Senin, 03 Maret 2014

dear love (part II)

Diposting oleh widya emblogs di 09.42


Dennis memasuki rumah kumuhnya dengan perasaan tidak enak, perasaannya mengatakan ada yang baru saja terjadi di situ. Sesuatu yang tidak menyenangkan. Ia terkejut melihat Vincent sudah berada di dalam rumahnya, sedang menanti kepulangannya. Lalu ada Ayah yang duduk disana sambil terus tersenyum-senyum
memegang secarik kertas.
“Ada apa ini?”
Vincent bangkit berdiri begitu melihatnya datang, ia tertawa-tawa girang, “Lihat apa yang baru saja didapat ayahmu. Kau bebas, Dennis! Kalian sekeluarga sudah bebas dari preman-preman itu!”
“Apa maksudmu?”
Ayah mengacung-ngacungkan kertas di tangannya, “Kita baru saja mendapat cek!”
“Cek? Cek apa?!” sedikitpun Dennis tidak merasa tenang, ada yang tidak beres di sini! Ia merebut cek itu dari tangan Ayahnya. Sebuah
blank check, cek kosong yang bebas diisi dengan berapapun jumlah yang mereka inginkan.

Tangannya bergetar saat ia melihat tanda tangan si pemberi cek, dan namanya. Dennis terperangah, sekujur tubuhnya gemetar menahan marah.
“Bagaimana Ayah bisa mendapat cek ini!!” teriaknya selantang mungkin.

Vincent menghampirinya sambil tersenyum, “Waktu kau pergi tadi, Papa-nya Ann dating ke sini. Gak nyangka, ternyata dari kemarin dia sudah menyuruh orang-orangnya membuntutimu. “

Ayah Dennis melanjutkan, “Aku benar-benar tidak mengerti apa maunya si konglomerat itu, tapi dia terus menanyakan tentangmu.”
“Rencanamu berhasil,” Vincent berbisik tepat di telinga Dennis, “papanya Ann ketakutan setengah mati melihat putrinya dirusak olehmu! Dia membujuk ayahmu untuk coba bicara padamu , supaya kau mau sedikit memperlakukan putrinya dengan baik dan jangan sampai terjadi sesuatu padanya. Tapi ayahmu itu ternyata selicik kau..”

Dennis langsung reflek mendorong tubuh kerempeng Vincent dengan kasar hingga ia terhunyung hingga jatuh. Vincent termangu tak mengerti, dilihatnya Dennis menghampiri ayahnya sendiri dengan wajah marah.
“Apa yang Ayah bilang pada orang itu!! Apa?!” bentak Dennis tak sabar.
Ayah malah tertawa lagi, “Orang itu menyuruh aku bicara baik-baik padamu, agar kau mau menjaga putrinya. Cih! Memangnya aku ini apa? Aku tidak mau mengurusi kisah cintamu, tidak akan! Lalu kubohongi dia, aku membanggakan kau di depannya. Kuceritakan semua tentang masa lalumu, tentang semua teman-teman wanitamu yang kau campakkan satu-persatu.”
“Hahaha.” Ayah tertawa sadis, “seharusnya kau lihat tampang pucat
orang itu, dia sampai keringat dingin mendengar semua ceritaku. Lalu
tiba-tiba saja otak cerdasku ini berfungsi, aku mengajukan syarat padanya.” “Syarat? Syarat apa!!”
“Aku bilang..........”

Aku tidak jamin putraku itu bisa memperlakukan putrimu dengan baik. Bukan salahku....dia memang dari dulu tidak pernah berubah, hobi gonta-ganti pacar lalu mencampakkan mereka satu-persatu sesuka hatinya. Dasar anak muda....Aku bahkan pernah dengar dia bicara dengan temannya, dia itu sepertinya memacari putrimu hanya demi uang. Tapi kalau kau memang peduli pada putrimu, yaaa.....rasanya tidak berat bagimu untuk keluar uang sedikit...”

Papa Ann menunduk, kecewa mendengar semua cerita tadi. Hatinya sakit mencemaskan Ann. “Berapa uang yang kau mau?”
“Aku? Aku mah tidak mau, aku ini orang baik-baik. Tapi putraku itu memang kurang ajar,  dia baru bisa berhenti menemui anakmu  kalau tujuannya sudah tercapai. Yaaa...untuk
ukuran orang seperti dia sih...rasanya 10 juta sudah cukup.”

Papa mengeluarkan selembar cek dari balik jas mahalnya.

“Ehhh.... tunggu, aku tiba-tiba tidak yakin dia mau 10 juta. Rasanya itu tidak bisa memuaskan dia. Tambahkan lagi jadi 15 juta! Tidak....tidak....20 juta mungkin lebih baik! Kau tahu anak muda zaman sekarang kan? Paling suka berfoya-foya, uang sebanyak itu bisa habis dalam waktu yang singkat.”
“Aku mengerti.” Papa tidak memasukkan jumlah uang yang dimintanya ke dalam lembaran cek itu, ia malah mengosongkannya. Ia membubuhkan tanda tangan dan kemudian menyerahkannya pada Ayah Dennis.
Ayah Dennis tercengang tak percaya melihat blank check yang disodorkan padanya,
cepat-cepat ia menyambarnya.
“Kau memang orang yang murah hati! Putrimu pasti sangat beruntung! Baik...baik...aku jamin dengan uang sebanyak ini pasti Dennis  tidak akan lagi mendekati putrimu. Kau boleh tenang sekarang.”
---

 “A...apa? KENAPA AYAH BILANG ITU PADANYA!!!” Dennis naik pitam, ia kalap dan menyerbu ke arahnya. Direngutnya kerah baju Ayah dengan kasar, “Kenapa ayah berbuat ini padaku!!”
“Dennis! Kau ini apa-apaan!! Dennis, lepaskan!” Vincent meraih tubuh sahabatnya dan menariknya sekuat tenaga, “Kau sudah gila ya? Lepaskan ayahmu!!”

Ayah Dennis mengap-mengap mencoba menghirup udara dengan rakus saat Vincent berhasil menarik Dennis jauh-jauh. Ia melotot marah pada putranya, “ANAK BRENGSEK! KAU MAU MEMBUNUH AYAHMU SENDIRI ?”

Dennis mendorong Vincent kemudian kembali menerjang Ayahnya. Lalu secepat kilat. Direbutnya blank check itu dari tangan Ayah. Ia merobek-robek lembaran cek berharga
itu dan membuang serpihan-serpihannya hingga terbang berjatuhan di depan mata Ayahnya.
“Kau....APA YANG KAU LAKUKAN?!!!”


“Aku tidak mau cek ini, dan aku tidak mau menerima apa-apa dari siapapun juga kalau hanya untuk menyuruhku menjauhi Ann!”
“APA MAKSUDMU?!! KAU SUDAH GILA! SINTING!!!” Ayah berlutut dan  memungut-mungut serpihan kertasnya  sambil terus mengutuk nama Dennis.  Dennis terengah-engah, bahunya turun-naik melihat kegilaan ayahnya yang begitu diperbudak oleh uang. Darah seakan-akan naik ke kepalanya saat ia mengetahui apa yang sudah dikatakan ayahnya pada Papa Ann. Semuanya hancur berantakan! Ia benar-benar tidak tahan lagi! Rasanya ia ingin berteriak atau bahkan kalau perlu menghantam kepalanya ke tembok.

Tiba-tiba Dennis berlari keluar meninggalkan mereka semua. Berlari ke mana pun ia mau, hingga nafasnya habis pun ia tidak peduli...biar mampus sekalian....

Vincent berlari kencang mengejar Dennis sambil terus meneriaki namanya. Ia baru berhasil menangkapnya saat Dennis jatuh tersungkur kehabisan tenaga.

“Kenapa kau lakukan itu, Dennis? Kenapa? Kenapa kau merobek cek itu? Cek itu bisa menolongmu dari semua hutang!” Vincent menguncang-guncang bahu Dennis.
“Pergi!!! Aku tidak mau mendengar semua kata-katamu lagi!!” Dennis mendorongnya.
“Apa-apaan kau ini?! Aku tidak mengerti,  bukankah semua rencanamu sudah tercapai? Bahkan jauh lebih sempurna dari yang kita mau!”
“Rencana....” Dennis mengerut keningnya kemudian tertawa pahit sekeras-kerasnya.

Rencananya memang sudah berjalan mulus. Terlalu mulus malahan. Ia tidak pernah mengikutsertakan ayahnya dalam rencana itu, tapi siapa sangka justru ayahnya-lah yang
paling berjasa mewujudkan semua rencananya. Ironis, itu semua terjadi justru saat
Dennis tidak berniat lagi. Ia tidak mau menipu Ann lagi atau pun merampok uang  keluarganya dengan cara kotor.
“Dennis?”
“Aku tidak mau menjalankan semua rencanaku itu, Vincent. Aku tidak mau! Aku tidak
mau....”
“Tapi kenapa?”

Tatapan Dennis terlihat kosong. Wajahnya menandai betapa terluka hatinya saat ini.
“Kau.....kau jatuh cinta pada gadis itu?” Vincent menelan ludah, “astaga.”


“Aku tidak mau menyakitinya, Vincent. Aku benar-benar tidak mau....”
“Tapi....tapi kalau hutang itu tidak lunas, kau...kau bisa dihabisi mereka.”
“Aku tidak peduli! Mati pun aku tidak peduli!”

Vincent kembali menelan ludahnya, perih. Perlahan-lahan ia menghampiri Dennis dan duduk lemah di sampingnya. Untuk pertama kalinya ia menatap sosok seorang Dennis yang berbeda, ia bukan lagi Dennis yang dulu, yang bisa dengan santai menyakiti siapapun yang ia mau. Yang begitu arogan, tanpa perasaan dan bisa melepaskan diri dari semua kesalahannya hanya dengan uang dan kekuasaannya.

Tapi Dennis yang ada di hadapannya ini sudah menjadi sosok yang lemah, yang rela mengorbankan dirinya sendiri hanya demi perasaannya pada seorang gadis.

“Kenapa kau jadi begini, Dennis? Kenapa kau harus jatuh cinta pada gadis itu? Kenapa?”

Ann sudah meruntuhkan tembok-tembok keangkuhannya.
***

Jam 23.46 malam........
Ann merasa ada yang bergetar di dekat bantalnya saat ia tertidur lelap. Dengan mata sayup-sayup ia mencoba meraih handphone-nya, ia mengeluh panjang saat melihat dilayar HPnya tertera nama DëNn¡S (“,) yang berkedip-kedip. Itu nomor telepon dari wartel, Dennis tadi memasukkannya ke phonebook Ann karena dia bilang dia akan
sering-sering telepon dari wartel itu.
“Hmm???” jawab Ann ngantuk berat.
“Kau sudah tidur?”
“Hm.....” Ann mengucek-ngucek matanya, “ada apa malam-malam begini...”
“Aku akan datang sebentar ke rumahmu. Sebentar saja.”
“Jam 11 malam begini? Orang-orang di rumahku sudah tidur.”
“Jangan bangunkan siapa-siapa. Aku hanya mau menemuimu sebentar saja. “
“Tapi Dennis....malam-malam begini....” Ann memeluk gulingnya erat-erat, mencoba melawan hawa AC yang terlampau dingin
di kamarnya, “aku sudah tidur. Aku ngantuk sekali. Kau juga sebaiknya tidur saja, kenapa jam segini masih berkeliaran di wartel?”
“Aku kan tidak punya HP, ya telponnya lewat wartel donk. Aku ke rumahmu sekarang juga ya. Kau tunggu di depan gerbang rumahmu setengah jam lagi.”
”Dennis....tunggu...eh, tunggu!”

