu. Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu.”
“Eh
Dennis, tunggu.”
“Hm? Ada
apa lagi?”
”Thank you
ya,” Ann mengibas-ngibas payung itu di depan wajah Dennis sambil tersenyum, “lain
kali jangan ulangi lagi, aku memang marah besar tadi siang , tapi kau tidak perlu buang-buang energi hanya untuk mencari barang yang...”
Ann menunduk menatap payung itu. Payung Josh...payung bersejarahnya....”barang
yang tinggal kenangan ini...Mungkin aku tidak terlalu membutuhkannya lagi.”
Dennis
mendekatinya, “Tapi ini kan barang kesayanganmu. Aku tidak mengerti kenapa payung
butut ini bisa sangat berharga bagimu, tapi aku pasti akan selalu menjaga semua
yang berharga itu.”
“Oh
begitu ya?” Ann salah tingkah. Angin tengah malam menghembus wajahnya kencang.
“Sebelum
aku datang, tadi kau tidur memimpikan siapa?”
“Tidak
mimpi apa-apa...”
Tadi aku mimpi dikejar-kejar
seekor babi raksasa.
“Kalau
begitu nanti tidurnya mimpiin aku ya.” Dennis membungkuk sedikit dan mengecup
kening Ann, “selamat malam, jangan lupa nanti mimpi yang indah ya. Aku pulang
dulu.”
Setelah
Dennis pergi, Ann mengendap-ngendap masuk ke dalam kamarnya lagi. Ia meletakkan
payung biru Josh itu di sebuah kotak yang dibungkus kertas kado lucu, kotak kadus
ukuran besar itu dipenuhi barang-barang Ann yang sudah dikumpulkannya sejak kecil.
Ada foto-fotonya waktu masih bayi, buku curhat zaman SMP-nya, beberapa boneka
lucunya yang sudah usang, dan kertas-kertas penuh tulisan lainnya. Ann meletakkan
payung itu di dalam kotak, kemudian menutupnya.
Ia
menghela nafas panjang merasa berat dan lega sekaligus.
Payung
Josh tidak pernah masuk ke dalam kotak ini sebelumnya.
Kemudian ia
menatap tulisan ‘Barang-Barang Kenangan’ yang tertera dengan jelas diatas
tutupan kotak itu. Ia tersenyum getir dalam hatinya, berharap payung itu dan
juga Josh mulai saat ini bisa selalu ada didalam kenangannya. Hanya di dalam
kenangannya saja....
Payung merah
Dennis ada di atas mejanya.
***
Pagi yang
cerah menaungi seisi sekolahan, seolah-olah menyemangati para panitia OSIS yang
tengah sibuk mempersiapkan panggung untuk acara pelepasan Ketua OSIS yang akan
dilaksanakan siang ini. Acara ini dibarengi classmeeting dan acara-acara bazaar
kecil-kecilan.
Murid-murid
tentu saja sangat antusias menyambutnya, lumayan untuk sekedar refreshing dari
kepenatan mereka di sekolah.
Emma, ketua
OSIS yang masa jabatannya tinggal beberapa menit lagi, hanya duduk diam tanpa
menghiraukan teman-temannya yang sibuk menata panggung. Ia juga tidak peduli saat
hitungan akhir dari pemilihan suara sudah sampai di tangan panitia. Hanya ada 4 calon, dan pemenangnya adalah siswi kelas 2-C yang bernama Elva
Indriani.
Tapi Emma
peduli amat....
“Emma, kau
sudah menyusun pidatomu kan?” tanya Yasmin, “kau keliatan tidak bergairah...kenapa?
Sedih ya udah mau lepasin jabatan ketua?”
“Aahh...itu
mah bukan apa-apa.” Emma membuang pandangan matanya ke tempat lain. Sekilas ia
melihat Ann sedang membantu teman sekelasnya mendirikan stand minuman.
Tiba-tiba
hatinya terbakar.
“Loh,
Emma, mau kemana?” Yasmin kebingungan melihat Emma tiba-tiba pergi dari tempatnya.
Dengan langkah
terburu-buru Emma menghampiri tempat Ann dan temannya. Ann kelihatan kaget,
lebih kaget lagi saat Emma tiba-tiba dengan kasar menarik lengannya dan
membawanya pergi dari situ.
Emma mendorong
Ann masuk ke dalam kelas yang kosong, kemudian ia menutup pintu kelas dengan satu
bantingan keras. Ann mengelus-ngelus lengan kirinya yang sakit akibat tarikan
Emma.
“Emma,
ada apa?” ini pertama kalinya Ann bicara padanya, tapi sepertinya situasinya tidak
terlalu mendukung.
“Aku
sudah tahu semuanya!”
Ann
terlonjak kaget , “Apa maksudmu?”
“Jangan
pura-pura lagi!!! Singkirkan wajah innocent-mu itu dari depan mataku! Aku sudah
tahu semuanya, Ann! Kau pacaran dengan Dennis! Kau me rebutnya dariku!!” teriak
Emma histeris.
Ternyata dia sudah tahu...
Ann
merasa ciut, seolah-olah ia telah melakukan sesuatu yang hina pada teman
baiknya sendiri. Tapi ia baru ingat apa tujuan utamanya. “Aku memang pacaran
dengannya.”
“Kenapa
kau lakukan itu padaku, Ann? Kenapa kau tega? Kau adalah teman baikku, tapi di
belakangku ternyata kau seperti serigala berbulu domba, kau menusukku dari belakang!!
Kau....kau benar-benar brengsek!!”
“Aku
terpaksa melakukannya, Emma...”
“Apa
katamu? Terpaksa? Terpaksa apaan!! Dasar munafik, bilang aja kalau dari dulu
kau sebenarnya juga naksir Dennis!! Kau memang licik, di depanku kau
terang-terangan bilang kau tidak suka Dennis, tapi di belakangku kau
genit-genitan sama dia!! Setelah sekian lama berteman denganmu, aku baru tahu
kalau kau ternyata cewe murahan!!”
Kalau saja
Ann tidak menganggap Emma temannya, mungkin ia sudah menamparnya sejak tadi.
“Aku murahan?
Bagaimana dengan dirimu sendiri? Kau merayu Dennis padahal kau sudah punya Josh
sekarang!”
----
Sementara
itu di lapangan basket...
“Hey
Josh, three on three nanti kita lawan anak kelas 2-A dulu. Gampang banget tuh, yang
jago paling cuma si Edi doank!” seru Rico pada Josh di pinggir lapangan. Josh
sedang melakukan pemanasan untuk classmeeting siang ini, “Kau lihat Emma?”
“Paling
lagi siapin pidato pelepasannya. Kenapa?”
“Ya mau
nyuruh dia dateng donk, kasih semangat. Aku kan baru bisa jago maennya kalau ada
dia yang nonton.”
“Alaaahhh....gombal!”
Josh
tertawa kecil, lalu berlari-lari
meninggalkan
lapangan. Ia langsung mendatangi
ruang
OSIS dan menyapa Yasmin, “Min, Emma mana?”
“Wah....gak
tau deh, tadi dia kabur ke depan
tuh.
Kalau ketemu dia suruh ke sini ya,
pidatonya
belum selesai!”
Josh
mendatangi stand salah satu teman sekelas Ann dan menanyakan apa dia melihat Emma.
Teman Ann langsung menjawab kalau Emma baru saja masuk ke kelas 3 IPA yang
kosong bersama dengan Ann. Josh tersenyum dan mengucapkan terima kasih
padanya.
Kemudian sambil bersiul-siul kecil ia mendatangi kelas yang pintunya tertutup itu.
Baru saja
ia mau membuka pintu, tiba-tiba ia mendengar ada suara pertengkaran di dalam sana.
Suara Emma dan Ann.....
-------------
“Alesan! Kau
selalu menyeret-nyeret Josh ke dalam masalah ini! Memangnya kenapa kalau aku
bergaul sama cowo lain, bilang aja kau ini sirik! Aku selalu punya banyak pacar
sedangkan kau tidak pernah! Kau tidak suka kan? Lalu kau rebut Dennis dariku! Kau
ini benar-benar memalukan....”
”Bukan itu alasanku! Kalau bicara pake otak! Apa kau
sadar apa yang baru saja kauucapkan tadi? Kau yang seharusnya malu pada dirimu
sendiri. Kau sudah punya pacar tapi masih saja kegatelan cari cowo lain! Apa
kau tidak malu pada Josh? Dia itu terlalu baik untukmu! Kau malah mau
membuangnya demi cowo lain. Kalau kau bilang aku
murahan,
lalu kau itu apa?!”
“Memang kenapa
kalau aku bosan dengan Josh?!! Suka-suka aku!” nafas Emma turun naik menahan
marah, tiba-tiba saja otaknya bekerja keras dan ia menemukan alasan yang masuk
akal untuk menyerang Ann, “aku mengerti sekarang. Kau....kau suka Josh kan? Dari
dulu kau memang selalu menyukai Josh! Sekarang aku mengerti kenapa kau selalu membelanya,
melindunginya dan mati-matian menyuruhku tetap bersamanya. Kau memang
menyukainya!”
Ann hanya
bisa terdiam, ia tidak tahu harus bagaimana menimpali ucapan Emma. Serangan
Emma tadi terlalu telak.
“Dan
Dennis.....kau tidak mau aku dekat-dekat dengan Dennis karena kau takut aku bakal
memutusi Josh demi dia. Lalu kau merebut Dennis dariku, kau pacaran dengannya agar
aku bisa terus bersama Josh! Kau pacaran dengan Dennis hanya untuk melindungi Josh?!”
Emma
tercekat dengan pemikirannya sendiri. Kini ia baru mengerti maksud Ann yang sesungguhnya.
Ia tidak tahu harus marah atau malu saat ini.
“Katakan
padaku, apa semua itu benar? Ann! Apa semua itu benar!” jerit Emma.
“Ya, benar.”
