Rabu, 05 Maret 2014

dear love

Diposting oleh widya emblogs di 00.37


aaarrrgghhh, akhirnya beres jugaaaa!!!! gue semper setengah mati ngedit postingan kali ini. sedikit info, kali ini gue ngeshare cerita yang amat sangat gue suka! dan gue nyebut cerita ini sebagai 'harta karun'. mengapa demikian? karna gue ngga sengaja nemuin ini disalah satu situs, dan gue seneng banget bisa nemuin ini. kejadiannya entah berapa tahun lalu, mungkin 2 atau 3 tahun lalu. waktu itu lagi bulan puasa. gue iseng-iseng ngubek-ngubek internet dan nemu ini! gue baca lah iseng-iseng. gue pikir ini cerita singkat, soalnya cerita sebelumnya gue baca cuma semacem kaya renungan gitu gitu doang. dan lama-lama, ko makin seru nih cerita? gue baca dari jam 3 sampe maghrib. saat orang-orang buka puasa, gue malah nangis didepan hape sesegukan. saking sukanya sama cerita ini, gue pernah ngesave linknya, gue tulis dibuku. gue juga pernah buka linkna itu dilaptop dan ngesave cerita ini di word. lalu akhirnya laptop gue diformat ulang atau apalah itu namanya, dan keapuslah cerita kesayangan gue ini. dan kemaren, gue baru dapet ide untuk searching tentang cerita ini.   dan ketemu! tapi pas gue buka, ko nama pemaennya beda? kenapa jadi orang korea semua? dan pas gue liat lagi keatas, ternyata itu cewe yang ngerepost cerita ini emang sengaja ganti nama tokohnya. dan gue gamau pake cerita itu. gue cari yang lain lah tuh, dan ternyata nama tokohnya diganti juga! gue jadi emosi jiwa -_- gue coba buka yang ketiga, akhirnya dapet juga! gue gatau ini naskah aslinya atau bukan, soalnya waktu pertama kali gue baca ya tokohnya kaya gini. cerita yang gue dapet ini langsung gue copaslah ceritanya ke ms. word. disitus ada 161 halaman, tapi pas masuk word malah cuma 75 halaman! anjir, banyak halaman yang ngga ke copy! padahal gue udah pake ctrl + a. gue bingung tuh! dalem keadaan gue yang gaptek parah, akhirnya gue copy satu persatu halaman tersebut! gue dibantuin bokap untuk ngopy cerita ini. dan yang bikin mejing, cerita ini disitus itu tuh rata tengah. sedangkan pas gue copy, jadi rata kiri dan cuma sampe tengah! jadi tulisannya tuh cuma separo! gue contohin yah!


versi situs :
jadi gue dapet cerita ini dalam format rata tengah begini. eh pas gue copas jadinya malah rata kiri dan sepotek doang. jadi gue ngeditin satu-satu biar nih tulisan jadi rata kanan kiri.

versi copas :
jadi gue dapet cerita ini dalam 
format rata tengah begini. eh 
pas gue copas jadinya malah 
rata kiri dan sepotek doang. jadi
gue ngeditin satu-satu biar 
nih tulisan jadi rata kanan kiri.


nahloh, emosi jiwa ngga tuh?! sakingggg aja gue naksir berat sama cerita ini. kalo kaga mah kaga bakal gue susah-susah begini. gue dapet cerita itu jam 8 malem kemaren, dan gue ngedit sampe jam setengah 4 pagi dan itupun baru setengah cerita. gue langsung mandi dan cus ke majalengka. balik dari majalengka jam setengah 2 malem, gue langsung tidur dan siangnya gue ngelanjutin ngedit ini lagi. lalu jam 11 malem gue lanjutin lagi sampe sekarang nih. dan setelah selesai, gue langsung ngepost ini! ngga sabar gue mau berbagi 'harta karun' sama kalian semua. kalo udah selesai baca dan puas sama ceritanya, jangan lupa say thanks sama princess WG ya! 

nah, sekarang cari posisi yang enak buat kalian menikmati cerita ini, selamat membaca :)