Setengah jam kemudian tepatnya pukul 00.24, Ann berdiri mematung di depan gerbang rumahnya yang gelap. Ia menyusupkan kedua telapak tangannya ke dalam saku jaket yang menutupi piyama tidurnya, udara malam begini tidak terlalu bersahabat. Tiba-tiba saja ia mendengar suara langkah kaki, ia menoleh dan melihat Dennis datang terburu-buru padanya. Akhirnya....

“Ada apa malam-malam begini? Aku bisa diomeli.”
“Aku hanya mau mengembalikan ini.”

Ann mengerut kening melihat payung biru-nya yang sudah ditemukan Dennis, “Tengah malam datang ke sini hanya untuk mengembalikan payung? Kau sudah gila ya?”
“Katanya ini payung kesayanganmu. Aku tadi sudah mati-matian mengorek tempat-tempah sampah di sekitar rumahku hanya untuk mencarinya. Ini sudah kubersihkan.”
“Iya, tapi kan....” Ann kehilangan kata-kata yang tepat untuk mencela kebodohan Dennis, tapi dalam lubuk hatinya yang terdalam ia sebenarnya merasa terharu, “tapi kau tidak perlu sampai tengah malam begini mengembalikan payungku. Apa kau tahu kau ini sudah mengganggu tidurku? Aku bisa masuk angin karena menunggumu di sini. Kau juga tolol, kenapa bukan besok aja kembaliinnya?”
“Besok tidak bisa, karena aku kan harus pergi ke taman itu.”
”Buat apa?”
“Karena aku pasti merindukanmu. Kau lupa? Kita sudah buat perjanjian, kalau di antara kita ada yang merasa rindu kita harus pergi ke taman itu. Besok kau sekolah sampai sorekan? Aku pasti jadi rindu setengah mati.” Dennis tertawa geli.

Ann mengambil payung itu dari tangan Dennis, lalu tersenyum kecil melihat paying kenangannya itu. Andaikan saja Dennis tahu kenapa Ann begitu menyayangi payung itu, apakah dia juga akan tetap susah payah mencarinya? Ann mencermati pakaian Dennis yang lusuh dan penuh keringat, juga pada sepatunya yang kotor karena lumpur, tampaknya cowo itu memang sudah benar-benar ngotot mencari payung itu.
“Sori ya, aku jadi mengganggu tidurmu. Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu.”
“Eh Dennis, tunggu.”
“Hm? Ada apa lagi?”
”Thank you ya,” Ann mengibas-ngibas payung itu di depan wajah Dennis sambil tersenyum, “lain kali jangan ulangi lagi, aku memang marah besar tadi siang , tapi kau tidak perlu buang-buang energi hanya untuk mencari barang yang...” Ann menunduk menatap payung itu. Payung Josh...payung bersejarahnya....”barang yang tinggal kenangan ini...Mungkin aku tidak terlalu membutuhkannya lagi.”

Dennis mendekatinya, “Tapi ini kan barang kesayanganmu. Aku tidak mengerti kenapa payung butut ini bisa sangat berharga bagimu, tapi aku pasti akan selalu menjaga semua yang berharga itu.”
“Oh begitu ya?” Ann salah tingkah. Angin tengah malam menghembus wajahnya kencang.
“Sebelum aku datang, tadi kau tidur memimpikan siapa?”
“Tidak mimpi apa-apa...”

Tadi aku mimpi dikejar-kejar seekor babi raksasa.

“Kalau begitu nanti tidurnya mimpiin aku ya.” Dennis membungkuk sedikit dan mengecup kening Ann, “selamat malam, jangan lupa nanti mimpi yang indah ya. Aku pulang dulu.”

Setelah Dennis pergi, Ann mengendap-ngendap masuk ke dalam kamarnya lagi. Ia meletakkan payung biru Josh itu di sebuah kotak yang dibungkus kertas kado lucu, kotak kadus ukuran besar itu dipenuhi barang-barang Ann yang sudah dikumpulkannya sejak kecil. Ada foto-fotonya waktu masih bayi, buku curhat zaman SMP-nya, beberapa boneka lucunya yang sudah usang, dan kertas-kertas penuh tulisan lainnya. Ann meletakkan payung itu di dalam kotak, kemudian menutupnya.

Ia menghela nafas panjang merasa berat dan lega sekaligus.
Payung Josh tidak pernah masuk ke dalam kotak ini sebelumnya.

Kemudian ia menatap tulisan ‘Barang-Barang Kenangan’ yang tertera dengan jelas diatas tutupan kotak itu. Ia tersenyum getir dalam hatinya, berharap payung itu dan juga Josh mulai saat ini bisa selalu ada didalam kenangannya. Hanya di dalam kenangannya saja....
Payung merah Dennis ada di atas mejanya.
***

Pagi yang cerah menaungi seisi sekolahan, seolah-olah menyemangati para panitia OSIS yang tengah sibuk mempersiapkan panggung untuk acara pelepasan Ketua OSIS yang akan dilaksanakan siang ini. Acara ini dibarengi classmeeting dan acara-acara bazaar kecil-kecilan.

Murid-murid tentu saja sangat antusias menyambutnya, lumayan untuk sekedar refreshing dari kepenatan mereka di sekolah.

Emma, ketua OSIS yang masa jabatannya tinggal beberapa menit lagi, hanya duduk diam tanpa menghiraukan teman-temannya yang sibuk menata panggung. Ia juga tidak peduli saat hitungan akhir dari pemilihan suara sudah sampai di tangan panitia. Hanya ada 4 calon, dan pemenangnya adalah siswi kelas 2-C yang bernama Elva Indriani.

Tapi Emma peduli amat....
“Emma, kau sudah menyusun pidatomu kan?” tanya Yasmin, “kau keliatan tidak bergairah...kenapa? Sedih ya udah mau lepasin jabatan ketua?”
“Aahh...itu mah bukan apa-apa.” Emma membuang pandangan matanya ke tempat lain. Sekilas ia melihat Ann sedang membantu teman sekelasnya mendirikan stand minuman.

Tiba-tiba hatinya terbakar.

“Loh, Emma, mau kemana?” Yasmin kebingungan melihat Emma tiba-tiba pergi dari tempatnya.

Dengan langkah terburu-buru Emma menghampiri tempat Ann dan temannya. Ann kelihatan kaget, lebih kaget lagi saat Emma tiba-tiba dengan kasar menarik lengannya dan membawanya pergi dari situ.

Emma mendorong Ann masuk ke dalam kelas yang kosong, kemudian ia menutup pintu kelas dengan satu bantingan keras. Ann mengelus-ngelus lengan kirinya yang sakit akibat tarikan Emma.


“Emma, ada apa?” ini pertama kalinya Ann bicara padanya, tapi sepertinya situasinya tidak terlalu mendukung.
“Aku sudah tahu semuanya!”

Ann terlonjak kaget , “Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura lagi!!! Singkirkan wajah innocent-mu itu dari depan mataku! Aku sudah tahu semuanya, Ann! Kau pacaran dengan Dennis! Kau me rebutnya dariku!!” teriak Emma histeris.

Ternyata dia sudah tahu...

Ann merasa ciut, seolah-olah ia telah melakukan sesuatu yang hina pada teman baiknya sendiri. Tapi ia baru ingat apa tujuan utamanya. “Aku memang pacaran dengannya.”
“Kenapa kau lakukan itu padaku, Ann? Kenapa kau tega? Kau adalah teman baikku, tapi di belakangku ternyata kau seperti serigala berbulu domba, kau menusukku dari belakang!! Kau....kau benar-benar brengsek!!”
“Aku terpaksa melakukannya, Emma...”
“Apa katamu? Terpaksa? Terpaksa apaan!! Dasar munafik, bilang aja kalau dari dulu kau sebenarnya juga naksir Dennis!! Kau memang licik, di depanku kau terang-terangan bilang kau tidak suka Dennis, tapi di belakangku kau genit-genitan sama dia!! Setelah sekian lama berteman denganmu, aku baru tahu kalau kau ternyata cewe murahan!!”

Kalau saja Ann tidak menganggap Emma temannya, mungkin ia sudah menamparnya sejak tadi.
“Aku murahan? Bagaimana dengan dirimu sendiri? Kau merayu Dennis padahal kau sudah punya Josh sekarang!”
----

Sementara itu di lapangan basket...
“Hey Josh, three on three nanti kita lawan anak kelas 2-A dulu. Gampang banget tuh, yang jago paling cuma si Edi doank!” seru Rico pada Josh di pinggir lapangan. Josh sedang melakukan pemanasan untuk classmeeting siang ini, “Kau lihat Emma?”
“Paling lagi siapin pidato pelepasannya. Kenapa?”
“Ya mau nyuruh dia dateng donk, kasih semangat. Aku kan baru bisa jago maennya kalau ada dia yang nonton.”
“Alaaahhh....gombal!”
Josh tertawa kecil, lalu berlari-lari
meninggalkan lapangan. Ia langsung mendatangi
ruang OSIS dan menyapa Yasmin, “Min, Emma mana?”
“Wah....gak tau deh, tadi dia kabur ke depan
tuh. Kalau ketemu dia suruh ke sini ya,
pidatonya belum selesai!”

Josh mendatangi stand salah satu teman sekelas Ann dan menanyakan apa dia melihat Emma. Teman Ann langsung menjawab kalau Emma baru saja masuk ke kelas 3 IPA yang kosong bersama dengan Ann. Josh tersenyum dan mengucapkan terima kasih
padanya. Kemudian sambil bersiul-siul kecil ia mendatangi kelas yang pintunya tertutup itu.

Baru saja ia mau membuka pintu, tiba-tiba ia mendengar ada suara pertengkaran di dalam sana. Suara Emma dan Ann.....
-------------

“Alesan! Kau selalu menyeret-nyeret Josh ke dalam masalah ini! Memangnya kenapa kalau aku bergaul sama cowo lain, bilang aja kau ini sirik! Aku selalu punya banyak pacar sedangkan kau tidak pernah! Kau tidak suka kan? Lalu kau rebut Dennis dariku! Kau ini benar-benar memalukan....”
”Bukan itu alasanku! Kalau bicara pake otak! Apa kau sadar apa yang baru saja kauucapkan tadi? Kau yang seharusnya malu pada dirimu sendiri. Kau sudah punya pacar tapi masih saja kegatelan cari cowo lain! Apa kau tidak malu pada Josh? Dia itu terlalu baik untukmu! Kau malah mau membuangnya demi cowo lain. Kalau kau bilang aku
murahan, lalu kau itu apa?!”
“Memang kenapa kalau aku bosan dengan Josh?!! Suka-suka aku!” nafas Emma turun naik menahan marah, tiba-tiba saja otaknya bekerja keras dan ia menemukan alasan yang masuk akal untuk menyerang Ann, “aku mengerti sekarang. Kau....kau suka Josh kan? Dari dulu kau memang selalu menyukai Josh! Sekarang aku mengerti kenapa kau selalu membelanya, melindunginya dan mati-matian menyuruhku tetap bersamanya. Kau memang menyukainya!”