Ann menatapnya pilu, “terserah bagaimana kau mau membenciku, tapi sedikitpun
aku tidak mau menyakitimu. Aku juga tidak mau kau menyakiti Josh. Aku tahu kau
akan memutusinya demi Dennis, maka aku bertekad mencegah semua itu dengan
cara..”
”CUKUP!!”
Ann dan
Emma sama-sama terlonjak kaget mendengar suara itu. Mereka kontan menoleh ke
arah pintu kelas yang ternyata sejak tadi sudah terbuka. Josh berdiri di sana.
Wajah tampannya menampakkan rasa sakit dan marah yang memuncak di saat
bersamaan. Ia menatap
mereka satu
persatu dengan mata memerah, nafasnya memburu seolah-olah ia ingin melampiaskan
kemarahannya dengan apapun
yang ada
di dekatnya sekarang. Tangannya mengepal keras.
“Josh...”
Emma bergidik ngeri, “percakapan tadi....aku...aku dan Ann cuma...”
“Diam!!
Aku sudah cukup mendengar semuanya....”
“Josh,
dengarkan aku...”
Ann
terpaku di tempatnya , tak berkutik. Baru kali ini ia melihat Josh marah besar.
Cowo itu seolah-olah menjelma menjadi orang asing yang tidak dikenalnya.
Tiba-tiba
Josh menatap Ann tajam, “Tolong tinggalkan kami, Ann.”
Emma
menoleh pada Ann, berharap ia tidak menuruti perintah Josh.
“Tolong, Ann....aku
mohon tinggalkan kami berdua sekarang.”
Ann
menunduk tidak berdaya, “Baik.”
Ia tidak
menghiraukan wajah Emma yang pucat pasi menatapnya. Ann berjalan lunglai meninggalkan
kelas kosong itu, meninggalkan
kedua
sahabatnya di dalam sana. Sebenarnya ia ingin berusaha menyakinkan Josh kalau
apa yang baru saja didengarnya tidaklah seburuk perkiraannya, tapi tampaknya
semua itu sudah tidak ada gunanya.
Josh
sudah tahu semuanya, dan Emma terpaksa menghadapinya seorang diri. Ann tidak
tega, tapi apa yang bisa ia perbuat?
Aku ingin mencegah Josh sakit
hati, tapi ternyata tanpa kucegah pun ia sudah sakit hati. Bahkan lebih
dalam....
Tiba-tiba
saja ia dihantui rasa bersalah.
Apakah semua ini salahku?
Seandainya aku tidak mencampuri hubungan Emma dan Dennis, apakah semua ini
mungkin saja tidak akan terjadi?
Ia ragu,
kalau ia tidak pacaran dengan Dennis, Emma akan mendapatkan cowo itu dan menyakiti
Josh. Tapi nyatanya setelah Emma kehilangan Dennis pun, Josh tetap saja harus
sakit hati karena mendengar pertengkaran mereka tadi. Bahkan mngkin sakit hati yang
dideritanya jauh lebih dalam....
Ann
merasa sekujur tubuhnya kaku, ia tidak lagi bergairah mengi
kuti
acara sekolahnya itu. Gerombolan orang yang memadati sudut
panggung,
orang-orang penjaga stand yang sibuk, murid-murid yang asik memberi dukungan pada
calon ketua pilihan mereka......kepala Ann rasanya mau pecah. Ia mau pulang
saja. Peristiwa barusan memang membuat Ann pulang sekolah lebih awal. Dalam
perjalanan
pulangnya
Ann baru sadar hari ini tanggal 14 Februari, hari Valentine. Seharusnya menjadi
hari yang istimewa. Setiap tahun ia selalu tukeran coklat dengan Emma tapi sekarang
jangankan coklat, tukeran senyum pun rasanya sudah sangat tidak mungkin.
Ann
pulang ke rumahnya dengan gontai. Ia tidak menghiraukan pertanyaan Papa kenapa ia
pulang lebih awal, ia langsung ma suk ke kamar tanpa basa-basi.
Kira-kira
apa yang terjadi pada Emma dan Josh? Aku benar-benar tidak mau mereka putus, Josh pasti akan sedih sekali..
Tiba-tiba
HPnya bergetar. Ann mengamati layar HPnya, nama DëNn¡S (“,) berkedip-kedip di
sana.
Lagi-lagi dia....
“Halo?”
“Halo,
Ann. Selamat hari valentine ya...”
“Telat,
ini sudah jam 11 siang. Seharusnya kau ucapin dari jam 12 malam kemarin.”
“Loh? Bukannya
kemaren aku ke rumahmu tengah malam? Kau lupa, itu berarti sudah tanggal 14.
Akulah orang pertama yang memberimu ciuman mesraaaaa......HAHAHAHA.” Dennis
tertawa terbahak-bahak, “maunya sih cium dibibir.......”
“Dasar maniak!”
tapi diam-diam Ann tersenyum. Benar juga, kemarin malam saat Dennis datang ke
rumahnya itu sebenarnya sudah
tanggal 14.
Dennis sudah memberinya satu ciuman di kening.
“Hari ini
aku dapat coklat tidak?”
Ann baru
ingat ia sama sekali tidak menyiapkan coklat atau hadiah apapun untuk Dennis di
hari Valentine ini. Cepat-cepat ia mengingat isi kulkasnya, apa masih ada
coklat yang tersisa? Oh ya, masih ada!
“Ada...ada....nanti
kukasih deh.”
“Wah asik!!!!”
Dennis bersorak girang disana, “Hey, kau mau aku melakukan apa untukmu di hari
valentine ini? Nanti aku akan memenuhi semua kemauanmu.”
“Hm....aku
mau...” Ann berpikir sebentar, “aku mau dikasih mawar, tapi kali ini jangan yang
sudah hampir layu!”
”Lalu?”
”Lalu.....aku
mau liat matahari terbenam.”
Dennis
terkekeh, “Oke....oke...lalu?”
”Hm....lalu....lalu
apa ya?” tiba-tiba Ann teringat sesuatu, “oh ya, Dennis, itu...hm...”
”Ada
apa?”
Dennis
tidak bersuara. Ann harus menunggu sebentar sampai terdengar suara Dennis menjawabnya
dengan mantap , “Sudah beres, kau jangan khawatir.”
“Bagaimana
caranya?”
”Aku
pinjam pada seseorang.”
“Oh
begitu....syukurlah.”
“....................”
(sunyi)
“Dennis..”
“Ya?”
“Apa kau
hari ini benar-benar pergi ke taman itu?”
“Tentu,
aku kan sudah bilang, hari ini kau sekolah jadi aku pasti akan merindukanmu. Makanya
aku pergi ke sana.”
“Tapi sekarang
aku sudah pulang sekolah. Hari ini cuma ada classmeeting.”
“Oh.....asik
donk?”
“Iya.”
Ann mengigit bibirnya, ragu-ragu sejenak. “jadi aku hari ini gak ada
kerjaan.....”
“Memangnya
teman-temanmu tidak ada acara? Biasanya kan anak sekolahan paling getol rayain
Valentine. Hari keramat katanya!”
“Tidak
juga, hari ini aku benar-benar tidak ada acara.” Ann menegaskan kalimat
terakhirnya. Hatinya dongkol karena Dennis tidak mengerti juga, “kau dengar?
Aku tidak ada acara.”
“Terus
gimana donk? Bete banget kalo di rumah.”
“Yaaa.....mau
gimana lagi...”
“Pergi ke
taman itu lagi yuk!”
Akhirnya........dari tadi kek!
“Kau mau
liat matahari terbenam kan? Kita ke danau itu lagi ya! Nanti aku akan membelikan
mawar yang masih mekar-mekar untukmu!”
“Oke.”
Ann
mematikan HP-nya. Diam beberapa detik, kemudian tertawa terkikik-kikik. Hatinya
girang bukan main.
----------
Jam 3....
Ann
mengobrak-abrik seisi lemari bajunya, panik mencari baju yang paling pas untuk menemui
Dennis nanti. Padahal sebelumnya
ia tidak
pernah peduli, jangankan memusingkan soal baju apa yang harus dipakai.....soal
pergi kemana pun ia tidak pernah peduli. Tapi kenapa sekarang ia mau repot-repot
berdandan yang rapi untuk Dennis? Dan kenapa juga ia ingin sekali Dennis me ngajaknya
pergi ke tempat itu lagi?
Ann
mengaca, tersenyum-senyum sendiri melihat dirinya mencoba-coba baju. Setelah mendapat
baju yang paling pas (butuh setengah jam untuk menyakinkan dirinya sendiri), ia
cepat-cepat lari ke dalam kamar mandinya. Harus cepat-cepat mandi, aku tidak
boleh terlambat
“Duuhh,
anak Papa rapi amat. Mau ke mana?”
Papa meletakkan
koran sorenya saat ia melihat Ann turun dari tangga.
“Mau
pergi sama teman.”
“Sama Ria
dan Priska ya? Pasti mau ke mal, mentang-mentang hari Valentine” Papa tersenyum
lagi.
“Bukan.”
“Sama
Emma?”
“Bukan.”
Ann tersenyum manis.
“Lalu?”
“Sama
pacar aku, namanya Dennis, Pa. Kapan-kapan aku suruh ke sini ya, nanti aku kenalin.”
Papa
langsung diam tak bergeming. Wajahnya yang cerah tiba-tiba saja berubah masam. Ia bangkit berdiri dari sofa empuknya dan datang menghampiri Ann.
Entah apa yang harus ia katakan pada putrinya itu.
“Ann,
kamu masih berhubungan dengan anak bernama Dennis itu?”
“Memangnya
kenapa, Pa?”
“Papa.....”
”Pa, ada
apa? Kenapa bingung begitu? Bukankah Papa sudah tahu? Itu loh....cowo yang waktu
itu anterin aku pulang.”