Dear love
By:
princess WG

Kadang-kadang aku bosan dengan keadaanku. Aku bosan dengan kehidupan sekolah,bosan dengan kehidupan sekitarku,bahkan bosan dengan diriku sendiri. Aku seperti sedang menonton film tentang diriku sendiri yang alurnya begitu lamban dan ceritanya sangat monoton. Ingin rasanya aku berteriak pada seisi dunia,kenapa hidup ini begitu membosankan? Kata temanku, Emma, ada 2 hal yang membuatku cepat bosan.Pertama,katanya aku ini orangnya terlalu sibuk dan serius dalam pelajaran. Ah, tidak juga. Malah kadang menurutku aku ini masih lumayan santai dibandingin murid-murid yang lain. Prestasiku memang baik di semua mata pelajaran, tapi aku benar-benar bukan kutu buku. Lalu kedua, kata Emma karena aku belum punya pacar. Yaa...aku memang belum pernah pacaran selama ini. Bukannya aku tidak mau atau tidak tertarik, tapi sebenarnya karena aku belum siap. Atau lebih tepatnya lagi.......karena aku belum bisa melupakan seseorang yang tidak boleh aku cintai.

Kriiinnnggg!!

Bel sekolah tanda pulang membuyarkan semua lamunan Ann. Pak Daniel memberi kata-
kata penutup untuk pelajaran Biologi hari ini, tapi Ann sedikitpun tidak menyimak. Ia menyimpan semua buku-bukunya ke dalam tas. Di hari Senin yang cerah ini Ann memutuskan untuk lebih banyak bersantai di rumah, sekedar refreshing. Pelajaran-pelajaran disekolah benar-benar membosankan dan membuatnya hampir sinting. Yang ia
mau sekarang hanya pulang,tidur siang,lalu...hm...lalu... "Ann,tunggu!!"
Langkah Ann di koridor langsung terhenti.  Tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang
hanya karena mendengar suara itu. Oh no....itu dia.... Tapi Ann menoleh dengan cepat,menatap wajah si pemilik suara itu dengan senyum manis yang setengah mati dibuatnya sewajarnya mungkin, "Hai Josh."
Sekedar catatan, Josh bukan cowo biasa. Ia luar biasa. Selain punya tampang cakep yang jauh di atas rata-rata, ia bintang basket sekolahan, punya senyum memikat yang
secermelang iklan odol, dan juga tatapan mata 1000 watts. Ia tipikal cowo idola setiap
cewe-cewe sekolahan. Ya, ia-lah Josh. Satu-satunya cowo yang mengisi hati Ann.
"Kau tidak lupa rencana kita malam ini,kan?"
"Hah? Rencana?" Ann keliatan 'agak' kaget.
Mana mungkin aku lupa...
"Kau lupa? Kita kan mau belajar bareng dirumahmu. Kau sudah janji mau ngajarin aku
kimia. Iya kan?"
"Ooh itu...Iya,iya, aku ingat. Jam 7 ya."
Josh dan Ann tidak sekelas,tapi mereka sering belajar bareng di rumah Ann. Hanya
saja...biasanya mereka bukan cuma berdua, masih ada yang satu lagi.
"Halo semuanya...." seorang gadis manis berpostur tubuh sintal menghampiri mereka. Dengan santai ia mengamit lengan Josh mesra, " lagi ngomongin apaan nih?"

Oh yeah...kenalkan, inilah Emma, teman baik Ann sejak SD. Sekaligus pacar resmi Josh... Kalau ada cowo paling favorit di sekolah, biasanya juga ada cewe paling favorit. Nah, Emma-lah cewe itu. Tidak sulit kan membayangkan seperti apa sosok seorang cewe
favorit?

"Nanti malam aku mau ke rumah Ann. Biasalah, besok ada ulangan kimia.Kau mau
ikut?"
"Hmmm..." Emma mencibir, "ya...daripada sendirian di rumah,mendingan ke rumah Ann sih. Tapi aku boleh kan bawa VCD? Bagaimana kalo abis belajar kita pergi dugem?"

Ann melotot ke arahnya.

"Kurasa itu artinya tidak setuju?" Emma tertawa ringan, "aduh,nyantai lah,Ann. Aku kan
paling gak demen belajar. Ya sapa tau aja kita bisa seneng-seneng abis itu."

Ann tersenyum kecil. Begitulah Emma, selalu menyuruhnya nyantai. Emma bukan tipe
cewe yang suka dengan paham 'bersusah-susah dulu baru bersenang-senang kemudian', ia
penganut setia paham 'bersenang-senang dulu baru bersenang-senang lagi kemudian'. Tipe gadis manja, tapi tak ada seorang pun yang keberatan memanjakannya. Kadang Ann pun terlalu memanjakannya. Emma dan Josh resmi pacaran sejak 2 minggu yang lalu. Ann masih ingat betul kapan. Tepatnya hari Minggu, pagi-pagi buta jam 4 Emma mengirim sms singkat : telp aku skrg jg.Penting!! Darurat!!