Ann hanya bisa terdiam, ia tidak tahu harus bagaimana menimpali ucapan Emma. Serangan Emma tadi terlalu telak.

“Dan Dennis.....kau tidak mau aku dekat-dekat dengan Dennis karena kau takut aku bakal memutusi Josh demi dia. Lalu kau merebut Dennis dariku, kau pacaran dengannya agar aku bisa terus bersama Josh! Kau pacaran dengan Dennis hanya untuk melindungi Josh?!”
Emma tercekat dengan pemikirannya sendiri. Kini ia baru mengerti maksud Ann yang sesungguhnya. Ia tidak tahu harus marah atau malu saat ini.

“Katakan padaku, apa semua itu benar? Ann! Apa semua itu benar!” jerit Emma.
“Ya, benar.” Ann menatapnya pilu, “terserah bagaimana kau mau membenciku, tapi sedikitpun aku tidak mau menyakitimu. Aku juga tidak mau kau menyakiti Josh. Aku tahu kau akan memutusinya demi Dennis, maka aku bertekad mencegah semua itu dengan cara..”

”CUKUP!!”

Ann dan Emma sama-sama terlonjak kaget mendengar suara itu. Mereka kontan menoleh ke arah pintu kelas yang ternyata sejak tadi sudah terbuka. Josh berdiri di sana. Wajah tampannya menampakkan rasa sakit dan marah yang memuncak di saat bersamaan. Ia menatap
mereka satu persatu dengan mata memerah, nafasnya memburu seolah-olah ia ingin melampiaskan kemarahannya dengan apapun
yang ada di dekatnya sekarang. Tangannya mengepal keras.
“Josh...” Emma bergidik ngeri, “percakapan tadi....aku...aku dan Ann cuma...”
“Diam!! Aku sudah cukup mendengar semuanya....”
“Josh, dengarkan aku...”
“Kau juga diam, Ann!!!”
Ann terpaku di tempatnya , tak berkutik. Baru kali ini ia melihat Josh marah besar. Cowo itu seolah-olah menjelma menjadi orang asing yang tidak dikenalnya.

Tiba-tiba Josh menatap Ann tajam, “Tolong tinggalkan kami, Ann.”

Emma menoleh pada Ann, berharap ia tidak menuruti perintah Josh.

“Tolong, Ann....aku mohon tinggalkan kami berdua sekarang.”

Ann menunduk tidak berdaya, “Baik.”

Ia tidak menghiraukan wajah Emma yang pucat pasi menatapnya. Ann berjalan lunglai meninggalkan kelas kosong itu, meninggalkan
kedua sahabatnya di dalam sana. Sebenarnya ia ingin berusaha menyakinkan Josh kalau apa yang baru saja didengarnya tidaklah seburuk perkiraannya, tapi tampaknya semua itu sudah tidak ada gunanya.

Josh sudah tahu semuanya, dan Emma terpaksa menghadapinya seorang diri. Ann tidak tega, tapi apa yang bisa ia perbuat?

Aku ingin mencegah Josh sakit hati, tapi ternyata tanpa kucegah pun ia sudah sakit hati. Bahkan lebih dalam....

Tiba-tiba saja ia dihantui rasa bersalah.

Apakah semua ini salahku? Seandainya aku tidak mencampuri hubungan Emma dan Dennis, apakah semua ini mungkin saja tidak akan terjadi?

Ia ragu, kalau ia tidak pacaran dengan Dennis, Emma akan mendapatkan cowo itu dan menyakiti Josh. Tapi nyatanya setelah Emma kehilangan Dennis pun, Josh tetap saja harus sakit hati karena mendengar pertengkaran mereka tadi. Bahkan mngkin sakit hati yang dideritanya jauh lebih dalam....

Ann merasa sekujur tubuhnya kaku, ia tidak lagi bergairah mengi
kuti acara sekolahnya itu. Gerombolan orang yang memadati sudut
panggung, orang-orang penjaga stand yang sibuk, murid-murid yang asik memberi dukungan pada calon ketua pilihan mereka......kepala Ann rasanya mau pecah. Ia mau pulang saja. Peristiwa barusan memang membuat Ann pulang sekolah lebih awal. Dalam perjalanan
pulangnya Ann baru sadar hari ini tanggal 14 Februari, hari Valentine. Seharusnya menjadi hari yang istimewa. Setiap tahun ia selalu tukeran coklat dengan Emma tapi sekarang jangankan coklat, tukeran senyum pun rasanya sudah sangat tidak mungkin.

Ann pulang ke rumahnya dengan gontai. Ia tidak menghiraukan pertanyaan Papa kenapa ia pulang lebih awal, ia langsung ma suk ke kamar tanpa basa-basi.

Kira-kira apa yang terjadi pada Emma dan Josh? Aku benar-benar tidak mau mereka putus, Josh pasti akan sedih sekali..

Tiba-tiba HPnya bergetar. Ann mengamati layar HPnya, nama DëNn¡S (“,) berkedip-kedip di sana.

Lagi-lagi dia....

“Halo?”
“Halo, Ann. Selamat hari valentine ya...”
“Telat, ini sudah jam 11 siang. Seharusnya kau ucapin dari jam 12 malam kemarin.”
“Loh? Bukannya kemaren aku ke rumahmu tengah malam? Kau lupa, itu berarti sudah tanggal 14. Akulah orang pertama yang memberimu ciuman mesraaaaa......HAHAHAHA.” Dennis tertawa terbahak-bahak, “maunya sih cium dibibir.......”
“Dasar maniak!” tapi diam-diam Ann tersenyum. Benar juga, kemarin malam saat Dennis datang ke rumahnya itu sebenarnya sudah
tanggal 14. Dennis sudah memberinya satu ciuman di kening.

“Hari ini aku dapat coklat tidak?”

Ann baru ingat ia sama sekali tidak menyiapkan coklat atau hadiah apapun untuk Dennis di hari Valentine ini. Cepat-cepat ia mengingat isi kulkasnya, apa masih ada coklat yang tersisa? Oh ya, masih ada!
“Ada...ada....nanti kukasih deh.”
“Wah asik!!!!” Dennis bersorak girang disana, “Hey, kau mau aku melakukan apa untukmu di hari valentine ini? Nanti aku akan memenuhi semua kemauanmu.”
“Hm....aku mau...” Ann berpikir sebentar, “aku mau dikasih mawar, tapi kali ini jangan yang sudah hampir layu!”
”Lalu?”
”Lalu.....aku mau liat matahari terbenam.”
Dennis terkekeh, “Oke....oke...lalu?”
”Hm....lalu....lalu apa ya?” tiba-tiba Ann teringat sesuatu, “oh ya, Dennis, itu...hm...”
”Ada apa?”
”Hutang ayahmu itu....apa sudah dilunasi?”

Dennis tidak bersuara. Ann harus menunggu sebentar sampai terdengar suara Dennis menjawabnya dengan mantap , “Sudah beres, kau jangan khawatir.”
“Bagaimana caranya?”
”Aku pinjam pada seseorang.”
“Oh begitu....syukurlah.”
“....................” (sunyi)
“Dennis..”
“Ya?”
“Apa kau hari ini benar-benar pergi ke taman itu?”
“Tentu, aku kan sudah bilang, hari ini kau sekolah jadi aku pasti akan merindukanmu. Makanya aku pergi ke sana.”
“Tapi sekarang aku sudah pulang sekolah. Hari ini cuma ada classmeeting.”
“Oh.....asik donk?”
“Iya.” Ann mengigit bibirnya, ragu-ragu sejenak. “jadi aku hari ini gak ada kerjaan.....”
“Memangnya teman-temanmu tidak ada acara? Biasanya kan anak sekolahan paling getol rayain Valentine. Hari keramat katanya!”
“Tidak juga, hari ini aku benar-benar tidak ada acara.” Ann menegaskan kalimat terakhirnya. Hatinya dongkol karena Dennis tidak mengerti juga, “kau dengar? Aku tidak ada acara.”
“Terus gimana donk? Bete banget kalo di rumah.”
“Yaaa.....mau gimana lagi...”
“Pergi ke taman itu lagi yuk!”

Akhirnya........dari tadi kek!

“Kau mau liat matahari terbenam kan? Kita ke danau itu lagi ya! Nanti aku akan membelikan mawar yang masih mekar-mekar untukmu!”
“Hm...ya sudah, terserah deh. Kita ketemuan di sana aja ya, jam setengah lima.” Jawab Ann sok cool.
“Oke.”

Ann mematikan HP-nya. Diam beberapa detik, kemudian tertawa terkikik-kikik. Hatinya girang bukan main.
----------

Jam 3....

Ann mengobrak-abrik seisi lemari bajunya, panik mencari baju yang paling pas untuk menemui Dennis nanti. Padahal sebelumnya
ia tidak pernah peduli, jangankan memusingkan soal baju apa yang harus dipakai.....soal pergi kemana pun ia tidak pernah peduli. Tapi kenapa sekarang ia mau repot-repot berdandan yang rapi untuk Dennis? Dan kenapa juga ia ingin sekali Dennis me ngajaknya pergi ke tempat itu lagi?

Ann mengaca, tersenyum-senyum sendiri melihat dirinya mencoba-coba baju. Setelah mendapat baju yang paling pas (butuh setengah jam untuk menyakinkan dirinya sendiri), ia cepat-cepat lari ke dalam kamar mandinya. Harus cepat-cepat mandi, aku tidak boleh terlambat

“Duuhh, anak Papa rapi amat. Mau ke mana?”
Papa meletakkan koran sorenya saat ia melihat Ann turun dari tangga.
“Mau pergi sama teman.”
“Sama Ria dan Priska ya? Pasti mau ke mal, mentang-mentang hari Valentine” Papa tersenyum lagi.
“Bukan.”
“Sama Emma?”
“Bukan.” Ann tersenyum manis.
“Lalu?”
“Sama pacar aku, namanya Dennis, Pa. Kapan-kapan aku suruh ke sini ya, nanti aku kenalin.”

Papa langsung diam tak bergeming. Wajahnya yang cerah tiba-tiba saja berubah masam. Ia bangkit berdiri dari sofa empuknya dan datang menghampiri Ann. Entah apa yang harus ia katakan pada putrinya itu.

“Ann, kamu masih berhubungan dengan anak bernama Dennis itu?”
“Memangnya kenapa, Pa?”
“Papa.....”
”Pa, ada apa? Kenapa bingung begitu? Bukankah Papa sudah tahu? Itu loh....cowo yang waktu itu anterin aku pulang.”
“Iya, Papa tahu. Papa sudah tanya Priska, malam itu...kamu tidak menginap di rumah Priska kan?”

Ann tersentak kaget, merasa malu karena Papa sudah tahu semuanya tapi tetap diam. Ann benar-benar merasa bersalah sudah membohonginya.