“Iya, Papa
tahu. Papa sudah tanya Priska, malam itu...kamu tidak menginap di rumah Priska
kan?”
Ann
tersentak kaget, merasa malu karena Papa sudah tahu semuanya tapi tetap diam.
Ann benar-benar merasa bersalah sudah membohonginya.
“Papa
tidak bermaksud menyelidikimu. Papa tahu kamu anak yang baik, meskipun kamu membohongi
Papa nginap di rumah Priska pada
hal kamu
nginap di tempat lain...Papa tetap percaya sama kamu. Papa yakin kamu tidak
melakukan hal yang buruk malam itu. Tapi anak yang bernama Dennis itu.....”
Papa menatapnya, berharap putrinya bisa tabah saat menerima semua
penjelasannya. Bagaimanapun juga ia harus tahu. “ada yang tidak beres
dengannya. Papa mau kamu berhenti menemui dia.”
“Kenapa?”
“Dia itu
bukan anak baik-baik.”
“Iya, aku
tahu. Tapi dia sebenarnya baik, Papa harus mencoba mengenalnya dulu.”
“Papa
sudah coba mengenalnya, Ann. Kema
rin
malam....Papa datang ke rumahnya.”
“A....apa?”
Ann semakin tidak mengerti, “kenapa tidak bilang-bilang aku?”
“Papa
tahu mungkin ini kedengarannya konyol, tapi Papa melakukan semua ini karena tidak
mau melihatmu terluka. Sejak kamu berhubungan dengan anak bernama Dennis itu, kamu
tiba-tiba saja berubah menjadi sosok lain yang tidak bisa dimengerti.
Seolah-olah kamu menyimpan banyak rahasia dari Papa. Kamu jadi suka pulang
malam, bahkan tidak jelas menginap di mana. Bahkan wajahmu pernah terluka.”
“Pa,
wajahku itu..”
“Jatuh di
tangga dan membentur tiang? Ayo lah, Ann....Papa tidak sebodoh itu. Luka itu karena
perkelahian kan”
Ann
menunduk diam.
“Maafkan
Papa, Ann, tapi kemarin itu Papa datang ke rumah Dennis hanya untuk menemuinya
dan berbicara dengannya. Mungkin saja dia memang anak yang baik, mungkin saja
Papa yang salah. Tapi waktu itu dia tidak ada di rumah, yang ada justru ayahnya.”
Ann
mendengarnya baik-baik. Ia merasa tidak enak, seolah-olah se
suatu
yang buruk telah terjadi.
Tapi apa?
“Ayahnya
menceritakan semua masa lalu Dennis, tidak ada satupun yang bisa dibanggakan.”
“Maksud
Papa?”
Papa
memegang kedua pundak Ann erat-erat, seakan-akan itu bisa menguatkan putrinya,
“Papa
juga tidak suka menyampaikan ini
padamu,
tapi kamu harus tahu semuanya sebelum kamu semakin disakiti nantinya. Ann, anak
itu menjalin hubungan denganmu hanya karena ingin memanfaatkanmu. Memanfaatkan
uangmu terutama....”
“Apa? Itu
tidak mungkin, Pa. Dennis bukan orang seperti itu.”
”Tapi
ayahnya sendiri yang bilang. Dia bahkan pernah mendengar Dennis bicara seperti
itu pada teman-temannya. Dia hanya mengincar uangmu...”
Nafas Ann
tercekat. Meskipun ia bersikeras tidak mau mempercayai semua itu mentah-mentah,
tapi hatinya sekonyong-konyong membawanya kembali untuk melihat dengan jelas semua
permasalahan Dennis. Bukankah dia memang sedang terjerat hutang?
Bukankah
percakapan mereka tadi, Dennis bilang dia sudah mendapat uang untuk melunasi
hutangnya?
Samar-samar
Ann teringat dengan percakapan mereka....
”Hutang
ayahmu itu....apa sudah dilunasi?”
“Sudah
beres, kau jangan khawatir.”
“Bagaimana
caranya?”
”Aku
pinjam pada seseorang.”
Aku pinjam seseorang....aku pinjam
seseorang......AKU PINJAM SESEORANG........
kata-kata
itu terngiang-ngiang di telinga Ann. Berulang-ulang, menampar Ann dengan keras
agar tersadar dari semua ketololannya. Ann merasa sekujur tubuhnya dalam
sekejap terasa dingin, membeku. Jantungnya rasanya berhenti berdetak.
Ia
berdiri kaku di tempatnya, siap untuk hancur.
“Ayahnya
Dennis menceritakan pada Papa, Ann, Dennis itu memacarimu hanya demi uang. Ia
tidak sungguh-sungguh mencintaimu. Bahkan...” Papa tidak tahu apa dia harus
melanjutkan
ucapannya.
“Bahkan
apa...?”
“Bahkan....dia
meminta uang dari Papa. Katanya kalau uang itu sudah ada di tangannya, semua
akan beres, Dennis tidak akan mendekati
mu lagi
karena tuju annya sudah tercapai. Papa memberinya uang...”
“Jutaan?”
Ann merasa jantungnya semakin sakit.
“Iya
...ayahnya minta...minta 10 juta, lalu dinaikkan. Papa tidak mengerti, Papa
hanya memberinya blank check. Lalu ayahnya bilang
itu sudah
lebih dari cukup, ia berani jamin anaknya tidak akan lagi mendekatimu lagi.”
“Tidak....tidak
mungkin....”
“Ann,
kamu harus mengerti, Papa melakukan semua ini demi kebaikanmu. Papa tidak bermaksud
mencampuri urusanmu, Papa hanya...”
Bukan,
bukan perbuatan Papa yang memukul Ann dengan telak. Tapi kenyataan yang
menyakitkan tentang Dennis. Kebenaran tentang Dennis. Dia hanya mendekatiku demi uang. Dia hanya mengincar uangku.....Dia sudah
merencanakan semua ini sejak awal, sejak pertemuan pertama kami. Di diskotik
itu, direstoran itu.....semua adalah bagian dari rencana besarnya. Aku hanyalah
bagian kecil dari rencananya. Hutang-hutang itu hanya bualannya.........semua
sikap baiknya hanya kedok untuk menipuku. Ia tidak pernah mencintaiku. Sedikit
pun tidak pernah....
Ada yang
hancur, hancur berkeping-keping dan menimbulkan luka yang dalam di sana. Ann
sadar, bukan hanya hatinya yang hancur. Tapi seluruh dirinya...
Butuh
waktu yang cukup lama untuk membuat Ann sadar kalau ia sudah mulai jatuh cinta pada
Dennis, tapi butuh waktu yang sa
ngat
singkat untuk merenggut kebahagiannya itu....... dan mencampakkannya ke jurang
yang paling dalam.
***
Dennis
memanjat tembok tinggi yang menutupi sekeliling taman itu. Lalu ia melompat turun,
berguling sambil menahan sakit.
Sial!!
ia
menyingkirkan ranting-ranting pohon yang menusuk lengannya. Darah merembes dari
lukanya tapi sedikitpun ia tidak merasa sakit. Cepat-cepat ia menyekah darahnya
dengan sapu tangan, kemudian mengambil sebuket mawar merah yang tadi sudah dilemparnya
masuk, ia menepuk-nepuk debu yang mengotori kelopak mawar yang indah itu dengan
lembut. Dennis tersenyum kecil.
Ini sempurna, Ann pasti suka!
Ia
berlari kecil menuju ke danau. Sampai di sana ia tidak melihat Ann.
Aneh,
biasanya Ann paling tidak suka telat. Tapi Dennis duduk menunggu di tepi danau
itu, sambil sesekali tersenyum membayangkan reaksi Ann saat menerima mawarnya.
Ia juga membayangkan saat-saat indah di mana mereka akan bersama-sama menikmati
matahari terbenam di danau ini.
Rasanya
Dennis ingin melompat saat itu juga, menari-nari saking senangnya. Sedikitpun
ia tidak peduli meskipun nanti malam ia harus menghadapi amukan Bos lagi, mungkin
yang terparah dan mungkin yang terakhir. Mungkin juga ia tidak akan selamat dihabisi
mereka.
Tapi
Dennis tidak peduli, yang penting sore ini bisa ia habiskan bersama Ann.
Dennis memang
belum menemukan jalan keluar untuk melunasi hutangnya. Ia sudah merobek cek
pemberian Papa Ann, ia juga tidak mau mengemis-ngemis pada orang lain untuk meminjaminya
uang. Ia tidak punya uang untuk melunasi hutang ayahnya. Ia tidak peduli. Sedikitpun
tidak peduli....
Aku tidak akan takut menghadapi
apapun, aku akan lebih takut kalau aku tidak bisa bersama Ann lagi.
Dan
Dennis duduk setia menunggunya..........
Setengah
jam berlalu....
Hatinya
mulai gundah, kenapa Ann belum datang juga? Apa mungkin ia terlambat sebentar?
Ia yakin Ann pasti datang.
Setengah
jam lagi..........
Dennis
duduk membisu. Pemandangan yang indah sudah mulai membentang di depan matanya.
Matahari terbenam menampakkan
sinar
merahnya yang menyapu seisi danau dengan begitu indah. Luar biasa. Dennis belum
pernah menikmati matahari terbenam dengan sungguh-sungguh seperti yang ia
lakukan saat ini. Sejak bersama Ann ia mulai belajar menikmati hal-hal kecil
seperti itu.
Tapi di
mana Ann?
Setengah
jam pun kembali menemaninya......
Langit
mulai gelap, menutupi taman yang sepi itu dengan suasana yang kelam. Dennis bangun
dari duduknya dengan kecewa, buket mawar yang terus digengamnya itu tidak lagi
menarik hatinya. Ia terus bertanya dalam hati, kenapa Ann tidak datang? Apa ia
lupa? Apa
ia tiba-tiba punya rencana lain? Atau mungkin dia ada keperluan mendadak?