Ann langsung menyamber telepon kamarnya dengan was-was, takut kalau sesuatu menimpa teman baiknya. Tapi begitu Emma mengangkat teleponnya, yang pertama kali terdengar justru suara tawa disusul jeritan."Josh datang ke rumahku semalam!!! Dia nembak aku,Ann!!! Josh nembak aku!!! JOSH!!!"

Saat itu Ann merasa tangan,kakinya, oh tidak..lebih tepatnya lagi seluruh tubuhnya, membeku. Suara tawa Emma rasanya semakin lama semakin menghilang. Lantai tempatnya berpijak seakan-akan berubah menjadi rawa yang siap membenamkannya hidup-hidup. Saat itu Ann tahu, dunianya yang penuh dengan Josh sudah hancur. Cowo yang ia sukai malah jadian dengan sahabat baiknya sendiri. Adakah yang lebih mengerikan dari itu?

Jam 7.30 malam di rumah Ann. Mereka semua terdiam di dalam kamar Ann. Ann sibuk membuat soal-soal kecil untuk Josh, sementara Josh konsentrasi menghafal
rumus. Emma hanya tiduran di ranjang sambil nonton VCD sewaannya. Beberapa kali Emma melirik mereka berdua, kemudian mendengus kesal.
"Duuuhhh....aku bosan neh."

Tidak ada yang menjawab.

"Bosan oi...bosan! Josh, keluar yuuukk.."
"Nanti" jawab Josh singkat.
"Huh!"

Tiba-tiba telepon di kamar Ann berdering. Ann mengambil gagang telpon wireless-nya
dan langsung keluar kamar.
"Halo."
"Halo? Bisa bicara dengan...Ann?"
"Iya, sapa nih?"
"Oh..ini Ann ya? Hai,apa kabar?"

Ann mengeryit heran. Siapa sih nih?
"Oh ya, kau kan tidak kenal aku. Aku temannya Emma. Namaku Dennis. Sori nih ganggu, tadinya aku telpon ke rumah Emma, tapi kata mamanya dia lagi di rumahmu trus katanya Emma gak bawa HP.Lalu aku dikasih nomermu, Mamanya bilang telpon ke sini aja."

Ann makin bingung.

"Boleh aku bicara dengan Emma?"
"Oh ya, tunggu bentar."

Ann menutup mulut gagang telponnya. Baru saja ia mau memanggil Emma, Emma sudah lebih dulu keluar dari kamarnya. Wajahnya jutek, "Aku sumpek di dalam kamar terus! Apa tidak ada hiburan lain? Aku tahu Josh besok ada ujian dan kau lagi sibuk ngajarin dia. Tapi gimana kalo kita tinggalin dia bentar, kita bisa ke supermarket beli makanan."

Ann menyodorkan gagang teleponnya, "Ada yang mencarimu."


"Mamaku ya? Ya ampun!! Aku kan sudah bilang malem ini gak ngerayep ke mana-mana, masak gak percaya sih aku ke rumahmu?!! Pergi bentar
langsung dicariin!"
"Bukan, dari temanmu."

Emma tercengang, "Hah? Ini kan rumahmu?"
"Justru itu yang bingungin. Namanya Dennis."

Tiba-tiba Emma membelalak. Kaget campur senang,"Astaga...Dennis? Sini cepat!"

Secepat kilat Emma berlari ke arah Ann dan menyambar gagang telponnya,
"Uhm...hallo? Sapa nih?" "Dennis? Dennis yang mana ya?" Emma terkikik pelan menatap Ann.
"Ohhhh....Dennis yang itu? Yang ketemu di kampus itu ya? Iya...iya...aku ingat. Kok bias telpon ke sini? Ohhh gitu. Iya, aku lagi dirumah temanku. Biasalah, belajar. Besok aku tidak ada ujian, tapi aku kan emang suka belajar bareng temen. Asah otak donk, biar tambah pinter."

Ann tersenyum geli. Ia mulai penasaran siapa sih Dennis itu. Katanya ketemu di kampus... Emma melirik sekilas pada Ann yang berdiri mematung , kemudian mengibas-ngibas
tangannya. Sana pergi...nguping aja! Ann beralih ke dapur, ia mengambil sekotak orange juice dingin dan menuangnya kedalam gelas kosong. Sambil meneguk juice pelan-pelan, samar-samar ia mendengar suara percakapan Emma dan cowo bernama Dennis itu.