“Papa tidak bermaksud menyelidikimu. Papa tahu kamu anak yang baik, meskipun kamu membohongi Papa nginap di rumah Priska pada
hal kamu nginap di tempat lain...Papa tetap percaya sama kamu. Papa yakin kamu tidak melakukan hal yang buruk malam itu. Tapi anak yang bernama Dennis itu.....” Papa menatapnya, berharap putrinya bisa tabah saat menerima semua penjelasannya. Bagaimanapun juga ia harus tahu. “ada yang tidak beres dengannya. Papa mau kamu berhenti menemui dia.”
“Kenapa?”
“Dia itu bukan anak baik-baik.”
“Iya, aku tahu. Tapi dia sebenarnya baik, Papa harus mencoba mengenalnya dulu.”
“Papa sudah coba mengenalnya, Ann. Kema
rin malam....Papa datang ke rumahnya.”
“A....apa?” Ann semakin tidak mengerti, “kenapa tidak bilang-bilang aku?”
“Papa tahu mungkin ini kedengarannya konyol, tapi Papa melakukan semua ini karena tidak mau melihatmu terluka. Sejak kamu berhubungan dengan anak bernama Dennis itu, kamu tiba-tiba saja berubah menjadi sosok lain yang tidak bisa dimengerti. Seolah-olah kamu menyimpan banyak rahasia dari Papa. Kamu jadi suka pulang malam, bahkan tidak jelas menginap di mana. Bahkan wajahmu pernah terluka.”
“Pa, wajahku itu..”
“Jatuh di tangga dan membentur tiang? Ayo lah, Ann....Papa tidak sebodoh itu. Luka itu karena perkelahian kan”
             
Ann menunduk diam.

“Maafkan Papa, Ann, tapi kemarin itu Papa datang ke rumah Dennis hanya untuk menemuinya dan berbicara dengannya. Mungkin saja dia memang anak yang baik, mungkin saja Papa yang salah. Tapi waktu itu dia tidak ada di rumah, yang ada justru ayahnya.”

Ann mendengarnya baik-baik. Ia merasa tidak enak, seolah-olah se
suatu yang buruk telah terjadi.

Tapi apa?

“Ayahnya menceritakan semua masa lalu Dennis, tidak ada satupun yang bisa dibanggakan.”
“Maksud Papa?”

Papa memegang kedua pundak Ann erat-erat, seakan-akan itu bisa menguatkan putrinya,

“Papa juga tidak suka menyampaikan ini
padamu, tapi kamu harus tahu semuanya sebelum kamu semakin disakiti nantinya. Ann, anak itu menjalin hubungan denganmu hanya karena ingin memanfaatkanmu. Memanfaatkan uangmu terutama....”
“Apa? Itu tidak mungkin, Pa. Dennis bukan orang seperti itu.”
”Tapi ayahnya sendiri yang bilang. Dia bahkan pernah mendengar Dennis bicara seperti itu pada teman-temannya. Dia hanya mengincar uangmu...”

Nafas Ann tercekat. Meskipun ia bersikeras tidak mau mempercayai semua itu mentah-mentah, tapi hatinya sekonyong-konyong membawanya kembali untuk melihat dengan jelas semua permasalahan Dennis. Bukankah dia memang sedang terjerat hutang?
Bukankah percakapan mereka tadi, Dennis bilang dia sudah mendapat uang untuk melunasi hutangnya?

Samar-samar Ann teringat dengan percakapan mereka....
”Hutang ayahmu itu....apa sudah dilunasi?”
“Sudah beres, kau jangan khawatir.”
“Bagaimana caranya?”
”Aku pinjam pada seseorang.”

Aku pinjam seseorang....aku pinjam seseorang......AKU PINJAM SESEORANG........

kata-kata itu terngiang-ngiang di telinga Ann. Berulang-ulang, menampar Ann dengan keras agar tersadar dari semua ketololannya. Ann merasa sekujur tubuhnya dalam sekejap terasa dingin, membeku. Jantungnya rasanya berhenti berdetak.

Ia berdiri kaku di tempatnya, siap untuk hancur.
“Benarkah itu?” suaranya bergetar.
“Ayahnya Dennis menceritakan pada Papa, Ann, Dennis itu memacarimu hanya demi uang. Ia tidak sungguh-sungguh mencintaimu. Bahkan...” Papa tidak tahu apa dia harus
melanjutkan ucapannya.

“Bahkan apa...?”
“Bahkan....dia meminta uang dari Papa. Katanya kalau uang itu sudah ada di tangannya, semua akan beres, Dennis tidak akan mendekati
mu lagi karena tuju annya sudah tercapai. Papa memberinya uang...”
“Jutaan?” Ann merasa jantungnya semakin sakit.
“Iya ...ayahnya minta...minta 10 juta, lalu dinaikkan. Papa tidak mengerti, Papa hanya memberinya blank check. Lalu ayahnya bilang
itu sudah lebih dari cukup, ia berani jamin anaknya tidak akan lagi mendekatimu lagi.”
“Tidak....tidak mungkin....”
“Ann, kamu harus mengerti, Papa melakukan semua ini demi kebaikanmu. Papa tidak bermaksud mencampuri urusanmu, Papa hanya...”

Bukan, bukan perbuatan Papa yang memukul Ann dengan telak. Tapi kenyataan yang menyakitkan tentang Dennis. Kebenaran tentang Dennis. Dia hanya mendekatiku demi uang. Dia hanya mengincar uangku.....Dia sudah merencanakan semua ini sejak awal, sejak pertemuan pertama kami. Di diskotik itu, direstoran itu.....semua adalah bagian dari rencana besarnya. Aku hanyalah bagian kecil dari rencananya. Hutang-hutang itu hanya bualannya.........semua sikap baiknya hanya kedok untuk menipuku. Ia tidak pernah mencintaiku. Sedikit pun tidak pernah....

Ada yang hancur, hancur berkeping-keping dan menimbulkan luka yang dalam di sana. Ann sadar, bukan hanya hatinya yang hancur. Tapi seluruh dirinya...

Butuh waktu yang cukup lama untuk membuat Ann sadar kalau ia sudah mulai jatuh cinta pada Dennis, tapi butuh waktu yang sa
ngat singkat untuk merenggut kebahagiannya itu....... dan mencampakkannya ke jurang yang paling dalam.
***

Dennis memanjat tembok tinggi yang menutupi sekeliling taman itu. Lalu ia melompat turun, berguling sambil menahan sakit.

Sial!!

ia menyingkirkan ranting-ranting pohon yang menusuk lengannya. Darah merembes dari lukanya tapi sedikitpun ia tidak merasa sakit. Cepat-cepat ia menyekah darahnya dengan sapu tangan, kemudian mengambil sebuket mawar merah yang tadi sudah dilemparnya masuk, ia menepuk-nepuk debu yang mengotori kelopak mawar yang indah itu dengan lembut. Dennis tersenyum kecil.

Ini sempurna, Ann pasti suka!
Ia berlari kecil menuju ke danau. Sampai di sana ia tidak melihat Ann.

Aneh, biasanya Ann paling tidak suka telat. Tapi Dennis duduk menunggu di tepi danau itu, sambil sesekali tersenyum membayangkan reaksi Ann saat menerima mawarnya. Ia juga membayangkan saat-saat indah di mana mereka akan bersama-sama menikmati matahari terbenam di danau ini.

Rasanya Dennis ingin melompat saat itu juga, menari-nari saking senangnya. Sedikitpun ia tidak peduli meskipun nanti malam ia harus menghadapi amukan Bos lagi, mungkin yang terparah dan mungkin yang terakhir. Mungkin juga ia tidak akan selamat dihabisi mereka.

Tapi Dennis tidak peduli, yang penting sore ini bisa ia habiskan bersama Ann.

Dennis memang belum menemukan jalan keluar untuk melunasi hutangnya. Ia sudah merobek cek pemberian Papa Ann, ia juga tidak mau mengemis-ngemis pada orang lain untuk meminjaminya uang. Ia tidak punya uang untuk melunasi hutang ayahnya. Ia tidak peduli. Sedikitpun tidak peduli....

Aku tidak akan takut menghadapi apapun, aku akan lebih takut kalau aku tidak bisa bersama Ann lagi.

Dan Dennis duduk setia menunggunya..........

Setengah jam berlalu....

Hatinya mulai gundah, kenapa Ann belum datang juga? Apa mungkin ia terlambat sebentar? Ia yakin Ann pasti datang.

Setengah jam lagi..........

Dennis duduk membisu. Pemandangan yang indah sudah mulai membentang di depan matanya. Matahari terbenam menampakkan
sinar merahnya yang menyapu seisi danau dengan begitu indah. Luar biasa. Dennis belum pernah menikmati matahari terbenam dengan sungguh-sungguh seperti yang ia lakukan saat ini. Sejak bersama Ann ia mulai belajar menikmati hal-hal kecil seperti itu.

Tapi di mana Ann?

Setengah jam pun kembali menemaninya......

Langit mulai gelap, menutupi taman yang sepi itu dengan suasana yang kelam. Dennis bangun dari duduknya dengan kecewa, buket mawar yang terus digengamnya itu tidak lagi menarik hatinya. Ia terus bertanya dalam hati, kenapa Ann tidak datang? Apa ia
lupa? Apa ia tiba-tiba punya rencana lain? Atau mungkin dia ada keperluan mendadak?

Bagaimana pun juga Dennis tidak bisa merasa tenang. Ia segera meninggalkan tempat itu untuk mencari Ann.

Pertama-tama ia pergi ke wartel tempatnya biasa menelepon Ann. Ia menanti dengan tidak sabaran. HP Ann aktif, tapi tidak ada yang mengangkatnya. Kemudian meskipun agak ragu tapi Dennis memberanikan diri menelepon ke rumahnya. Pembantunya bilang
Ann sedang tidak ada di rumah, ia keluar dengan seorang temannya.

Pembantu rumah itu bahkan memberitahu ke mana Ann pergi. Ke sebuah tempat makan yang dikenal Dennis. Dennis agak heran. Mungkinkah Ann sedang ada kepentingan mendadak dengan temannya itu, sampai-sampai ia melupakan janji mereka sore ini?

Tanpa perlu berpikir panjang lagi, Dennis mendatangi tempat itu. Ia berdiri ragu mengamati tempat itu hanya dari luar, ia tidak mungkin masuk ke dalam hanya untuk mengeledah seisi tempat makan mencari Ann. Maka ia pun menunggu di luar, menunggu dengan sabar.

20 menit kemudian, pandangan mata Dennis menangkap sosok Ann keluar dari tempat makan itu bersama seorang pemuda. Mereka mendatangi tempat parkir dan berhenti sebentar untuk bicara. Dennis berusaha mengingat-ingat sebentar, rasanya ia pernah melihat pemuda itu. Tak lama kemudian ia baru ingat pemuda itu pastilah Josh, pacar
Emma yang waktu itu diceritakan Ann. Tapi kenapa Ann lebih memilih pergi dengan Josh daripada dengannya?

“Thanks ya, Ann, kau sudah mau menemaniku disaat-saat seperti ini. Aku benar-benar kacau dan butuh teman bicara. Kejadian tadi pagi antara aku dan Emma...”

Wajah Ann tanpa ekspresi, ia samasekali tidak menyimak setiap ucapan Josh. Ada hal yang lebih menyakitkan yang menggerogoti hatinya, yang membuatnya tidak bersemangat lagi mendengar semua ocehan Josh tentang hubungannya dengan Emma yang sudah putus tadi pagi. Sedikitpun ia tidak sanggup lagi bersimpati pada Josh ataupun Emma, meskipun ia sangat peduli pada mereka berdua.

Ditatapnya Josh yang terus bicara tanpa benar-benar mencerna kalimatnya. Kemudian ia termangu sesaat, sepertinya ia melihat ada yang datang menghampiri mereka dari belakang Josh. Ann menajamkan pandangan matanya. Kemudian ia membelalak saat menyadari siapa orang yang mendatangi mereka itu.