Bagaimana
pun juga Dennis tidak bisa merasa tenang. Ia segera meninggalkan tempat itu untuk
mencari Ann.
Pertama-tama
ia pergi ke wartel tempatnya biasa menelepon Ann. Ia menanti dengan tidak sabaran.
HP Ann aktif, tapi tidak ada yang mengangkatnya. Kemudian meskipun agak ragu
tapi Dennis memberanikan diri menelepon ke rumahnya. Pembantunya bilang
Ann
sedang tidak ada di rumah, ia keluar dengan seorang temannya.
Pembantu
rumah itu bahkan memberitahu ke mana Ann pergi. Ke sebuah tempat makan yang
dikenal Dennis. Dennis agak heran. Mungkinkah Ann sedang ada kepentingan
mendadak dengan temannya itu, sampai-sampai ia melupakan janji mereka sore ini?
Tanpa perlu
berpikir panjang lagi, Dennis mendatangi tempat itu. Ia berdiri ragu mengamati
tempat itu hanya dari luar, ia tidak mungkin masuk ke dalam hanya untuk mengeledah
seisi tempat makan mencari Ann. Maka ia pun menunggu di luar, menunggu dengan
sabar.
20 menit
kemudian, pandangan mata Dennis menangkap sosok Ann keluar dari tempat makan
itu bersama seorang pemuda. Mereka mendatangi tempat parkir dan berhenti sebentar
untuk bicara. Dennis berusaha mengingat-ingat sebentar, rasanya ia pernah melihat
pemuda itu. Tak lama kemudian ia baru ingat pemuda itu pastilah Josh, pacar
Emma yang
waktu itu diceritakan Ann. Tapi kenapa Ann lebih memilih pergi dengan Josh
daripada dengannya?
“Thanks
ya, Ann, kau sudah mau menemaniku disaat-saat seperti ini. Aku benar-benar kacau
dan butuh teman bicara. Kejadian tadi pagi antara aku dan Emma...”
Wajah Ann
tanpa ekspresi, ia samasekali tidak menyimak setiap ucapan Josh. Ada hal yang
lebih menyakitkan yang menggerogoti hatinya, yang membuatnya tidak bersemangat
lagi mendengar semua ocehan Josh tentang hubungannya dengan Emma yang sudah
putus tadi pagi. Sedikitpun ia tidak sanggup lagi bersimpati pada Josh ataupun
Emma, meskipun ia sangat peduli pada mereka berdua.
Ditatapnya
Josh yang terus bicara tanpa benar-benar mencerna kalimatnya. Kemudian ia termangu
sesaat, sepertinya ia melihat ada yang datang menghampiri mereka dari belakang
Josh. Ann menajamkan pandangan matanya. Kemudian ia membelalak saat menyadari
siapa orang yang mendatangi mereka itu.
Wajahnya
memucat seketika, “Dennis.”
“Hai,”
Dennis serba salah menyapa mereka berdua. Kemudian ia menatap Ann, “kenapa kau
tidak datang ke tempat itu? Aku menunggumu terus.”
Ann tidak
menjawab, ia menarik tangan Josh untuk segera masuk ke dalam mobil, “Josh, kita
pulang saja.”
“Hey Ann,
tunggu dulu.” Dennis berusaha mencegahnya pergi.
Di luar
dugaan Ann mendorong Dennis dengan kasar, “Pergi!!”
Dennis
tersentak, “Ann? Kau kenapa?”
”Pergi
kataku !! Aku tidak mau lagi melihatmu!!!”
“Ann...”
“Untuk
apa kau mencariku sampai ke sini? Untuk minta uang?”
”Apa
maksudmu?”
“Jangan
pura-pura bodoh, Dennis! Aku sudah tahu semuanya! Aku sudah tahu semua kelicikanmu
dan semua rencana busukmu! Kau pasti sudah senang ya, mendapat uang banyak dari
Papaku? Kau sudah puas mempermainkan aku, Dennis?”
Dennis
langsung terpaku di tempatnya. Tubuh itu bergidik ngeri melihat kemarahan Ann.
Tapi ia lebih ngeri lagi karena Ann sudah tahu semuanya.
“Ann,
dengarkan aku...”
”Tidak
ada yang perlu kudengar lagi! Semua ucapanmu selama ini hanya omong kosong! Kau
pura-pura baik padaku karena kau tahu aku bisa membantumu mendapatkan uang. Kau
berusaha mempengaruhiku, lalu menipuku habis-habisan. Itu kan rencanamu selama ini!!!”
Josh
menatap mereka bergantian dengan bingung, “Ann, benarkah itu?”
“Ann, kau
tidak mengerti. Dengarkan aku dulu, aku akan menjelaskan semuanya padamu!!”
“Aku
tidak mau!” Ann berlari meninggalkan mereka semua.
Dennis
segera mengejarnya, tapi tiba-tiba saja Josh menarik tangannya dengan marah,
“Benarkah
itu?! Kau selama ini hanya me nipu dia? Kau hanya mempermainkan dia?”
“Ann itu
temanku, brengsek!! Aku tidak akan membiarkanmu mempermainkan dia!”
“Sudah
kubilang jangan ikut campur! Minggir!”
Dennis
menepis Josh menyingkir dari hadapannya. Ia bergegas berlari mengejar Ann.
“Ann,
tunggu aku! Aku akan menjelaskan semuanya!”
“Pergi!
Aku tidak mau mendengar penjelasan apa-apa darimu!”
Dennis
tidak menghiraukan semua teriakan Ann, ia berhasil
mencekal
tangan Ann dan menariknya. “Kau harus dengar aku!”
“AKU TIDAK
MAU!!!” Ann menutup kedua telinganya, ia menggeleng kuat-kuat agar tidak
mendengar suara Dennis.
“ANN!”
Dennis mengguncang bahunya, “DENGARKAN AKU! KAU HARUS DENGARKAN AKU!! AKU TIDAK
BERMAKSUD MEMPERMAINKANMU SAMA SEKALI! KAU HARUS PERCAYA PADAKU!!”
Ann terus
menutup telinganya, memejamkan mata dan menggeleng sekuat tenaga. Ia tidak
mendengarkan Dennis.
“Lepaskan
dia, brengsek!” Josh datang lagi, ia melepaskan Ann dari cengkraman Dennis.
“KUBILANG
LEPASKAN DIA!”
Dennis
hilang kesabarannya dengan Josh, sedikitpun ia tidak mau melepaskan Ann. Lalu terjadi
aksi tarik-menarik antar keduanya, Josh berusaha menarik Ann dan melepaskannya
dari Dennis, tapi Dennis berusaha mempertahankannya.
Wajah Josh
mengeras marah, langsung di hajarnya Dennis tanpa basa-basi. Pukulan Josh
lumayan keras hingga membuat Dennis terhunyung mundur dan Ann akhirnya
terlepas.
“KAU
JANGAN IKUT CAMPUR!” emosi Dennis meletup-letup.
Josh tidak
peduli, ia kembali menyerang Dennis dengan tinjunya. Tapi Dennis berhasil mengelak,
kali ini ia yang gantian memukul cowo itu telak di wajahnya.
Ann
menjerit tertahan saat melihat Josh jatuh ke bawah. “Dennis, jangan pukul dia
lagi!”
Ann
menarik-narik tangan Dennis berusaha memisahkan perkelahian itu. Tapi apa yang
terjadi setelah itu sungguh di luar kemauan Dennis.....
Saat itu
Dennis menepis cengkraman tangan Ann dengan kencang, hingga gadis itu terdorong
jatuh ke atas jalan raya beraspal yang sepi.
Dennis
segera menghentikan perkelahiannya dengan Josh. Ia kaget bukan main melihat
Ann jatuh
di sana dan susah payah bangkit berdiri. Tiba-tiba matanya menangkap cahaya
yang sangat menyilaukan. Dennis menutup matanya perih. Itu adalah cahaya lampu
mobil.
Jantung
Dennis terasa berhenti berdetak saat ia menyadari Ann dalam bahaya. Cepat-cepat
ia melesat untuk menolong Ann. Tapi laju mobil itu semakin kencang mengalahkan
kedua
kakinya. Dennis melihat Ann berusaha melawan rasa sakit dari kakinya yang
terkilir,
gadis itu mati-matian berusaha bangkit. Saat ia berhasil bangkit, Dennis
mendengar bunyi klakson yang memekakkan telinga.
Ann
menoleh dengan cepat......sorot lampu sangat menyilaukan matanya, kemudian ia
mendengar suara decit ban yang berderit mendekatinya........semakin mendekat
sebelum
ia
berpikir....sebelum ia sempat menyelamatkan diri..........mendekat dan semakin
mendekat seperti malaikat pencabut nyawa yang siap membawanya pergi..........
Lalu
tiba-tiba saja Ann merasa tubuhnya dihantam keras, ia merasa tubuhnya melayang
jauh........ia
merasa sakit saat tubuhnya kembali terbanting ke bawah........terbanting
menghantam
jalanan.......... Lampu itu begitu menyilaukan.......suara-suara di sekitarnya
begitu menyesakkan.............darah yang merembes dari bagian tubuhnya terasa
begitu kental.........dingin.......... Ann merasa sakit luar biasa...........
Ia merasa dingin yang menyelimuti dan menyusup ke seluruh
tulang-tulangnya......... Ia merasa gelap...............semuanya berubah hitam.
“ANN
!!!!!!!!!!!!!!!!!”
***
Unit
Gawat Darurat.
Dennis
mematung dalam keheningan di ruang tunggu Unit Gawat Darurat. Tubuhnya berkeringat, kemeja putihnya dipenuhi darah.
Ia tidak tahu harus mati atau apa saat ia
melihat
mobil minibus itu menabrak Ann dengan keras. Ia melihat Ann pingsan di
tempatnya
dengan
darah yang terus mengucur dari kepalanya. Dalam sekejap
orang-orang berkerumunan di sana, Dennis menerobos mereka dan segera mengangkat
tubuh Ann. Josh membantunya membawa Ann ke rumah sakit.