"Ah ganjen lo! Idih amit-amit deh. Enggak lah, aku mah belum punya pacar."

Glek..Ann meneguk tetesan terakhir juice-nya dengan kaget.Reflek, ia pasang kuping
tajem-tajem.

"Kau sendiri gimana? Udah punya pacar blom?" Emma terdiam sebentar,"eh...gimana
ya....kayaknya juga belom punya deh."Lalu tertawa,"Tuh kan! Jahat ih....ngaku-ngakunya udah punya. Wah, berarti kita sama-sama gak ada pacar donk?"

Ann keluar dari dapur, ditatapnya Emma dengan pandangan penuh selidik. Emma langsung menyadarinya, ia mengecilkansuaranya,"Den, aku dipanggil temanku noh. Iya...mau mulai belajar lagi. Nanti malem kita sms-smsan aja ya.Iya...iya...aku senang kok ditelponin. Heeh...bye, Dennis."

Begitu telepon ditutup, Emma menarik nafas panjang perlahan-lahan dan diam sesaat. Lalu tiba-tiba ia berjingkrak-jingkrak senang, berlari dan memeluk Ann sambil tertawa, "Dennis meneleponku!! Asiiikk!!!"

Ann melepaskan cengkraman Emma," Dennis siapa sih?"

Emma mengintip ke pintu kamar Ann, memastikan Josh tidak ada di situ mendengar pembicaraan mereka. Lalu ia buru-buru menarik Ann ke ruang tamu yang sepi. Dengan gaya khas ABG lagi jatuh cinta dan dengan wajah yang berseri-seri Emma menjawab, "Dennis Lionardi. Cowo paling keren di kampus kakakku!"
"De..Dennis apa?"
"Kemarin aku iseng main ke kampus kakakku. Lagi asik-asik makan di kantin eh...tiba-
tiba dia dateng nyamperin aku, ngajak kenalan. Kakakku sih tidak kenal dia, tapi katanya
dia itu makhluk paling kece sekampus. Primus,primadona kampus. Semua cewe juga ngiler ama dia."
"Lalu?"
"Lalu dia minta nomer telponku. Ya gengsi donk kalo langsung kasih nomer HP.Aku jual mahal dikit lah, kasih nomer telpon rumah dulu. Biasa lah....taktik biar gak dianggep naksir balik. Dan dia bener-bener telpon,Ann! Aku gak nyangka!"
"Aku tadi dengar.."

Emma memotong dengan pekikan pelan, "Kyaaa...Dennis telepon aku...aih..kayak mimpi aja. Kau belum liat dia sih, pokoknya ganteng banget!"
"Iya tapi.."
"Denger-denger dia bawa Mercy ke kampus. Bokapnya bos perusahaan apa gitu, trus
nyokapnya sering keluar negri. Gimana cewe-cewe gak ngiler coba?"
"Tadi aku denger dikit, kau bilang ke dia kalau kau belum punya pacar."
"So what?"
"Memangnya Josh itu bukan pacarmu?"
Emma tertawa sebentar,"Ya ampun, Ann. Memangnya aku harus bilang ke Dennis kalau aku sudah punya Josh? Bisa-bisa mundur donk dia? Aku memang sudah punya pacar, tapi boleh kan aku punya temen baru?"
"Maksudmu gebetan baru?" Ann menatapnya dengan gusar, "Kau ini dari dulu gak bias berubah ya?! Udah punya cowo, tetep aja kegatelan ama cowo laen. Dulu kau putus sama Ario juga gara-gara naksir Eric kan? Terus pacar yang sebelumnya juga...siapa tuh, Ian ya? Kau putusin Ian gara-gara kepincut si playboy kampungan Richard kan?"
"Tapi aku jadian ama Josh bukan karena putusin cowo, inget itu!"
"Iya aku tau, kau bilang kau sudah berubah. Sudah gede, dewasa..apalah namanya. Tapi sekarang kok kumat lagi?!"
"Alah...aku kan cuma main-main. Cuma having fun! Aku masih suka Josh kok, masih cinta."
"Segampang itu kau bilang cinta?"
"Gini aja deh. Aku masih pacarnya Josh, Josh juga masih pacarku. Aku dan Dennis Cuma sebatas teman. Tidak kurang juga tidak lebih. Oke...Dennis memang menarik, keren, ganteng, tapi aku gak bakalan mutusin Josh demi dia. Oke?? Puas, nona Annie-ku sayang?" Emma mendengus kesal, "sudah bisa tenang sekarang?"
Baru saja Ann mau buka suara lagi, tiba-tiba entah dari mana Josh menampakkan diri di
ruang tamu itu. Wajahnya kelihatan kusut, "Ada apa nih? Aku dari tadi nungguin di kamar."
"Oh tidak ada apa-apa," Emma menghampirinya dan tersenyum manja, "yuk belajar lagi."