Wajahnya memucat seketika, “Dennis.”

Josh bingung, kemudian membalik badannya menengok Dennis. Ia tak kalah kagetnya dengan Ann.

“Hai,” Dennis serba salah menyapa mereka berdua. Kemudian ia menatap Ann, “kenapa kau tidak datang ke tempat itu? Aku menunggumu terus.”

Ann tidak menjawab, ia menarik tangan Josh untuk segera masuk ke dalam mobil, “Josh, kita pulang saja.”
“Hey Ann, tunggu dulu.” Dennis berusaha mencegahnya pergi.
Di luar dugaan Ann mendorong Dennis dengan kasar, “Pergi!!”

Dennis tersentak, “Ann? Kau kenapa?”
”Pergi kataku !! Aku tidak mau lagi melihatmu!!!”
“Ann...”
“Untuk apa kau mencariku sampai ke sini? Untuk minta uang?”
”Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura bodoh, Dennis! Aku sudah tahu semuanya! Aku sudah tahu semua kelicikanmu dan semua rencana busukmu! Kau pasti sudah senang ya, mendapat uang banyak dari Papaku? Kau sudah puas mempermainkan aku, Dennis?”

Dennis langsung terpaku di tempatnya. Tubuh itu bergidik ngeri melihat kemarahan Ann. Tapi ia lebih ngeri lagi karena Ann sudah tahu semuanya.

“Ann, dengarkan aku...”
”Tidak ada yang perlu kudengar lagi! Semua ucapanmu selama ini hanya omong kosong! Kau pura-pura baik padaku karena kau tahu aku bisa membantumu mendapatkan uang. Kau berusaha mempengaruhiku, lalu menipuku habis-habisan. Itu kan rencanamu selama ini!!!”

Josh menatap mereka bergantian dengan bingung, “Ann, benarkah itu?”
“Ann, kau tidak mengerti. Dengarkan aku dulu, aku akan menjelaskan semuanya padamu!!”
“Aku tidak mau!” Ann berlari meninggalkan mereka semua.

Dennis segera mengejarnya, tapi tiba-tiba saja Josh menarik tangannya dengan marah,
“Benarkah itu?! Kau selama ini hanya me nipu dia? Kau hanya mempermainkan dia?”
“Kau tidak usah ikut campur!!”
“Ann itu temanku, brengsek!! Aku tidak akan membiarkanmu mempermainkan dia!”
“Sudah kubilang jangan ikut campur! Minggir!”

Dennis menepis Josh menyingkir dari hadapannya. Ia bergegas berlari mengejar Ann.
“Ann, tunggu aku! Aku akan menjelaskan semuanya!”
“Pergi! Aku tidak mau mendengar penjelasan apa-apa darimu!”

Dennis tidak menghiraukan semua teriakan Ann, ia berhasil
mencekal tangan Ann dan menariknya. “Kau harus dengar aku!”
“AKU TIDAK MAU!!!” Ann menutup kedua telinganya, ia menggeleng kuat-kuat agar tidak mendengar suara Dennis.
“ANN!” Dennis mengguncang bahunya, “DENGARKAN AKU! KAU HARUS DENGARKAN AKU!! AKU TIDAK BERMAKSUD MEMPERMAINKANMU SAMA SEKALI! KAU HARUS PERCAYA PADAKU!!”

Ann terus menutup telinganya, memejamkan mata dan menggeleng sekuat tenaga. Ia tidak mendengarkan Dennis.
“Lepaskan dia, brengsek!” Josh datang lagi, ia melepaskan Ann dari cengkraman Dennis.
“KUBILANG LEPASKAN DIA!”
Dennis hilang kesabarannya dengan Josh, sedikitpun ia tidak mau melepaskan Ann. Lalu terjadi aksi tarik-menarik antar keduanya, Josh berusaha menarik Ann dan melepaskannya dari Dennis, tapi Dennis berusaha mempertahankannya.

Wajah Josh mengeras marah, langsung di hajarnya Dennis tanpa basa-basi. Pukulan Josh lumayan keras hingga membuat Dennis terhunyung mundur dan Ann akhirnya terlepas.

“KAU JANGAN IKUT CAMPUR!” emosi Dennis meletup-letup.
Josh tidak peduli, ia kembali menyerang Dennis dengan tinjunya. Tapi Dennis berhasil mengelak, kali ini ia yang gantian memukul cowo itu telak di wajahnya.

Ann menjerit tertahan saat melihat Josh jatuh ke bawah. “Dennis, jangan pukul dia lagi!”

Ann menarik-narik tangan Dennis berusaha memisahkan perkelahian itu. Tapi apa yang terjadi setelah itu sungguh di luar kemauan Dennis.....

Saat itu Dennis menepis cengkraman tangan Ann dengan kencang, hingga gadis itu terdorong jatuh ke atas jalan raya beraspal yang sepi.

Dennis segera menghentikan perkelahiannya dengan Josh. Ia kaget bukan main melihat
Ann jatuh di sana dan susah payah bangkit berdiri. Tiba-tiba matanya menangkap cahaya yang sangat menyilaukan. Dennis menutup matanya perih. Itu adalah cahaya lampu mobil.
Jantung Dennis terasa berhenti berdetak saat ia menyadari Ann dalam bahaya. Cepat-cepat ia melesat untuk menolong Ann. Tapi laju mobil itu semakin kencang mengalahkan
kedua kakinya. Dennis melihat Ann berusaha melawan rasa sakit dari kakinya yang
terkilir, gadis itu mati-matian berusaha bangkit. Saat ia berhasil bangkit, Dennis mendengar bunyi klakson yang memekakkan telinga.

Ann menoleh dengan cepat......sorot lampu sangat menyilaukan matanya, kemudian ia mendengar suara decit ban yang berderit mendekatinya........semakin mendekat sebelum
ia berpikir....sebelum ia sempat menyelamatkan diri..........mendekat dan semakin mendekat seperti malaikat pencabut nyawa yang siap membawanya pergi..........

Lalu tiba-tiba saja Ann merasa tubuhnya dihantam keras, ia merasa tubuhnya melayang
jauh........ia merasa sakit saat tubuhnya kembali terbanting ke bawah........terbanting
menghantam jalanan.......... Lampu itu begitu menyilaukan.......suara-suara di sekitarnya begitu menyesakkan.............darah yang merembes dari bagian tubuhnya terasa begitu kental.........dingin.......... Ann merasa sakit luar biasa........... Ia merasa dingin yang menyelimuti dan menyusup ke seluruh tulang-tulangnya......... Ia merasa gelap...............semuanya berubah hitam.

“ANN !!!!!!!!!!!!!!!!!”
***

Unit Gawat Darurat.

Dennis mematung dalam keheningan di ruang tunggu Unit Gawat Darurat. Tubuhnya  berkeringat, kemeja putihnya dipenuhi darah. Ia tidak tahu harus mati atau apa saat ia
melihat mobil minibus itu menabrak Ann dengan keras. Ia melihat Ann pingsan di tempatnya
dengan darah yang terus mengucur dari kepalanya. Dalam sekejap orang-orang berkerumunan di sana, Dennis menerobos mereka dan segera mengangkat tubuh Ann. Josh membantunya membawa Ann ke rumah sakit.

Semua ini adalah salahku......

“Dennis.” Emma baru saja datang ke tempat ini, ia terus menghibur kedua orang tua Ann sejak tadi. Lalu ia menghampiri Dennis, “kau tak apa-apa?”

Dennis hanya menggeleng kecil.

“Kenapa semua ini bisa terjadi? Ann baru saja bicara denganku kemarin.....lalu tiba-tiba ini semua menimpanya. Rasanya seperti mimpi buruk..”

Dennis diam.

Emma mengamati Dennis dengan seksama, “Dennis, apa benar kata Josh....kau hanya mempermainkan Ann? Kenapa kau sampai hati berbuat itu padanya? Aku...meskipun hubunganku dengan Ann tidak baik akhir-akhir ini, tapi aku tidak mau dia dipermainkan oleh siapapun. Aku sama sekali tidak menyangka, kau pacaran dengannya hanya demi...”

Emma tidak tega untuk melanjutkannya, ia melihat Dennis sepertinya juga terpukul dengan peristiwa ini.

“Aku tidak tahu apa kau sungguh-sungguh mencintai dia atau kau memang hanya bermaksud memanfaatkan dia. Tapi kurasa setelah semua peristiwa ini, kau harus lebih bisa berhati-hati menjaga perasaan Ann.” Emma pergi meninggalkannya.

Lamunan Dennis membuyar saat Papa Ann tak lama kemudian datang menghampirinya. Dennis siap menerima amukan dari siapapun saat ini, ia tidak peduli lagi. Bahkan kalau bisa, ia mau menanggung rasa sakit apa pun untuk menggantikan penderitaan Ann.

“Aku mohon padamu.........jauhi Ann mulai sekarang,” suara Papa terputus-putus menahan kemarahan dan kesedian yang melandanya disaat bersamaan, “apa setelah melihat dia menderita seperti ini, kau baru mau menjauhinya? Apa anakku harus tertabrak dulu, kau baru bisa sadar?!!”
Dennis merasa lidahnya kaku tak mampu menjawab. Suara tangis Mama Ann di ujung ruangan ikut menyayat-nyayat hatinya.

“Kenapa kau tega berbuat seperti ini pada putriku? Bukankah uang sudah ada ditanganmu, kau bebas melakukan apa saja yang kau mau! Tapi jauhi Ann, kumohon! Sejak bertemu denganmu, yang ia alami hanyalah kemalangan. Kau sudah meracuni pikirannya, membuatnya menjadi orang lain yang bukan dirinya. Kau tidak berbuat apapun padanya selain menyesatkannya!!”

“Tapi aku tidak bermaksud menyakitinya. Aku sungguh-sungguh ingin membuatnya bahagia.”

”Bahagia? Bahagia seperti apa yang bisa kau janjikan padanya?! Apa kau sadar, hubungan kalian itu tidak ada masa depannya, sampai kapanpun juga kau tidak akan bisa membahagiakan dia. Apa menyeret dia dalam masalahmu dan membuat dia terluka dalam perkelahian yang kau namakan bahagia? Yang kau lakukan justru membuatnya menderita seperti saat ini! Coba kau lihat dirimu, apa pemuda seperti bisa membuatnya bahagia?! Masa depanmu, keadaan keluargamu, hutang-hutangmu, teror-teror dari berandalan itu....apa keadaanmu yang seperti itu bisa membahagiakan anakku? Ann pantas
menerima lebih dari itu!”

Dennis termangu. Ucapan Papa memukulnya telak, menamparnya hingga ia terbangun dari semua mimpi-mimpi yang ia rajut diam-diam untuk Ann.

Papa Ann benar,kondisinya saat ini benar-benar tidak memungkinkannya untuk bersama dengan Ann. Gadis itu terlalu baik untuknya. Ann pantas menerima semua kebahagiaan yang terbentang di hadapannya, bukannya bersama dengan dirinya yang tidak jelas ini. Sejak bersama dengan Dennis, Ann justru mengalami semua hal yang tidak menyenangkan secara beruntun. Dennis merasa dirinya betul-betul pantas dikutuk, ia sudah menyesatkan Ann dan membawanya kedalam berbagai masalah, tapi masih juga membuatnya tertimpa bencana ini.
Dennis bertanya-tanya dalam hati, seandainya Ann tidak perlu bertemu dengannya sejak awal, mungkin saja Ann sekarang sedang bersama dengan teman-temannya di suatu tempat, bersenang-senang tanpa perlu tertabrak mobil apapun.
“Maafkan aku...” hanya itu yang meluncur dari bibir Dennis.