Semua ini adalah salahku......
“Dennis.”
Emma baru saja datang ke tempat ini, ia terus menghibur kedua orang tua Ann sejak
tadi. Lalu ia menghampiri Dennis, “kau tak apa-apa?”
Dennis
hanya menggeleng kecil.
“Kenapa semua
ini bisa terjadi? Ann baru saja bicara denganku kemarin.....lalu tiba-tiba ini
semua menimpanya. Rasanya seperti mimpi buruk..”
Dennis
diam.
Emma
mengamati Dennis dengan seksama, “Dennis, apa benar kata Josh....kau hanya mempermainkan
Ann? Kenapa kau sampai hati berbuat itu padanya? Aku...meskipun hubunganku
dengan Ann tidak baik akhir-akhir ini, tapi aku tidak mau dia dipermainkan oleh
siapapun. Aku sama sekali tidak menyangka, kau pacaran dengannya hanya demi...”
Emma tidak
tega untuk melanjutkannya, ia melihat Dennis sepertinya juga terpukul dengan
peristiwa ini.
“Aku
tidak tahu apa kau sungguh-sungguh mencintai dia atau kau memang hanya bermaksud
memanfaatkan dia. Tapi kurasa setelah semua peristiwa ini, kau harus lebih bisa
berhati-hati menjaga perasaan Ann.” Emma pergi meninggalkannya.
Lamunan Dennis
membuyar saat Papa Ann tak lama kemudian datang menghampirinya. Dennis siap
menerima amukan dari siapapun saat ini, ia tidak peduli lagi. Bahkan kalau bisa,
ia mau menanggung rasa sakit apa pun untuk menggantikan penderitaan Ann.
“Aku
mohon padamu.........jauhi Ann mulai sekarang,” suara Papa terputus-putus menahan
kemarahan dan kesedian yang melandanya disaat bersamaan, “apa setelah melihat
dia menderita seperti ini, kau baru mau menjauhinya? Apa anakku harus tertabrak
dulu, kau baru bisa sadar?!!”
Dennis merasa
lidahnya kaku tak mampu menjawab. Suara tangis Mama Ann di ujung ruangan ikut
menyayat-nyayat hatinya.
“Kenapa kau
tega berbuat seperti ini pada putriku? Bukankah uang sudah ada ditanganmu, kau
bebas melakukan apa saja yang kau mau! Tapi jauhi Ann, kumohon! Sejak bertemu
denganmu, yang ia alami hanyalah kemalangan. Kau sudah meracuni pikirannya,
membuatnya menjadi orang lain yang bukan dirinya. Kau tidak berbuat apapun
padanya selain menyesatkannya!!”
“Tapi aku
tidak bermaksud menyakitinya. Aku sungguh-sungguh ingin membuatnya bahagia.”
”Bahagia?
Bahagia seperti apa yang bisa kau janjikan padanya?! Apa kau sadar, hubungan
kalian itu tidak ada masa depannya, sampai kapanpun juga kau tidak akan bisa membahagiakan
dia. Apa menyeret dia dalam masalahmu dan membuat dia terluka dalam perkelahian
yang kau namakan bahagia? Yang kau lakukan justru membuatnya menderita seperti
saat ini! Coba kau lihat dirimu, apa pemuda seperti bisa membuatnya bahagia?! Masa
depanmu, keadaan keluargamu, hutang-hutangmu, teror-teror dari berandalan itu....apa
keadaanmu yang seperti itu bisa membahagiakan anakku? Ann pantas
menerima
lebih dari itu!”
Dennis termangu.
Ucapan Papa memukulnya telak, menamparnya hingga ia terbangun dari semua
mimpi-mimpi yang ia rajut diam-diam untuk Ann.
Papa Ann
benar,kondisinya saat ini benar-benar tidak memungkinkannya untuk bersama
dengan Ann. Gadis itu terlalu baik untuknya. Ann pantas menerima semua
kebahagiaan yang terbentang di hadapannya, bukannya bersama dengan dirinya yang
tidak jelas ini. Sejak bersama dengan Dennis, Ann justru mengalami semua hal
yang tidak menyenangkan secara beruntun. Dennis merasa dirinya betul-betul
pantas dikutuk, ia sudah menyesatkan Ann dan membawanya kedalam berbagai
masalah, tapi masih juga membuatnya tertimpa bencana ini.
Dennis
bertanya-tanya dalam hati, seandainya Ann tidak perlu bertemu dengannya sejak awal,
mungkin saja Ann sekarang sedang bersama dengan teman-temannya di suatu tempat,
bersenang-senang tanpa perlu tertabrak mobil apapun.
“Maafkan
aku...” hanya itu yang meluncur dari bibir Dennis.
“Aku rela
berbuat apapun....apapun yang kau mau...aku juga rela mengorbankan apapun yang
kau minta, tapi aku hanya minta satu
darimu.
Tolong jangan dekati putriku lagi, aku mohon lepaskanlah dia. Kalau kau
sungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi, tentang keinginanmu melihatnya senang,
maka jauhilah dia. Hanya dengan terlepas darimu-lah putriku bisa bahagia.
Buatlah agar dia melupakanmu kalau kau memang ingin melihat dia bahagia.”
“Aku
mengerti....”
Dennis
memang benar-benar mengerti. Dengan hati berat ia melanjutkan ucapannya, “Jangan
khawatir, aku akan melepaskan Ann, kalau memang itu yang bisa membuatnya bahagia.”
Percakapan
mereka terhenti saat ruangan UGD itu terbuka dan seorang dokter keluar dari sana.
Dokter
yang memeriksa Ann membawakan berita baik. Ann sungguh beruntung karena hanya
menderita gegar otak yang tidak terlalu parah, tidak ada tulang yang patah tapi meskipun begitu kepalanya yang bocor harus menerima beberapa
jahitan. Dokter juga menyakinkan mereka kalau Ann tidak akan apa-apa, semuanya
sudah bisa diatasi. Ia hanya perlu istirahat dan akan pulih secepatnya.
Semua
bernafas lega setelah mendengarnya.
“Aku ada
satu permintaan.” ujar Dennis pelan, “izinkan aku menemuinya saat ini. Yang
terakhir. Aku janji padamu, setelah ini aku akan memegang janjiku tidak akan
lagi menampakkan diriku di depan kalian semua. Tidak juga pada Ann.”
Dengan
berat hati Papa menyanggupinya.
Ann dipindahkan
ke kamar rawat inapnya. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan menjenguknya
karena ia masih dalam kondisi tidak sadar. Tapi Papa berhasil membujuk dokter
untuk memperbolehkan Dennis masuk ke dalam untuk melihatnya.
Maka
berdirilah Dennis di situ dengan hati yang hancur, didepan Ann yang terbaring
tak sadarkan diri dengan perban yang membalut kepalanya dan luka-luka lain di
tubuhnya.
Dennis
menarik kursi dan duduk di samping Ann berbaring. Perlahan-lahan diraihnya tangan
mungil Ann dan digenggamnya dengan erat.
Dennis
memandanginya dengan pilu. Hatinya teriris-iris menahan
diri
untuk tidak menangis. Tak ada satu katapun yang sanggup keluar dari bibirnya
yang kelu. Ia hanya mampu mengutuk dirinya sendiri.
-------
Dennis
tertidur di sampingnya, seharian menjaganya. Saat pagi-pagi sekali, Josh dan Emma
memasuki kamar Ann. Josh kaget bukan main melihat Dennis tertidur di sana. Ia segera
menarik Dennis, mengajaknya ribut.
“Apa yang
kau lakukan di sini! Kau mau apa, hah!?”
“Josh,
sudahlah, jangan tambah-tambah masalah lagi di sini.” Emma meleraikan mereka.
Josh
menarik Dennis keluar dari kamar. Emma tidak mengikuti mereka, ia menutup pintu
dan menghampiri Ann. Matanya menatap sayu pada Ann, bagaimanapun juga ia sangat
menyayangi temannya itu. Ia menyesal dengan semua pertengkaran yang harus
mereka lalui beberapa hari ini. Ia malu pada dirinya sendiri, pada semua
perbuatannya yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa sekalipun memikirkan
perasaan Ann. Ia sudah sadar ternyata sejak dulu Ann menyukai Josh, tapi Ann
selalu menyimpan perasaannya dalam-dalam, ia bahkan rela memberikan Josh pada
Emma, tapi Emma malah menyia-nyiakan pengorbanan Ann dengan menyukai cowo lain.
Emma menyesal tidak menyadarinya dari dulu, lebih menyesal lagi karena akibat
perbuatannya itulah Ann harus berurusan dengan Dennis.
Emma
menghapus semua lamunannya saat suara berisik Josh dan Dennis di luar kamar membuat
Ann siuman perlahan-lahan. Tapi Emma merasa lega, ia lekas mendekatinya,
“Ann....kau
sudah sadar?”
“Di mana
aku..” jawab Ann serak.
“Kau ada
di rumah sakit sekarang. Jangan banyak bergerak dulu, dokter bilang kau harus banyak-banyak
istirahat.” Emma tersenyum lembut, “kau sangat beruntung, meskipun kepalamu
harus banyak menerima jahitan tapi nyawamu selamat.”
Ann
berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Ia hanya ingat sebuah mobil melaju
kencang ke arahnya dan menabraknya. Lalu ia tidak ingat apa-apa lagi. Semakin ia
memutar otaknya, kepalanya semakin berdenyut-denyut sakit.
Kemudian suara
Dennis menyadarkannya, ia menoleh ke samping, ke arah jendela kamarnya dan
melihat Dennis tengah bertengkar dengn Josh di luar. Ia baru teringat dengan
semuanya. Semua yang menyakitkan...........
“Kau
jangan muncul di depan kami lagi! Aku sudah dengar semuanya dari Papa Ann, kau bajingan
brengsek! Hanya memacari Ann demi uangnya!!” Josh membentur Dennis ke
tembok.