***

Ann duduk semeja dengan Ria dan Priska, 2 teman sekelasnya, di meja kantin paling pojok kanan. Mereka sedang asik makan siang sambil bercanda menertawai guru BP mereka yang baru cuti hamil.
"Asik nih kita gak usah liat tampang Bu Dian lagi. Moga-moga abis lahirin anaknya, dia langsung pensiun deh!" celetuk Ria sambil mengigit bakso telurnya.
"Ih jahat amat! Kualat luh ngatain orang hamil!" Priska tertawa.
"Eh salah sendiri, lagian jadi guru BP kok galak banget! Masak pake rok pendek dikit aja
langsung diomelin. Mana diomelinnya di depan kelas lagi, malu-maluin orang aja."
Ann tertawa kencang menatap Priska,"Si Ria bisa malu juga ya? Makanya, Ria,pake rok tuh kira-kira dikit. Itu mah namanya bukan pendek lagi, gak usah pake aja sekalian. Jongkok dikit aja tuh rok udah kayak mau robek!"
"Emang udah robek,tau! Si Ria kan bawa jarum ama benang tiap hari, disuruh emaknya
buat jaga-jaga."

Ann dan Priska tertawa terpingkal-pingkal, Ria samasekali tidak menghiraukan mereka. Bakso uratnya ditusuk dengan garpu,"Ini bakso jangan sampe melayang ke muka kalian." "Eh, ada Josh tuh." ujar Priska tiba-tiba. Tawa Ann langsung mereda, ia menoleh ke belakang dan melihat Josh dating menghampiri meja mereka dengan senyum cerah.
"Hai, rame amat nih meja?"
"Hai Jooooosh...." sapa Ria dan Priska bersamaan.
"Mau kemana? Kok bawa tas?"
"Oh iya nih," Josh menenteng tas sekolahnya sambil tersenyum bangga,"hari ini mau kesekolah laen buat tanding basket persahabatan. Pemanasan, buat turnamen bulan depan. Yang masuk team inti hari ini boleh gak ikut pelajaran terakhir."
"Wah, enak banget! Eh ngomong-ngomong team kalian butuh cheerleaders gak? Kalo ada aku mau ikut ya, enak bisa cabut sekolah." Ria terkikik pelan.
Ann tersenyum ringan pada Josh,"Sukses ya buat tandingnya. Maennya jangan kasar!"
"Memangnya aku pernah maen kasar?" Josh mengacak rambut Ann dengan santai, Priska
dan Ria langsung saling beradu pandang.
" Udah ah, pergi dulu ya! Bye semuanya."
"Byeee....."
Priska mencolek Ann, "Mesra amat....ntar ada yang cemburu luh!"
"Iya....noh yang baru diomongin dateng tuh, panjang umur banget si Emma." bisik Ria.
Emma menghampiri meja mereka beberapa detik setelah Josh pergi.
Ia hanya tersenyum kecil pada Ria dan Priska tanpa menyapa sedikitpun. Kelihatannya sedang terburu-buru, "Ann, aku mau ngomong bentar nih. Penting."

Wajah Ann menegang saat Emma mengutar akan maksudnya menculiknya ke wc.
"Apa kau bilang? Aku harus menemanimu kencan dengan Dennis?" Ann terdiam menahan marah saat dilihat wajah sahabatnya itu tersenyum-senyum penuh harap.
"Ayolaahhh,Ann. Josh kan hari ini pergi tanding, jadi dia gak bakalan tau kalo kita pergi
ama Dennis dan Vincent."
"Siapa lagi tuh Vincent!!"
"Temannya Dennis, katanya Dennis mau bawa temennya. Jadi kita sekalian aja double date."
"Idih ogah deh! Ngapain sih kencan ama tuh cowo! Kau ini kalo bukan namanya kecentilan lalu apa? Aku kan sudah bilang kemarin,kau memang dari dulu gak pernah
berubah!"
"Kalau kau tidak suka dengan istilah kencan, ya kita ganti aja deh namanya. Apa kek....pergi bareng temen. Dennis kemaren ngajak nonton abis pulang sekolah, katanya dia mau jemput aku di sini. Tapi karena ada Vincent....jadi kupikir lebih baik aku mengajakmu juga....kan gak enak pergi bertiga. Culun."
"Lebih culun lagi kalau aku mau ikut! Emma...Emma....berapa kali aku bilang, kau
jangan mengulang sifat jelekmu itu. Kalau cowo-mu yang sekarang ini bukan Josh,
mungkin aku tidak akan peduli. Tapi ini Josh....dia itu kurang apalagi? Kau masih juga kegatelan ama cowo lain! Centil,tau!"