“Aku rela berbuat apapun....apapun yang kau mau...aku juga rela mengorbankan apapun yang kau minta, tapi aku hanya minta satu
darimu. Tolong jangan dekati putriku lagi, aku mohon lepaskanlah dia. Kalau kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi, tentang keinginanmu melihatnya senang, maka jauhilah dia. Hanya dengan terlepas darimu-lah putriku bisa bahagia. Buatlah agar dia melupakanmu kalau kau memang ingin melihat dia bahagia.”

“Aku mengerti....”

Dennis memang benar-benar mengerti. Dengan hati berat ia melanjutkan ucapannya, “Jangan khawatir, aku akan melepaskan Ann, kalau memang itu yang bisa membuatnya bahagia.”

Percakapan mereka terhenti saat ruangan UGD itu terbuka dan seorang dokter keluar dari sana.

Dokter yang memeriksa Ann membawakan berita baik. Ann sungguh beruntung karena hanya menderita gegar otak yang tidak terlalu parah, tidak ada tulang yang patah tapi meskipun begitu kepalanya yang bocor harus menerima beberapa jahitan. Dokter juga menyakinkan mereka kalau Ann tidak akan apa-apa, semuanya sudah bisa diatasi. Ia hanya perlu istirahat dan akan pulih secepatnya.

Semua bernafas lega setelah mendengarnya.

“Aku ada satu permintaan.” ujar Dennis pelan, “izinkan aku menemuinya saat ini. Yang terakhir. Aku janji padamu, setelah ini aku akan memegang janjiku tidak akan lagi menampakkan diriku di depan kalian semua. Tidak juga pada Ann.”

Dengan berat hati Papa menyanggupinya.

Ann dipindahkan ke kamar rawat inapnya. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan menjenguknya karena ia masih dalam kondisi tidak sadar. Tapi Papa berhasil membujuk dokter untuk memperbolehkan Dennis masuk ke dalam untuk melihatnya.

Maka berdirilah Dennis di situ dengan hati yang hancur, didepan Ann yang terbaring tak sadarkan diri dengan perban yang membalut kepalanya dan luka-luka lain di tubuhnya.

Dennis menarik kursi dan duduk di samping Ann berbaring. Perlahan-lahan diraihnya tangan mungil Ann dan digenggamnya dengan erat.

Dennis memandanginya dengan pilu. Hatinya teriris-iris menahan
diri untuk tidak menangis. Tak ada satu katapun yang sanggup keluar dari bibirnya yang kelu. Ia hanya mampu mengutuk dirinya sendiri.
-------

Dennis tertidur di sampingnya, seharian menjaganya. Saat pagi-pagi sekali, Josh dan Emma memasuki kamar Ann. Josh kaget bukan main melihat Dennis tertidur di sana. Ia segera menarik Dennis, mengajaknya ribut.
“Apa yang kau lakukan di sini! Kau mau apa, hah!?”

“Josh, sudahlah, jangan tambah-tambah masalah lagi di sini.” Emma meleraikan mereka.

Josh menarik Dennis keluar dari kamar. Emma tidak mengikuti mereka, ia menutup pintu dan menghampiri Ann. Matanya menatap sayu pada Ann, bagaimanapun juga ia sangat menyayangi temannya itu. Ia menyesal dengan semua pertengkaran yang harus mereka lalui beberapa hari ini. Ia malu pada dirinya sendiri, pada semua perbuatannya yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa sekalipun memikirkan perasaan Ann. Ia sudah sadar ternyata sejak dulu Ann menyukai Josh, tapi Ann selalu menyimpan perasaannya dalam-dalam, ia bahkan rela memberikan Josh pada Emma, tapi Emma malah menyia-nyiakan pengorbanan Ann dengan menyukai cowo lain. Emma menyesal tidak menyadarinya dari dulu, lebih menyesal lagi karena akibat perbuatannya itulah Ann harus berurusan dengan Dennis.

Emma menghapus semua lamunannya saat suara berisik Josh dan Dennis di luar kamar membuat Ann siuman perlahan-lahan. Tapi Emma merasa lega, ia lekas mendekatinya,
“Ann....kau sudah sadar?”

“Di mana aku..” jawab Ann serak.

“Kau ada di rumah sakit sekarang. Jangan banyak bergerak dulu, dokter bilang kau harus banyak-banyak istirahat.” Emma tersenyum lembut, “kau sangat beruntung, meskipun kepalamu harus banyak menerima jahitan tapi nyawamu selamat.”

Ann berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Ia hanya ingat sebuah mobil melaju kencang ke arahnya dan menabraknya. Lalu ia tidak ingat apa-apa lagi. Semakin ia memutar otaknya, kepalanya semakin berdenyut-denyut sakit.

Kemudian suara Dennis menyadarkannya, ia menoleh ke samping, ke arah jendela kamarnya dan melihat Dennis tengah bertengkar dengn Josh di luar. Ia baru teringat dengan semuanya. Semua yang menyakitkan...........

“Kau jangan muncul di depan kami lagi! Aku sudah dengar semuanya dari Papa Ann, kau bajingan brengsek! Hanya memacari Ann demi uangnya!!” Josh membentur Dennis ke
tembok.
Dennis terhenyak saat ia melihat dari balik kaca, Ann sudah siuman. Hatinya merasa lega, tapi juga sakit karena disaat inilah ia harus semakin menghancurkan Ann. Tapi untuk yang terakhir kalinya.

“Memangnya kenapa kalau aku butuh uangnya?” Dennis tertawa renyah, sebisa mungkin membunuh perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Ia ingin menerobos masuk kedalam sana dan bilang pada Ann kalau ia sangat mencintainya, tapi ia tahu bagaimana pun ia sudah berjanji akan melepaskan Ann.

“Salah dia sendiri kenapa bisa sebodoh itu, mau aja ditipu. Sialan, kalau saja rencanaku ini tidak cepat terbongkar, aku bisa
meraup keuntungan lebih banyak darinya!!”

“Kau!!” Josh marah besar melihat senyum Dennis yang tanpa rasa bersalah.

“Dia terlalu naif, mungkin selama ini dia kira aku benar-benar menyukai dia, yang aku sukai itu hanya uangnya! Tidak masalah kalau dia tidak menyukaiku juga, toh aku berhasil memeras papanya habis-habisan.”

Ann membekap mulutnya dengan tangan, menangis mendengar semua itu.

“Kenapa kau sangat peduli dengan Ann? Kau suka dia? Ya sudah, ambil saja sana. Aku tidak butuh dia lagi, yang penting kan aku sudah dapat uang banyak dari papanya.”

Dennis menertawai Josh.

Emma keluar dari kamar, “Josh, bawa dia pergi dari sini! Ann tidak harus mendengar semuanya kan?! Cepat bawa dia pergi!”

“A..apa?” Josh terperangah melihat kedalam, Ann ternyata sudah mendengar pertengkaran mereka sejak tadi. Ia segera menarik kerah baju Dennis untuk menyeretnya pergi dari situ, tapi Dennis malah masuk kedalam kamar, berdiri menantang di depan Ann.

“Ann, aku tidak bermaksud membuatmu sampai masuk rumah sakit begini. Tapi kuharap kau tidak terlalu dendam padaku, aku juga berharap kau bisa melupakan semuanya. Diantara kita tidak perlu ada yang disesali karena hubungan kita hanya dilandasi kebohongan belaka. Toh aku juga tidak pernah serius padamu, apalagi sampai mencintaimu, semua ucapanku itu hanya bohong. Sekarang kau sudah tahu semuanya kan? Lupakan saja, anggap saja kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Begitu lebih baik. Kita bisa melanjutkan hidup kita masing-masing.”

Dennis bisa melihat dengan jelas air mata Ann yang mengalir karena semua ucapan kasarnya. Tapi ia mencoba berpura-pura tidak peduli.

Tanpa perlu ditarik oleh Josh, Dennis segera mengangkat kakinya pergi dari situ. Langkahnya terlihat mantap di koridor rumah sakit itu, meninggalkan mereka semua yang menatapnya dengan marah.

Tapi bukan tatapan orang-orang itu yang mengoyakkan hati
Dennis, melainkan tatapan mata Ann saat ia mengucapkan semua kata-kata kejam itu. Gadis itu menangis.

Ia berharap lebih baik ia buta sehingga tidak perlu melihat
Ann menderita.......lebih baik ia tuli sehingga tidak perlu mendengarnya menangis....lebih baik ia mati daripada membuatnya sedih..........

Lalu di tempat yang sepi itu, saat tak ada yang melihatnya lagi.....Dennis jatuh berlutut dibawah. Ia tak tahan lagi, ia pun meneteskan air mata. Menangis tanpa ada yang melihatnya.

Hatinya menjerit-jerit penuh kesakitan.

Maafkan aku,.....aku telah melukaimu. Aku terlalu bersalah padamu, tidak seharusnya aku membawamu masuk ke dalam kehidupanku, dan aku pun tidak seharusnya masuk kedalam kehidupanmu. Aku telah membohongimu, menyakitimu dan membuatmu jadi begini. Percayalah, sedikitpun aku tidak bermaksud melukaimu. Aku rela menanggung apapun seandainya itu bisa membuatmu lepas dari penderitaan ini. Seandainya saja kau tahu perasaanku. Aku tidak pura-pura baik padamu, aku memang mencintaimu. Aku tidak tahu apa kau juga mencintaiku, tapi kau selalu baik padaku, kau selalu ada di sampingku meskipun kau sudah tahu keadaanku yang sebenarnya, dan aku dengan bodohnya menghancurkan hatimu.........seharusnya aku tidak melakukan itu. Tapi aku terpaksa. Aku harus membuatmu mel upakanku, aku harus melepaskanmu. Orang sepertiku tidak pantas bersamamu sedetikpun........Orang seperti aku hanya akan membuatmu menderita seperti ini. Papamu benar, semua orang benar, aku memang tidak pantas untukmu. Aku akan menjauh darimu, Ann , sebisa mungkin akan menghilang dari hidupmu hingga kau tidak perlu lagi sakit hati. Kuharap kau bisa mengerti. Kuharap kau tahu, aku memang mencintaimu.

Dennis menangis di sana. Tidak ada seorang pun yang tahu betapa hancur hatinya saat ini...... Kalau ada orang yang paling menderita dalam semua kejadian ini, Dennis-lah orangnya.