Dennis
terhenyak saat ia melihat dari balik kaca, Ann sudah siuman. Hatinya merasa
lega, tapi juga sakit karena disaat inilah ia harus semakin menghancurkan Ann.
Tapi untuk yang terakhir kalinya.
“Memangnya
kenapa kalau aku butuh uangnya?” Dennis tertawa renyah, sebisa mungkin membunuh
perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Ia ingin menerobos masuk kedalam sana
dan bilang pada Ann kalau ia sangat mencintainya, tapi ia tahu bagaimana pun ia
sudah berjanji akan melepaskan Ann.
“Salah
dia sendiri kenapa bisa sebodoh itu, mau aja ditipu. Sialan, kalau saja
rencanaku ini tidak cepat terbongkar, aku bisa
meraup
keuntungan lebih banyak darinya!!”
“Kau!!”
Josh marah besar melihat senyum Dennis yang tanpa rasa bersalah.
“Dia
terlalu naif, mungkin selama ini dia kira aku benar-benar menyukai dia, yang
aku sukai itu hanya uangnya! Tidak masalah kalau dia tidak menyukaiku juga, toh
aku berhasil memeras papanya habis-habisan.”
Ann
membekap mulutnya dengan tangan, menangis mendengar semua itu.
“Kenapa
kau sangat peduli dengan Ann? Kau suka dia? Ya sudah, ambil saja sana. Aku tidak
butuh dia lagi, yang penting kan aku sudah dapat uang banyak dari papanya.”
Dennis
menertawai Josh.
Emma keluar
dari kamar, “Josh, bawa dia pergi dari sini! Ann tidak harus mendengar semuanya
kan?! Cepat bawa dia pergi!”
“A..apa?”
Josh terperangah melihat kedalam, Ann ternyata sudah mendengar pertengkaran mereka
sejak tadi. Ia segera menarik kerah baju Dennis untuk menyeretnya pergi dari situ,
tapi Dennis malah masuk kedalam kamar, berdiri menantang di depan Ann.
“Ann, aku
tidak bermaksud membuatmu sampai masuk rumah sakit begini. Tapi kuharap kau
tidak terlalu dendam padaku, aku juga berharap kau bisa melupakan semuanya. Diantara
kita tidak perlu ada yang disesali karena hubungan kita hanya dilandasi kebohongan
belaka. Toh aku juga tidak pernah serius padamu, apalagi sampai mencintaimu,
semua ucapanku itu hanya bohong. Sekarang kau sudah tahu semuanya kan? Lupakan saja,
anggap saja kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Begitu lebih baik. Kita bisa
melanjutkan hidup kita masing-masing.”
Dennis
bisa melihat dengan jelas air mata Ann yang mengalir karena semua ucapan kasarnya.
Tapi ia mencoba berpura-pura tidak peduli.
Tanpa
perlu ditarik oleh Josh, Dennis segera mengangkat kakinya pergi dari situ. Langkahnya
terlihat mantap di koridor rumah sakit itu, meninggalkan mereka semua yang
menatapnya dengan marah.
Tapi
bukan tatapan orang-orang itu yang mengoyakkan hati
Dennis,
melainkan tatapan mata Ann saat ia mengucapkan semua kata-kata kejam itu. Gadis
itu menangis.
Ia
berharap lebih baik ia buta sehingga tidak perlu melihat
Ann
menderita.......lebih baik ia tuli sehingga tidak perlu mendengarnya menangis....lebih
baik ia mati daripada membuatnya sedih..........
Lalu di
tempat yang sepi itu, saat tak ada yang melihatnya lagi.....Dennis jatuh
berlutut dibawah. Ia tak tahan lagi, ia pun meneteskan air mata. Menangis tanpa
ada yang melihatnya.
Hatinya
menjerit-jerit penuh kesakitan.
Maafkan aku,.....aku telah
melukaimu. Aku terlalu bersalah padamu, tidak seharusnya aku membawamu masuk ke
dalam kehidupanku, dan aku pun tidak seharusnya masuk kedalam kehidupanmu. Aku
telah membohongimu, menyakitimu dan membuatmu jadi begini. Percayalah,
sedikitpun aku tidak bermaksud melukaimu. Aku rela menanggung apapun seandainya
itu bisa membuatmu lepas dari penderitaan ini. Seandainya saja kau tahu
perasaanku. Aku tidak pura-pura baik padamu, aku memang mencintaimu. Aku tidak
tahu apa kau juga mencintaiku, tapi kau selalu baik padaku, kau selalu ada di sampingku meskipun kau sudah tahu keadaanku yang sebenarnya, dan
aku dengan bodohnya menghancurkan hatimu.........seharusnya aku tidak melakukan
itu. Tapi aku terpaksa. Aku harus membuatmu mel upakanku, aku harus
melepaskanmu. Orang sepertiku tidak pantas bersamamu sedetikpun........Orang
seperti aku hanya akan membuatmu menderita seperti ini. Papamu benar, semua
orang benar, aku memang tidak pantas untukmu. Aku akan menjauh darimu, Ann ,
sebisa mungkin akan menghilang dari hidupmu hingga kau tidak perlu lagi sakit
hati. Kuharap kau bisa mengerti. Kuharap kau tahu, aku memang mencintaimu.
Dennis
menangis di sana. Tidak ada seorang pun yang tahu betapa hancur hatinya saat
ini...... Kalau ada orang yang paling menderita dalam semua kejadian ini,
Dennis-lah orangnya.
I would
die for you
I would
die for you
I've been
dying just to feel you by my side
To know
that you're mine
I will
cry for you
I will
cry for you
I will
wash away your pa
in with
all my tears
And drown
your fear
I will
pray for you
I will
pray for you
I will
sell my soul for something pure and true
Someone
like you
See your
face every place that I walk in
Hear your
voice every time I am talking
You will
believe in me
And I
will never be ignored
I will
burn for you
Feel pain
for you
I will
twist the knife and bleed my aching heart
I'll tear
it apart
I will
lie for you
I can
steal for you
I will
crawl on hands and
knees
until you see
You're
just like me
Violate
all my love that I'm missing
Throw
away all the pain that I'm living
And I can
never be ignored
I would
die for you
I would
kill for you
I will
steal for you
I'd do
time for you
I would
wait for you
I'd make
room for you
I'd sail
ships for you
To be
close to you
To be a
part of you
'Cause I
believe in you
I believe
in you
I would
die for you
Come up
to meet you, tell you I'm sorry
You don't
know how lovely you are
I had to
find you, tell you I need you
And tell
you I set you apart
Tell me
your secrets, and
nurse me your
questions
Oh lets
go back to the start
Running
in circles, coming in tails
Heads on
a science apart
Nobody
said it was easy
It's such
a shame for us to part
Nobody
said it was easy
No one
ever said it would be this hard
Oh take
me back to the start
***
Priska
dan Ria langsung pergi menjenguk Ann begitu mereka pulang dari sekolah. Mereka
hanya tahu Ann semalam ketabrak mobil, selebihnya mereka tidak tahu apa-apa.
Sesampai
di kamar inap Ann, hanya ada Emma dan Josh yang menjenguk di sana. Priska langsung
memeluk Ann, “Ann....kau baik-baik saja kan? Aku hampir mati ketakutan
mendengar kau ketabrak mobil.”
Ria
meletakkan kantung plastiknya yang penuh dengan buah apel ke bawah ranjang, ia tersenyum
malu-malu, “Aku tidak tahu harus bawa apa ke sini, kata Priska lebih baik bawa
apel.....tapi kurasa itu ide tolol, masak abis ketabrak mobil makan apel?”
“Tidak
usah repot-repot begitu,” Ann terharu ,”kalian habis pulang sekolah ya? Gimana sekolah
hari ini?”
”Tidak
ada kejadian seru apa-apa, tuh si ketua Osis baru bikin pera
turan
aneh, tiap hari Jum’at-Sabtu kita boleh pake baju bebas sesuka
hati kita. Si Ria kesenengan tuh!”
“Iya,
Ann, jadi aku bisa bebas mau pake apa aja.” Ria terkikik lucu, “gak ada lagi
deh yang larang-larang aku pake rok pendek.”
Mereka tertawa
bersamaan. Emma melirik Josh, membisikkan sesuatu dan kemudian mereka berdua
meninggalkan ruangan itu.
Josh berjalan
di depan Emma, kemudian berhenti sebentar menoleh ke belakang, “Mau bicara apa
lagi?”
“Kau
masih marah padaku ya?”
“Kau mau
membicarakannya di saat-saat begini? Ayolah Emma, aku sama sekali tidak berselera.”
Josh terlihat jengkel.
“Aku tahu
kau masih marah. Aku tidak menyalahkanmu.”
“Lalu
maumu apa?”
”Sekarang
kau sudah tahu kan, Ann itu dari dulu selalu meny
ukaimu.
Dia menyimpan semuanya demi aku.”
“Ya, aku
tahu.”
”Lalu apa
kau...”
”Emma!”
Josh memotongnya cepat, “sebenarnya apa inti dari pembicaraan ini? Tolong jangan
bertele-tele.”
”Apa kau
juga punya perasaan yang sama pada Ann? Maksudku, setelah semua yang terjadi
semalam....kau kelihatannya sangat terpukul. Tadi saja kau sampai bertengkar hebat
dengan Dennis. Aku pikir....mungkin saja kau juga punya perasaan khusus pada Ann.”
Josh
menatapnya tak percaya, ia tersenyum getir, “Dia itu temanku, kalau ada sesuatu
yang terjadi padanya tentu saja aku akan khawatir. Dan kalau dia sampai sakit
hati gara-gara ulah cowo bajingan itu, tentu saja aku akan mencari perhitungan
padanya! Kau ini kenapa sih? Memangnya kau tidak sedih melihat Ann disakiti
seperti
itu?