Emma mulai kelihatan kesal,"Susah deh punya pacar yang terlalu deket ama temen
sendiri, bawaanya tuh temen jadi reseh!"
"Aku tidak akan setuju kau pergi dengan Dennis, meskipun kau bilang itu bukan kencanlah....cuma temen lah....Kau harus pikirin perasaan Josh. Sadar gak sih, kau ini ngelaba mulu kerjaannya! Katanya sudah berubah, sudah dewasa. Mana?!"
"Aduuuhhh, kau ini kuno amat sih pikirannya? Belajar mulu sih, gak bisa seneng-seneng dikit! Aku kan sudah bilang, aku ini masih suka ama Josh. Masak sih aku gak boleh punya banyak temen mentang-mentang aku udah pacaran ama dia? Yang bener aja!"

Ann membisu, ia hanya bisa menggeleng-geleng kepala.
"Aku dan Dennis benar-benar cuma teman. Dia cuma ngajak nonton aja kok! Kau mau kan nemenin aku? Pleasee..."
"Gak mau!"
"Gini nih ama temen?"
"Justru karena aku temanmu, aku tidak mau!"
"Aku janji ini yang terakhir, aku gak bakalan minta tolong yang aneh-aneh lagi deh. Dennis itu anaknya asik, rugi kalo gak temenan ama dia. Ini yang pertama dan yang terakhir deh aku pergi ama dia. Janji....suer...pleaseeeee....."

Nafas Ann turun naik saking keselnya, "Apa untungnya kalo aku ikut? Buang-buang
waktu aja."
"Ya...setidaknya di situ nanti kau bisa liat sendiri kalo aku dan Dennis emang bener-bener cuma temenan. Setelah itu kau bisa bernafas lega. Bukannya itu menguntungkan?"

Emma tersenyum penuh kemenangan. Emma selalu menyusahkan Ann sejak pertama
kali mereka berteman, biasanya Ann tidak pernah mengeluh karena Emma selalu bisa mencari akal untuk membuatnya mengalah. Tapi kali ini situasinya lain, ini ada sangkut pautnya dengan Josh. Ann memang menyukai Josh, tapi justru karena perasaannya itulah Ann tidak mau melihat Josh disakiti Emma seperti yang sudah dilakukan Emma pada pacar-pacar sebelumnya. Benar juga....kalo aku ikut, setidaknya nanti aku bisa mengawasi Emma. Jangan sampe dia naksir beneran ama Dennis! Siapa tahu mereka memang cuma temenan....
"Ya udah," jawab Ann terpaksa, "nanti abis pulang sekolah."
"Asiiiiikkkkk.........kau memang temanku yang paling baek sedunia!"

Begitu bel tanda pulang berdering, Ann langsung beranjak keluar dari kelas. Ia harus rela membatalkan janjinya menemani Priska cari kado sore ini. Emma sudah menunggunya di depan pintu kelas, dengan gaya khas-nya ia bersungut-sungut, "Kok lama sih? Cepetan donk, si Dennis udah nungguin tuh dari tadi."
"Iya...iya..."

Mereka janjian ketemu di depan lapangan basket sekolah. Ann benar-benar tidak mengerti mengapa Emma bisa memilih tempat itu, bukankah banyak anak-anak basket yang nongkrong di situ? Anak-anak basket itu semuanya temannya Josh. Apa Emma tidak takut akan ada yang melapor pada Josh nanti?
"Kok ketemuannya di sini sih? Mentang-mentang pada pergi tanding semua....tapi kan ada Rico tuh, ntar kalo dia ngadu ama Josh gimana?" bisik Ann.