I would die for you
I would die for you
I've been dying just to feel you by my side
To know that you're mine
I will cry for you
I will cry for you
I will wash away your pa
in with all my tears
And drown your fear
I will pray for you
I will pray for you
I will sell my soul for something pure and true
Someone like you
See your face every place that I walk in
Hear your voice every time I am talking
You will believe in me
And I will never be ignored
I will burn for you
Feel pain for you
I will twist the knife and bleed my aching heart
I'll tear it apart
I will lie for you
I can steal for you
I will crawl on hands and

knees until you see
You're just like me
Violate all my love that I'm missing
Throw away all the pain that I'm living
You will believe in me
And I can never be ignored
I would die for you
I would kill for you
I will steal for you
I'd do time for you
I would wait for you
I'd make room for you
I'd sail ships for you
To be close to you
To be a part of you
'Cause I believe in you
I believe in you
I would die for you
Come up to meet you, tell you I'm sorry
You don't know how lovely you are
I had to find you, tell you I need you
And tell you I set you apart
Tell me your secrets, and
nurse me your questions
Oh lets go back to the start
Running in circles, coming in tails
Heads on a science apart
Nobody said it was easy
It's such a shame for us to part
Nobody said it was easy
No one ever said it would be this hard
Oh take me back to the start
***

Priska dan Ria langsung pergi menjenguk Ann begitu mereka pulang dari sekolah. Mereka hanya tahu Ann semalam ketabrak mobil, selebihnya mereka tidak tahu apa-apa.

Sesampai di kamar inap Ann, hanya ada Emma dan Josh yang menjenguk di sana. Priska langsung memeluk Ann, “Ann....kau baik-baik saja kan? Aku hampir mati ketakutan mendengar kau ketabrak mobil.”

Ria meletakkan kantung plastiknya yang penuh dengan buah apel ke bawah ranjang, ia tersenyum malu-malu, “Aku tidak tahu harus bawa apa ke sini, kata Priska lebih baik bawa apel.....tapi kurasa itu ide tolol, masak abis ketabrak mobil makan apel?”

“Tidak usah repot-repot begitu,” Ann terharu ,”kalian habis pulang sekolah ya? Gimana sekolah hari ini?”

”Tidak ada kejadian seru apa-apa, tuh si ketua Osis baru bikin pera
turan aneh, tiap hari Jum’at-Sabtu kita boleh pake baju bebas sesuka hati kita. Si Ria kesenengan tuh!”

“Iya, Ann, jadi aku bisa bebas mau pake apa aja.” Ria terkikik lucu, “gak ada lagi deh yang larang-larang aku pake rok pendek.”

Mereka tertawa bersamaan. Emma melirik Josh, membisikkan sesuatu dan kemudian mereka berdua meninggalkan ruangan itu.

Josh berjalan di depan Emma, kemudian berhenti sebentar menoleh ke belakang, “Mau bicara apa lagi?”
“Kau masih marah padaku ya?”
“Kau mau membicarakannya di saat-saat begini? Ayolah Emma, aku sama sekali tidak berselera.” Josh terlihat jengkel.
“Aku tahu kau masih marah. Aku tidak menyalahkanmu.”
“Lalu maumu apa?”
”Sekarang kau sudah tahu kan, Ann itu dari dulu selalu meny
ukaimu. Dia menyimpan semuanya demi aku.”
“Ya, aku tahu.”
”Lalu apa kau...”
”Emma!” Josh memotongnya cepat, “sebenarnya apa inti dari pembicaraan ini? Tolong jangan bertele-tele.”
”Apa kau juga punya perasaan yang sama pada Ann? Maksudku, setelah semua yang terjadi semalam....kau kelihatannya sangat terpukul. Tadi saja kau sampai bertengkar hebat dengan Dennis. Aku pikir....mungkin saja kau juga punya perasaan khusus pada Ann.”

Josh menatapnya tak percaya, ia tersenyum getir, “Dia itu temanku, kalau ada sesuatu yang terjadi padanya tentu saja aku akan khawatir. Dan kalau dia sampai sakit hati gara-gara ulah cowo bajingan itu, tentu saja aku akan mencari perhitungan padanya! Kau ini kenapa sih? Memangnya kau tidak sedih melihat Ann disakiti seperti
itu? Kalau kau jadi aku, kau pasti juga akan melakukan hal yang sama bukan ?!”
“Aku bukannya tidak sedih dengan keadaan Ann. Bagaimana mungkin aku bisa tidak sedih, Ann itu temanku sejak kecil! Apa yang kami miliki jauh lebih banyak dibandingkan kau dan Ann!”
”Lalu apa intinya!!”
”Intinya, aku rasa kau sebenarnya menyukai Ann!!” bentak Emma keras, bahunya turun-naik menahan emosi.

Josh menatapnya tajam, Emma tidak mampu mengartikan arti dari tatapannya itu. Ia merasa tidak berkutik, takut untuk mendengar jawaban Josh yang sesungguhnya.
“Akui saja, Josh. Sungguh aku tidak keberatan kalau kau bersama dengan Ann, aku hanya mau memastikan apa yang aku rasakan ini adalah benar.”
“Memangnya apa yang kau rasakan?”
“Aku merasa......kau-lah satu-satunya orang yang bisa menghapus luka di hatinya.”
“Itu yang kau rasakan?”
“Ya.”
“Sungguh itu yang kau rasakan, Emma? Hanya itu?”

Emma tidak menjawab. Kemudian Josh mengangguk kecil di hadapannya, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang mendalam, “Baik, kau mau tahu apa yang kurasakan, Emma? Aku memang menyukai Ann, aku bahkan menyayangi dia melebihi diriku sendiri. Tapi orang yang aku cintai bukan dia!”

Emma memejam mata saat Josh melangkah pergi meninggalkannya.

Lagi-lagi aku telah membuatnya kecewa....
***

Sore itu Ann mengamati butiran-butiran hujan yang membasahi jendela kamar rumah sakitnya. Ia menerawang, melamun sambil menahan rasa sakit yang masih sedikit bersarang di kepalanya.

Ia mendengar bunyi ketukan pintu dan tersenyum saat Emma masuk.
“Kenapa masih ada di sini? Kau belum pulang sejak tadi pagi?” Emma duduk di sampingnya, menggerak-gerakkan tulang punggungnya, “Iya nih capek, abis ini aku sudah mau pulang kok. Bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Tidak mungkin kan, aku menjawab ‘aku sudah baikan’ ?” Ann menunduk sedih.
“Kau masih sedih ya?”
“Kau tahu, Emma? Lebih baik kita terluka secara fisik daripada hati kita yang terluka, sakitnya tak akan hilang sampai kapanpun juga.”
“Tapi Ann, kau harus melupakan dia.”
“Bagaimana caranya? Bisakah kau beri tahu aku, bagaimana cara melupakan orang yang kita sayangi dan kita benci sekaligus? Orang yang telah membawa kita terbang tinggi, tapi juga mematahkan sayap kita dan menghempaskan kita ke tempat yang paling dalam? Orang yang telah menoreh cinta dan luka di hati kita di saat bersamaan?”

Emma memeluk Ann sebelum gadis itu menangis lagi. Ia membelai pundaknya dengan lembut, “Aku mengerti apa yang kau rasakan, Ann. Aku mengerti.....Ini semua salahku, secara tidak langsung aku-lah yang telah menyeretmu pada Dennis.”
“Ini bukan salahmu.”
“Ann, aku menyesal atas semua perbuatan dan ucapanku tempo hari. Aku memang bukan teman yang baik. Kau pantas marah padaku. Kau memang benar, Josh terlalu baik untuk orang semacam aku, dia sepantasnya denganmu.”

Ann melepaskan pelukannya, mengamatinya tajam, “Apa maksudmu?”
“Pasti berat bagimu untuk selalu menyimpan perasaan pada Josh selama ini. Aku memang tolol, baru sadar di saat-saat terakhir, pasti selama ini perbuatanku sudah banyak membuatmu kecewa. Seandainya aku tahu sejak dulu......Kau selalu baik dan perhatian pada Josh bahkan melebihi rasa sayangku sendiri padanya. Sebenarnya kau-lah yang paling pantas mendampingi Josh.”
“Emma?”
“Ann, aku dan Josh memang sudah putus, semua karena salahku, tapi aku tidak berharap apa-apa lagi dari hubungan kami. Aku mau merelakannya untukmu.”
“Emma, kau salah....aku...”
“Aku sama sekali tidak keberatan, Ann. Kalau memang Josh bisa menyembuhkan semua luka di hatimu..”
”Emma, aku tidak lagi mencintai Josh.” jawab Ann tegas, “dan aku tidak mau merusak hubungan kalian. Apa kau tidak sadar, meski pun kalian sudah putus tapi Josh masih sangat mencintaimu. Aku juga tidak mengerti bagaimana caranya aku bisa melupakan perasaanku pada Josh, itu semua terjadi tanpa aku sadari.”
“Karena Dennis?”

Meski sakit tapi Ann mengangguk, “Aku terlambat menyadarinya. Sekarang aku malah berharap aku tidak perlu menyadarinya sama sekali, agar aku tidak perlu menanggung semua ini. Bahkan kalau perlu aku tidak usah selamat dari kecelakaan ini, biar aku membawa mati semua luka ini. Aku memang bodoh, bodoh karena bisa jatuh cinta pada orang seperti itu, yang jelas-jelas hanya bermaksud memanfaatkanku.”
“Kita semua bodoh, Ann. Tak ada satupun dari kita yang terlalu pintar untuk menghindar dari cinta, karena pada akhirnya kita semua terluka.”
***

Butuh waktu sebulan bagi Ann untuk benar-benar memulihkan dirinya dari musibah ini. Perban yang membalut di kepalanya sudah boleh dilepas, dan dia pun sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Setiap orang menyambutnya gembira.

Tapi tidak bagi Ann. Dia tidak merasakan apa untungnya bisa sembuh dari luka fisik, karena sampai kapanpun juga ia tidak yakin apa luka di hatinya bisa disembuhkan. Meski ia sudah bisa pulang ke rumah dan menjalani semua aktivitas sehari-harinya dengan normal kembali, tapi tetap saja ia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ada yang pergi dan meninggalkan kekosongan dalam hatinya. Ia merasa apa yang ada di sekelilingnya tidak sama lagi seperti dulu. Bahkan tawa dan senyumnya pun tidak sama lagi. Begitu banyak orang yang tanpa putus asa terus mencoba menghiburnya, menariknya keluar dari kesedihan itu. Tapi sia-sia saja, bukankah semua itu malah mebuat Ann semakin terpuruk? Ia tidak perlu perhatian extra dari mereka semua, juga tidak perlu dikasihani.

Yang ia perlukan hanya waktu. Mungkin dengan waktu itu-lah, ia sanggup menyembuhkan lukanya sendiri. Dan mungkin, hanya dengan waktulah ia bisa melupakan Dennis.

Dia telah membuatku hidup, tapi dia juga lah yang membuatku mati seketika. Dia yang telah membuka hatiku untuk cinta yang baru, tapi dia jugalah yang menutup pintu hatiku untuk kebahagiaan lain yang bisa kuraih. Aku tak akan bisa melupakan semua kenanganku bersamanya, tapi aku pun tak bisa melupakan sakit hati ini. Aku tak tahu salahku di mana, mungkin aku memang terlalu naïf....atau mungkin kesalahanku hanya satu, yaitu mencintai orang yang salah.

Ann tidak pernah menyadari, saat hari pertamanya kembali ke rumah, seseorang mengamatinya dari kejauhan. Saat ia turun dari mobil dan perlahan-lahan dibantu oleh Papanya masuk ke dalam rumah, ada seseorang yang berdiri di kejauhan sana, menahan diri untuk tidak menghampirinya. Menahan diri untuk tidak mencintainya lagi.
****

Beberapa hari menjelang ujian akhir.............