Kalau kau jadi aku, kau pasti juga akan melakukan hal yang sama bukan ?!”
“Aku bukannya
tidak sedih dengan keadaan Ann. Bagaimana mungkin aku bisa tidak sedih, Ann itu
temanku sejak kecil! Apa yang kami miliki jauh lebih banyak dibandingkan kau
dan Ann!”
”Lalu apa
intinya!!”
”Intinya, aku rasa kau sebenarnya menyukai Ann!!”
bentak Emma keras, bahunya turun-naik menahan emosi.
Josh menatapnya
tajam, Emma tidak mampu mengartikan arti dari tatapannya itu. Ia merasa tidak
berkutik, takut untuk mendengar jawaban Josh yang sesungguhnya.
“Akui
saja, Josh. Sungguh aku tidak keberatan kalau kau bersama dengan Ann, aku hanya
mau memastikan apa yang aku rasakan ini adalah benar.”
“Memangnya
apa yang kau rasakan?”
“Aku
merasa......kau-lah satu-satunya orang yang bisa menghapus luka di hatinya.”
“Itu yang
kau rasakan?”
“Ya.”
“Sungguh
itu yang kau rasakan, Emma? Hanya itu?”
Emma
tidak menjawab. Kemudian Josh mengangguk kecil di hadapannya, wajahnya menyiratkan
kekecewaan yang mendalam, “Baik, kau mau tahu apa yang kurasakan, Emma? Aku memang
menyukai Ann, aku bahkan menyayangi dia melebihi diriku sendiri. Tapi orang
yang aku cintai bukan dia!”
Emma
memejam mata saat Josh melangkah pergi meninggalkannya.
Lagi-lagi aku telah membuatnya
kecewa....
***
Sore itu
Ann mengamati butiran-butiran hujan yang membasahi jendela kamar rumah sakitnya.
Ia menerawang, melamun sambil menahan rasa sakit yang masih sedikit bersarang
di kepalanya.
Ia
mendengar bunyi ketukan pintu dan tersenyum saat Emma masuk.
“Kenapa
masih ada di sini? Kau belum pulang sejak tadi pagi?” Emma duduk di sampingnya,
menggerak-gerakkan tulang punggungnya, “Iya nih capek, abis ini aku sudah mau
pulang kok. Bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Tidak
mungkin kan, aku menjawab ‘aku sudah baikan’ ?” Ann menunduk sedih.
“Kau
masih sedih ya?”
“Kau
tahu, Emma? Lebih baik kita terluka secara fisik daripada hati kita yang
terluka, sakitnya tak akan hilang sampai kapanpun juga.”
“Tapi
Ann, kau harus melupakan dia.”
“Bagaimana
caranya? Bisakah kau beri tahu aku, bagaimana cara melupakan orang yang kita
sayangi dan kita benci sekaligus? Orang yang telah membawa kita terbang tinggi,
tapi juga mematahkan sayap kita dan menghempaskan kita ke tempat yang paling
dalam? Orang yang telah menoreh cinta dan luka di hati kita di saat bersamaan?”
Emma memeluk
Ann sebelum gadis itu menangis lagi. Ia membelai pundaknya dengan lembut, “Aku
mengerti apa yang kau rasakan, Ann. Aku mengerti.....Ini semua salahku, secara
tidak langsung aku-lah yang telah menyeretmu pada Dennis.”
“Ini
bukan salahmu.”
“Ann, aku
menyesal atas semua perbuatan dan ucapanku tempo hari. Aku memang bukan teman
yang baik. Kau pantas marah padaku. Kau memang benar, Josh terlalu baik untuk orang
semacam aku, dia sepantasnya denganmu.”
Ann
melepaskan pelukannya, mengamatinya tajam, “Apa maksudmu?”
“Pasti
berat bagimu untuk selalu menyimpan perasaan pada Josh selama ini. Aku memang
tolol, baru sadar di saat-saat terakhir, pasti selama ini perbuatanku sudah
banyak membuatmu kecewa. Seandainya aku tahu sejak dulu......Kau selalu baik
dan perhatian pada Josh bahkan melebihi rasa sayangku sendiri padanya.
Sebenarnya kau-lah yang paling pantas mendampingi Josh.”
“Emma?”
“Ann, aku
dan Josh memang sudah putus, semua karena salahku, tapi aku tidak berharap apa-apa
lagi dari hubungan kami. Aku mau merelakannya untukmu.”
“Emma,
kau salah....aku...”
“Aku sama
sekali tidak keberatan, Ann. Kalau memang Josh bisa menyembuhkan semua luka di
hatimu..”
”Emma,
aku tidak lagi mencintai Josh.” jawab Ann tegas, “dan aku tidak mau merusak hubungan
kalian. Apa kau tidak sadar, meski pun kalian sudah putus tapi Josh masih sangat
mencintaimu. Aku juga tidak mengerti bagaimana caranya aku bisa melupakan
perasaanku pada Josh, itu semua terjadi tanpa aku sadari.”
“Karena
Dennis?”
Meski
sakit tapi Ann mengangguk, “Aku terlambat menyadarinya. Sekarang aku malah berharap
aku tidak perlu menyadarinya sama sekali, agar aku tidak perlu menanggung semua ini. Bahkan kalau perlu aku tidak usah selamat dari
kecelakaan ini, biar aku membawa mati semua luka ini. Aku memang bodoh, bodoh
karena bisa jatuh cinta pada orang seperti itu, yang jelas-jelas hanya
bermaksud memanfaatkanku.”
“Kita
semua bodoh, Ann. Tak ada satupun dari kita yang terlalu pintar untuk menghindar
dari cinta, karena pada akhirnya kita semua terluka.”
***
Butuh
waktu sebulan bagi Ann untuk benar-benar memulihkan dirinya dari musibah ini. Perban
yang membalut di kepalanya sudah boleh dilepas, dan dia pun sudah boleh meninggalkan
rumah sakit. Setiap orang menyambutnya gembira.
Tapi
tidak bagi Ann. Dia tidak merasakan apa untungnya bisa sembuh dari luka fisik,
karena sampai kapanpun juga ia tidak yakin apa luka di hatinya bisa
disembuhkan. Meski ia sudah bisa pulang ke rumah dan menjalani semua aktivitas
sehari-harinya dengan normal kembali, tapi tetap saja ia merasa ada sesuatu yang
hilang dari dirinya. Ada yang pergi dan meninggalkan kekosongan dalam hatinya. Ia
merasa apa yang ada di sekelilingnya tidak sama lagi seperti dulu. Bahkan tawa
dan senyumnya pun tidak sama lagi. Begitu banyak orang yang tanpa putus asa
terus mencoba menghiburnya, menariknya keluar dari kesedihan itu. Tapi sia-sia
saja, bukankah semua itu malah mebuat Ann semakin terpuruk? Ia tidak perlu
perhatian extra dari mereka semua, juga tidak perlu dikasihani.
Yang ia
perlukan hanya waktu. Mungkin dengan waktu itu-lah, ia sanggup menyembuhkan
lukanya sendiri. Dan mungkin, hanya dengan waktulah ia bisa melupakan Dennis.
Dia telah membuatku hidup, tapi
dia juga lah yang membuatku mati seketika. Dia yang telah membuka hatiku untuk
cinta yang baru, tapi dia jugalah yang menutup pintu hatiku untuk kebahagiaan
lain yang bisa kuraih. Aku tak akan bisa melupakan semua kenanganku bersamanya,
tapi aku pun tak bisa melupakan sakit hati ini. Aku tak tahu salahku di mana,
mungkin aku memang terlalu naïf....atau mungkin kesalahanku hanya satu, yaitu
mencintai orang yang salah.
Ann tidak
pernah menyadari, saat hari pertamanya kembali ke rumah, seseorang mengamatinya
dari kejauhan. Saat ia turun dari mobil dan perlahan-lahan dibantu oleh Papanya
masuk ke dalam rumah, ada seseorang yang berdiri di kejauhan sana, menahan diri
untuk tidak menghampirinya. Menahan diri untuk tidak mencintainya lagi.
****
Beberapa
hari menjelang ujian akhir.............
Ann
mengamati brosur-brosur perguruan tinggi yang berjejer rapi di
meja
depan ruang BP. Murid-murid kelas 3 berbondong-bondong mengambilnya sambil
terus berdebat universitas mana yang paling bagus. Ada yang
sudah mantap dengan pilihannya, ada yang masih bingung dan berkonsultasi dengan
guru, ada juga yang cuek bebek.
Josh
tersenyum melihat Ann datang, “Buat apa liat-liat? Kan sudah pasti mau ke
Inggris.”
“Kau
sendiri buat apa liat-liat? Bukannya waktu itu sudah beli formulir?”
”Aku berubah
pikiran. Aku ingin kuliah ditempat yang aku mau, bukannya semata-mata pengen
satu kampus lagi dengan Emma.”
Ternyata
Josh sudah tidak berniat lagi satu kampus dengan Emma. Sejak putus, hubungan mereka
memang jadi agak dingin, ada kesan Josh selalu menjauhi Emma dan begitu pun sebaliknya.
Karena kedua-duanya makhluk paling popular di sekolah ini, maka kabar
putusnya
mereka tentu saja langsung me nyebar dengan versi yang berbeda-beda.
“Kau jadi
kuliah di Inggris?”
“Tidak
ada sesuatu yang membuatku harus membatalkannya.” Ann tersenyum kecil.
“Aku akan
kehilanganmu.”
“Aku
juga.”
Josh
mengerut kening sesaat, memberanikan diri untuk bertanya, “Bagaimana keadaanmu sekarang,
Ann?”
”Aku? Aku
sudah pulih total, kau bisa lihat sendiri kan?”
“Iya,”
Josh tertawa kaku.
“Kalau
yang kau maksud itu hatiku, kau tahu sendiri aku tidak semudah itu pulih.”