Rico, teman basket Josh yang tidak ikut tanding hari ini, melambai-lambai ringan pada mereka berdua dari sudut lapangan.
"Yang takut itu seharusnya aku, kau ini tenang aja deh!" Emma membalas lambaian Rico dengan senyuman manis. Kemudian pandangannya menyapu ke seluruh pelosok tempat itu, mencari-cari sosok Dennis.
"Itu dia!!" seru Emma,wajahnya kelihatan senang. Ann segera menoleh ke tempat yang ditunjukkan Emma. Ada 2 cowo di sana, kehadiran mereka tampak sangat mencolok di tengah-tengah keramaian anak sekolah karena mereka 1-1nya yang tidak pakai seragam sekolah. Ann memicingkan matanya. Yang mana Dennis?
Kedua cowo itu sama-sama jangkung. Yang 1 penampilannya agak sangar dengan anting ditindik di kuping sebelah kanan dan ditengah-tengah bibir bawah. Kalo yang 1-nya lagi penampilannya lebih flamboyan, lebih rapi. Tapi wajahnya itu loh...cengar-cengir mulu
dari tadi, matanya terus melirik cewe-cewe sekolah. Emma melambai pada mereka berdua. Mereka langsung datang menghampiri.
"Halo," sapa si cowo sangar.
"Halo,Dennis" Emma tersenyum sangat manis.

Glek.....ini yang namanya Dennis? Si manusia tindik ini? Ann mencuri pandang pada Emma, kok cowo model gini ditaksirin sih? Dibandingin ama Josh mah......JAUH! Si manusia tindik,alias Dennis, menatap Ann dengan tatapan ingin tahu, "Ini ya yang namanya Ann? Yang waktu itu di telepon?"
"Iya, ini Ann. Kenalin ya. Ini Dennis, dan ini..." Emma melirik
si cowok flamboyan.
"Vincent" ia tersenyum lebar sambil memamerkan deretan gigi silaunya. Kemudian menjabat tangan Ann dan Emma bergantian. Dari tadi nih anak senyam-senyum terus!
"Mau nonton kan nih? Abis itu pulangnya ke cafe yuk!"
"Boleh....boleh.....Mau kan, Ann?" bujuk Emma.
"Pulangnya gak bakalan malem kok, ntar kita anterin.Tenang aja." Dennis tersenyum penuh arti, kemudian mengedip sebelah mata pada Ann. Ann merinding, entah kenapa ia merasa ada yang tidak beres dengan cowo yang satu ini.

Mereka akhirnya berangkat juga naik mobil Vincent, Vincent juga yang menyetir . Dennis bilang mobilnya lagi masuk bengkel, tapi tampaknya Emma agak kecewa karena tadinya ia berharap bisa naik Mercy Dennis. Pertama-tama mereka mengantar Emma dan Ann pulang ke rumah masing-masing dulu, ganti seragam mereka dengan baju biasa. Lalu rencana tiba-tiba berubah, mereka tidak
jadi ke bioskop. Langsung ke café tempat
nongkrong Dennis. Sepanjang perjalanan, Emma terus berceloteh dengan semua omong kosong yang membuat Ann muak. Misalnya, Emma mengaku baru pacaran 2 kali, putus ama yang pertama gara-gara long distance lalu yang kedua karena tidak disetujui orang tua. Jelas aja semuanya itu bohong. Tapi Ann tidak terlalu peduli, yang penting Emma sampai sejauh ini masih belum melampaui batas dengan Dennis. Dennis benar-benar bukan tipe cowo yang bakal disukai Ann. Ia tipe cowo yang gencar menebar pesonanya. Sedari tadi terus membual tentang pekerjaan bokapnya, urusan-urusan nyokapnya di luar negri, tentang koleksi mobilnya, bahkan tidak segan-segan menunjukkan HP canggih keluaran terbaru miliknya. Emma terpesona dengan semua cerita si manusia tindik itu, ia tidak malu-malu meminta Dennis memotret wajahnya
dengan kamera Hp-nya. Rasa mual Ann hampir mencapai puncaknya kalau saja mereka tidak cepat-cepat sampai ke café. Vincent memarkir mobilnya di tempat parker reserved, tukang parkir tampaknya sudah sangat mengenal Vincent maupun Dennis. Wajah tuanya kelihatan senang saat Dennis turun dari mobil dan memberinya
uang tips yang tidak kecil. Emma makin terpesona. Disenggolnya pinggang Ann, “Eh liat tuh Dennis, dia kasih tips-nya gede banget.”

Ann mengibas-ngibas kerah bajunya,”Gerah nih!”