Ann mengamati brosur-brosur perguruan tinggi yang berjejer rapi di
meja depan ruang BP. Murid-murid kelas 3 berbondong-bondong mengambilnya sambil terus berdebat universitas mana yang paling bagus. Ada yang sudah mantap dengan pilihannya, ada yang masih bingung dan berkonsultasi dengan guru, ada juga yang cuek bebek.

Josh tersenyum melihat Ann datang, “Buat apa liat-liat? Kan sudah pasti mau ke Inggris.”
“Kau sendiri buat apa liat-liat? Bukannya waktu itu sudah beli formulir?”
”Aku berubah pikiran. Aku ingin kuliah ditempat yang aku mau, bukannya semata-mata pengen satu kampus lagi dengan Emma.”

Ternyata Josh sudah tidak berniat lagi satu kampus dengan Emma. Sejak putus, hubungan mereka memang jadi agak dingin, ada kesan Josh selalu menjauhi Emma dan begitu pun sebaliknya. Karena kedua-duanya makhluk paling popular di sekolah ini, maka kabar
putusnya mereka tentu saja langsung me nyebar dengan versi yang berbeda-beda.
“Kau jadi kuliah di Inggris?”
“Tidak ada sesuatu yang membuatku harus membatalkannya.” Ann tersenyum kecil.
“Aku akan kehilanganmu.”
“Aku juga.”

Josh mengerut kening sesaat, memberanikan diri untuk bertanya, “Bagaimana keadaanmu sekarang, Ann?”
”Aku? Aku sudah pulih total, kau bisa lihat sendiri kan?”
“Iya,” Josh tertawa kaku.
“Kalau yang kau maksud itu hatiku, kau tahu sendiri aku tidak semudah itu pulih.”

Josh diam.
“Ah tapi sudah lah, aku tidak mau memikirkannya lagi. Sebentar lagi kan ujian, lebih baik aku konsentrasi belajar. Iya kan, Josh?”
“I..iya...”
“Hey, bagaimana dengan kau sendiri? Sejak putus dengan Emma..”
”Aku baik-baik saja, Ann. Sungguh. Yaaa..memang masih ada sakit hati sedikit, tapi aku bisa melewatinya.”
”Aku ingin sepertimu.”
”Kau pasti bisa. Aku pasti akan membantumu. Pasti.”
***

Plok....plok....plok.....Seluruh hadirin yang memadati hall dalam acara pelepasan murid kelas 3 berdiri serentak, memberikan tepuk tangan terhangat mereka untuk 210 murid yang telah dinyatakan lulus. 210 murid itu berbaris rapi di depan, berjejer dan tersenyum bangga sambil memegang surat ijazah mereka. Tepuk tangan meriah terus mengumandang di seantero ruang tertutup itu, tak henti-hentinya memberi pujian pada mereka semua. Kelas mereka satu persatu diabadikan oleh juru kamera, mulai dari kelas IPA, IPS maupun Bahasa.

Kepala sekolah maju ke depan, memberikan pidato pelepasannya penuh dengan rasa bangga. Tepuk tangan semakin meriah saat 10
lulusan terbaik, Ann salah satunya, ikut maju dan diabadikan oleh juru foto bersama dengan guru-guru mereka.

Tak terasa inilah momen yang sangat ditunggu-tunggu, momen terakhir mereka setelah 3tahun mengarungi masa SMA. Banyak yang tak kuasa menahan rasa haru dan menangis bersama teman dan keluarga masing-masing. Banyak pula yang terus merangkul gurunya dan mengucapkan terima kasih. Apa yang terus mereka keluhkan saat masih sekolah rasanya bukan apa-apa lagi saat mereka sadar mereka akan berpisah dengannya. Di saat-saat inilah semuanya terasa sangat berharga.

Mungkin setelah lulus, mereka akan berpencar dan tidak pernah bertemu lagi. Mungkin lulusan terbaik akan menjadi orang yang pa
ling melarat, mungkin murid yang nilainya terjelek justru akan menjadi pengusaha sukses. Mungkin mereka yang popular akan
menjadi ibu rumah tangga biasa, sedangkan mereka yang di-cap kutu buku malah menjadi orang tenar.

Tapi setidaknya untuk saat ini mereka belum berubah, mereka tetaplah 210 murid itu. Dua ratus satu murid, satu kebahagiaan. Malam dilanjutkan dengan pesta promnite disalah satu hotel berbintang 5. Semua tampil dengan gaun dan setelan jas terbaik masing-masing. Sesuai tradisi, malam ini juga diadakan acara penobatan cewe-cowo tercakep, terheboh, terjaim, terpintar, terbaik, dll.

Yang jadi tercakep sudah pasti Emma dan Josh, tidak ada yang heran. Hanya saja Josh tidak mendampingi Emma yang dinobatkan jadi Prom Queen, di luar dugaan yang menjadi Prom King justru Rico. Prom nite baru bubar sekitar jam 11 malam lebih. Ann nyaris tertidur di mobil saat Josh mengantarnya pulang bersama Emma. Emma terus
heboh berceloteh tentang mahkota Prom Queen miliknya yang katanya kurang bagus, mutiaranya kurang banyak, kurang mengkilap,
dan lain-lain. Baik Ann maupun Josh tidak begitu serius menyimaknya.

Saat Ann tengah melamun di tempat duduknya, ia merasa ada mobil lain yang terus menempel di sebelah mobil Josh. Kecepatannya sengaja menyamai laju mobil Josh. Ann semakin bingung saat mobil itu semakin lama semakin merapat. Josh juga menyadarinya, “Mobil siapa sih tuh?! Reseh banget nempel-nempel!”

Ann menyipitkan matanya berusaha menembus kegelapan kaca mobil Josh untuk mengintip siapa si pengemudi misterius itu. Tapi sebelum ia bisa mengintip, Josh sudah keburu hilang kesabarannya. Ia menepi mobilnya di pinggir jalan raya yang sepi. Mobil itu mengikutinya, berhenti di belakang mobil Josh. Josh mengintip dari balik kaca spion, “Hei, kalian kenal orang itu?”

Baik Ann maupun Emma sama-sama tercengang melihat siapa si pengemudi misterius yang baru saja keluar dari mobil dan tergopoh-gopoh mendatangi tempat mereka.
“Vincent...” Emma reflek menatap Ann, “Itu Vincent.”
Ann menelan ludah.
“Vincent siapa?” tanya Josh heran.
“Vincent.....teman Dennis.”
“Apa?!”

Ann tidak bersuara saat Vincent menghampiri mobil mereka dan mengetuk-ngetuk kaca mobil di tempat duduknya. Ann nyaris membuang muka kalau saja Josh tidak cepat keluar dari mobil.
“Hei, mau apa kau!”

Vincent terus mengetuk kaca jendela Ann, “Ann, keluar sebentar, aku harus bicara padamu.”
“Bicara apa? Soal temanmu yang bernama Dennis itu? Sudah tidak ada yang harus dibicarakan! Ann tidak mau berurusan lagi dengan bajingan-bajingan macam kalian!”
“Tapi ini penting! Ann harus tahu semuanya, dia harus tahu kalau Dennis...”
“Hey, jangan sebut-sebut nama orang itu lagi di depanku!” Josh naik pitam, “suruh orangnya datang ke sini kalau berani!”

Emma ikut keluar dari mobil, serba salah mencoba membujuk Vincent pergi. Tapi Vincent tidak mau, “Susah payah aku mencari Ann, kau suruh aku pergi?! Aku tidak akan pergi sebelum Ann mau mendengar semua penjelasanku!”
“Ann tidak mau berurusan dengan orang-orang seperti kalian lagi!” hardik Josh.
“Vincent....kau jangan membawa-bawa masalah Dennis lagi, keadaannya sudah membaik sejak sebulan ini, tapi kalau kau mengungkit-ungkit nama Dennis lagi di depannya...”
“Tapi, Emma...”

Mereka bertiga tertegun diam saat pintu tempat duduk Ann tiba-tiba terbuka, gadis itu keluar dari dalam mobil dengan begitu tenang. Namun kerisauan di dalam hatinya tidak bisa disembunyikan, “Emma benar, Vincent, keadaanku sudah membaik sejak sebulan ini. Tolong jangan kau kacaukan lagi.”
“Tidak, kau harus tahu yang sebenarnya tentang Dennis! Ann, apa kau tahu Dennis juga menderita sejak peristiwa itu?! Dia sengaja
berbuat seperti itu semuanya demi kau! Jangan kau kira dia selama ini hanya memanfaatkanmu, Dennis itu sebenarnya benar-benar menyukaimu! Dan jangan kau kira dia mendekatimu hanya karena uang! Memang benar Papamu memberinya cek kosong, tapi Dennis tidak mau menerimanya, cek itu bahkan dirobek olehnya!”

Ann menatapnya tanpa ekspresi. Semua itu hanya omong kosong baginya.

“Kau harus percaya padaku, Ann! Dennis itu tidak bermaksud menyakitimu. Dia sengaja berbuat seperti itu karena...”
”Karena apa, hah!” bentak Josh tak sabar, “buang semua omong kosongmu itu jauh-jauh!! Ann tidak akan semudah itu percaya padamu!”

Vincent memelas menatap Ann, “Ann, kau harus percaya..”
Ann tidak bersuara.
“Ann, kumohon.....percayalah. Semua yang kuucapkan itu benar! Kau harus percaya....”
“Mulai detik itu, aku tidak tahu lagi harus percaya pada siapa.”

Sunyi........

“Aku tidak tahu apa ceritamu itu benar atau hanya omong kosong belaka. Aku juga tidak tahu apa maksudmu menjelaskan semua itu padaku. Tapi kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak peduli lagi dengan semuanya. Maafkan aku, Vincent, tapi kumohon berhentilah mencariku. Kau tidak perlu capek-capek mengejarku sampai ke sini hanya untuk menjelaskan masalah itu, karena itu benar-benar tidak ada pengaruhnya lagi bagiku.”
“Aku tidak percaya kau bilang begitu.....apa kau tidak ada perasaan apa-apa lagi pada Dennis? Sedikit pun kau tidak mau peduli lagi padanya?”

Ann tidak menjawabnya.
“Aku tidak percaya kau benar-benar tidak peduli padanya.”
“Kalau begitu mulai saat ini kau harus percaya,” jawab Ann tajam, “dia bukan apa-apa lagi bagiku. Aku bisa saja mendengar semua penjelasanmu itu kalau aku memang masih punya perasaan padanya, tapi aku tidak mau. Kau, juga Dennis, harus tahu kalau aku tidak sebodoh dulu lagi. Entah apa yang bisa membuatku memaafkannya.”
“Tapi Ann, aku tadi sudah bilang...semua itu...”

Ann tidak menghiraukannya, ia masuk kedalam mobil tanpa banyak bicara. Emma menyusulnya meski ia masih ragu.
“Ann, kau harus percaya!! Ann!!”

Josh menatapnya garang, “Kau sudah dengarkan? Dia sudah tidak mau lagi berurusan dengan bajingan itu. Jadi jangan sekali-kali lagi kau mencari Ann!”

Vincent tak bersuara. Ia tak berdaya saat Josh masuk ke dalam dan langsung membawa kabur mobilnya beserta Ann. Ia hanya bisa berdiri lemas di sana.
***

0 komentar:

Posting Komentar

 

Widya Emblogs Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | Make Money from Zazzle|web hosting