Josh
diam.
“Ah tapi
sudah lah, aku tidak mau memikirkannya lagi. Sebentar lagi kan ujian, lebih baik
aku konsentrasi belajar. Iya kan, Josh?”
“I..iya...”
“Hey,
bagaimana dengan kau sendiri? Sejak putus dengan Emma..”
”Aku
baik-baik saja, Ann. Sungguh. Yaaa..memang masih ada sakit hati sedikit, tapi
aku bisa melewatinya.”
”Aku
ingin sepertimu.”
***
Plok....plok....plok.....Seluruh
hadirin yang memadati hall dalam acara pelepasan murid kelas 3 berdiri
serentak, memberikan tepuk tangan terhangat mereka untuk 210 murid yang telah
dinyatakan lulus. 210 murid itu berbaris rapi di depan, berjejer dan tersenyum
bangga sambil memegang surat ijazah mereka. Tepuk tangan meriah terus
mengumandang di seantero ruang tertutup itu, tak henti-hentinya memberi pujian
pada mereka semua. Kelas mereka satu persatu diabadikan oleh juru kamera, mulai
dari kelas IPA, IPS maupun Bahasa.
Kepala sekolah
maju ke depan, memberikan pidato pelepasannya penuh dengan rasa bangga. Tepuk
tangan semakin meriah saat 10
lulusan terbaik,
Ann salah satunya, ikut maju dan diabadikan oleh juru foto bersama dengan
guru-guru mereka.
Tak
terasa inilah momen yang sangat ditunggu-tunggu, momen terakhir mereka setelah
3tahun mengarungi masa SMA. Banyak yang tak kuasa menahan rasa haru dan
menangis bersama teman dan keluarga masing-masing. Banyak pula yang terus
merangkul gurunya dan mengucapkan terima kasih. Apa yang terus mereka keluhkan
saat masih sekolah rasanya bukan apa-apa lagi saat mereka sadar mereka akan
berpisah dengannya. Di saat-saat inilah semuanya terasa sangat berharga.
Mungkin
setelah lulus, mereka akan berpencar dan tidak pernah bertemu lagi. Mungkin lulusan
terbaik akan menjadi orang yang pa
ling
melarat, mungkin murid yang nilainya terjelek justru akan menjadi pengusaha sukses.
Mungkin mereka yang popular akan
menjadi
ibu rumah tangga biasa, sedangkan mereka yang di-cap kutu buku malah menjadi
orang tenar.
Tapi
setidaknya untuk saat ini mereka belum berubah, mereka tetaplah 210 murid itu. Dua
ratus satu murid, satu kebahagiaan. Malam dilanjutkan dengan pesta promnite disalah
satu hotel berbintang 5. Semua tampil dengan gaun dan setelan jas terbaik masing-masing.
Sesuai tradisi, malam ini juga diadakan acara penobatan cewe-cowo tercakep, terheboh,
terjaim, terpintar, terbaik, dll.
Yang jadi
tercakep sudah pasti Emma dan Josh, tidak ada yang heran. Hanya saja Josh tidak
mendampingi Emma yang dinobatkan jadi Prom Queen, di luar dugaan yang menjadi
Prom King justru Rico. Prom nite baru bubar sekitar jam 11 malam lebih. Ann
nyaris tertidur di mobil saat Josh mengantarnya pulang bersama Emma. Emma terus
heboh
berceloteh tentang mahkota Prom Queen miliknya yang katanya kurang bagus, mutiaranya
kurang banyak, kurang mengkilap,
dan
lain-lain. Baik Ann maupun Josh tidak begitu serius menyimaknya.
Saat Ann
tengah melamun di tempat duduknya, ia merasa ada mobil lain yang terus menempel
di sebelah mobil Josh. Kecepatannya sengaja menyamai laju mobil Josh. Ann semakin
bingung saat mobil itu semakin lama semakin merapat. Josh juga menyadarinya,
“Mobil siapa sih tuh?! Reseh banget nempel-nempel!”
Ann
menyipitkan matanya berusaha menembus kegelapan kaca mobil Josh untuk mengintip
siapa si pengemudi misterius itu. Tapi sebelum ia bisa mengintip, Josh sudah keburu
hilang kesabarannya. Ia menepi mobilnya di pinggir jalan raya yang sepi. Mobil
itu mengikutinya, berhenti di belakang mobil Josh. Josh mengintip dari balik
kaca spion, “Hei, kalian kenal orang itu?”
Baik Ann
maupun Emma sama-sama tercengang melihat siapa si pengemudi misterius yang baru
saja keluar dari mobil dan tergopoh-gopoh mendatangi tempat mereka.
“Vincent...”
Emma reflek menatap Ann, “Itu Vincent.”
Ann
menelan ludah.
“Vincent
siapa?” tanya Josh heran.
“Vincent.....teman
Dennis.”
“Apa?!”
Ann tidak
bersuara saat Vincent menghampiri mobil mereka dan mengetuk-ngetuk kaca mobil
di tempat duduknya. Ann nyaris membuang muka kalau saja Josh tidak cepat keluar
dari mobil.
“Hei, mau
apa kau!”
Vincent
terus mengetuk kaca jendela Ann, “Ann, keluar sebentar, aku harus bicara padamu.”
“Bicara
apa? Soal temanmu yang bernama Dennis itu? Sudah tidak ada yang harus dibicarakan!
Ann tidak mau berurusan lagi dengan bajingan-bajingan macam kalian!”
“Tapi ini
penting! Ann harus tahu semuanya, dia harus tahu kalau Dennis...”
“Hey,
jangan sebut-sebut nama orang itu lagi di depanku!” Josh naik pitam, “suruh orangnya
datang ke sini kalau berani!”
Emma ikut
keluar dari mobil, serba salah mencoba membujuk Vincent pergi. Tapi Vincent
tidak mau, “Susah payah aku mencari Ann, kau suruh aku pergi?! Aku tidak akan pergi sebelum Ann mau mendengar semua penjelasanku!”
“Ann
tidak mau berurusan dengan orang-orang seperti kalian lagi!” hardik Josh.
“Vincent....kau
jangan membawa-bawa masalah Dennis lagi, keadaannya sudah membaik sejak sebulan
ini, tapi kalau kau mengungkit-ungkit nama Dennis lagi di depannya...”
“Tapi,
Emma...”
Mereka
bertiga tertegun diam saat pintu tempat duduk Ann tiba-tiba terbuka, gadis itu keluar
dari dalam mobil dengan begitu tenang. Namun kerisauan di dalam hatinya tidak bisa
disembunyikan, “Emma benar, Vincent, keadaanku sudah membaik sejak sebulan ini.
Tolong jangan kau kacaukan lagi.”
“Tidak,
kau harus tahu yang sebenarnya tentang Dennis! Ann, apa kau tahu Dennis juga menderita
sejak peristiwa itu?! Dia sengaja
berbuat
seperti itu semuanya demi kau! Jangan kau kira dia selama ini hanya
memanfaatkanmu, Dennis itu sebenarnya benar-benar menyukaimu! Dan jangan kau
kira dia mendekatimu hanya karena uang! Memang benar Papamu memberinya cek
kosong, tapi Dennis tidak mau menerimanya, cek itu bahkan dirobek olehnya!”
Ann
menatapnya tanpa ekspresi. Semua itu hanya omong kosong baginya.
“Kau
harus percaya padaku, Ann! Dennis itu tidak bermaksud menyakitimu. Dia sengaja berbuat
seperti itu karena...”
”Karena
apa, hah!” bentak Josh tak sabar, “buang semua omong kosongmu itu jauh-jauh!!
Ann tidak akan semudah itu percaya padamu!”
Vincent
memelas menatap Ann, “Ann, kau harus percaya..”
Ann tidak
bersuara.
“Ann,
kumohon.....percayalah. Semua yang kuucapkan itu benar! Kau harus percaya....”
“Mulai
detik itu, aku tidak tahu lagi harus percaya pada siapa.”
Sunyi........
“Aku
tidak tahu apa ceritamu itu benar atau hanya omong kosong belaka. Aku juga
tidak tahu apa maksudmu menjelaskan semua itu padaku. Tapi kalau boleh jujur,
sebenarnya aku tidak peduli lagi dengan semuanya. Maafkan aku, Vincent, tapi
kumohon berhentilah mencariku. Kau tidak perlu capek-capek mengejarku sampai ke
sini hanya untuk menjelaskan masalah itu, karena itu benar-benar tidak ada
pengaruhnya lagi bagiku.”
“Aku tidak percaya kau bilang begitu.....apa kau
tidak ada perasaan apa-apa lagi pada Dennis? Sedikit pun kau tidak mau peduli
lagi padanya?”
Ann tidak
menjawabnya.
“Aku
tidak percaya kau benar-benar tidak peduli padanya.”
“Kalau
begitu mulai saat ini kau harus percaya,” jawab Ann tajam, “dia bukan apa-apa lagi
bagiku. Aku bisa saja mendengar semua penjelasanmu itu kalau aku memang masih punya
perasaan padanya, tapi aku tidak mau. Kau, juga Dennis, harus tahu kalau aku tidak
sebodoh dulu lagi. Entah apa yang bisa membuatku memaafkannya.”
“Tapi
Ann, aku tadi sudah bilang...semua itu...”
Ann tidak
menghiraukannya, ia masuk kedalam mobil tanpa banyak bicara. Emma menyusulnya
meski ia masih ragu.
“Ann, kau
harus percaya!! Ann!!”
Josh
menatapnya garang, “Kau sudah dengarkan? Dia sudah tidak mau lagi berurusan dengan
bajingan itu. Jadi jangan sekali-kali lagi kau mencari Ann!”
Vincent
tak bersuara. Ia tak berdaya saat Josh masuk ke dalam dan langsung membawa kabur
mobilnya beserta Ann. Ia hanya bisa berdiri lemas di sana.
***
0 komentar:
Posting Komentar