Mereka masuk ke dalam café. Alunan music R&B yang berdentum kencang mengisi seisi ruangan. Saat itu café masih lumayan sepi, sofa-sofa empuk yang tersusun di sepanjang dinding masih terlihat kosong dan hanya ada beberapa meja yang ditempati sepasang anak ABG. Ann jarang ke café kecuali kalau ada acara khusus.Tapi ia akui tempat ini lumayan juga, suasananya nyaman. Kalau agak malam dikit mungkin bakal ramai. Mereka mengambil tempat duduk di salah satu meja bulat yang paling dekat dengan stage. Emma kembali sibuk mengoceh-ngoceh dengan Dennis dan Vincent tentang apa saja yang menurutnya bisa menarik perhatian dua cowok itu, sementara Ann lebih suka membaca menu pesanan yang berisi makanan dan minuman yang diberi nama-nama aneh.
“Oi!” Dennis tiba-tiba menendang kaki Ann,”diem aja dari tadi.”
Ann mendengus kesal, “Itu memang hobiku.”
“Jangan gitu donk, kita ke sini kan buat senang-senang. Nyantai aja tuh kayak si Emma.”
Ann menoleh ke arah Emma yang sedang asik ngobrol dengan Vincent. Terus terang Ann sekarang malah merasa kehadirannya sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Ia merasa seperti orang tolol.
“Waktu itu kok gak ikut Emma ke kampus?”
”Buat apa? Mendingan tidur dirumah.” Ann berusaha bersikap sewajar mungkin didepan Dennis, tapi entah kenapa ia merasa tidak nyaman berada dekat-dekat si manusia
tindik itu.
“Annie emang kerjaannya tidur di rumah,” timpal Emma tiba-tiba, ia merangkul pundak Ann sok manja,”dia itu sehari-hari kalo enggak tidur ya belajar. Makanya kalian cariin dia pacar donk, biar gak kesepian.”
“Nih, kita-kita juga masih single semua.”
Dennis tersenyum sok cakep, “pilih mana,Ann, aku atau Vincent? Vincent itu playboy loh, kau jangan mau ya. Sama aku aja.”
Emma tercengang, “Ann tidak suka tipe cowo sepertimu! Iya kan,Ann? Iya kan?! Ama Vincent aja ya! “
“Iya...iya...aku tidak suka cowo yang mukanya isinya cincin semua. Kayak banci! Udah deh, pesen makanan kek, aku laper nih!” sahut Ann cuek. Emma kelihatan lega. Vincent tertawa geli. Dennis memilin-milin tindikan di bibirnya dengan wajah kusut.

Setelah menghabiskan makanannya, Ann baru sadar kalau tas-nya ketinggalan di mobil Vincent. Padahal tadi ia bermaksud ingin cepat-cepat minta bon, langsung bayar masing-masing dan memaksa mereka segera mengantarnya dan Emma pulang. Ia benar-benar tidak betah berlama-lama di tempat itu dengan 2 cowo asing yang baru dikenalnya beberapa jam. Dennis dengan gayanya yang sok keren terus membanjiri Emma dengan kata-kata manis penuh pujian. Emma kelihatan senang.
“Waktu pertama kali liat di kampus, kau ini kelihatan seperti mahasiswi. Sungguh, aku kira kau mahasiswi baru. Aku tidak pernah melihatmu di kampus sebelumnya, biasanyakan aku tidak akan lupa kalau ada cewe cakep di kampus.” Ujar Dennis.



Emma tersenyum imut,”Gombal.....”

“Eh ngomong-ngomong kau suka tipe cowo yang kayak gimana?”

“Hm....yang kayak gimana ya....” Emma pura-pura berpikir keras, ”yang penting baek,kalo diajak ngomong bisa nya

mbung. Terus harus setia!”
Ann rasanya ingin menutup kuping mendengar jawaban Emma.
“Kau yakin belum punya pacar? Masak sih cakep-cakep gini gak ada pacar?”
“Bener! Aku masih jomblo, tau! Emang kenapa sih dari tadi nanyain
itu mulu? Penasaran banget.....” Emma sepertinya lupa dengan kehadiran Ann, ia malah terang-terangan menunjukkan di depan mata Ann kalau ia memang tertarik pada Dennis.
Ia lupa dengan semua ucapannya pada Ann tadi. Pemandangan itu membuat Ann merasa seolah-olah ada deja-vu. Kisah lama bakal
terulang kembali, kisah klasik di mana Emma tergila-gila dengan cowo yang hanya modal tampang doank, lalu membuang pacar lamanya tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Perut Ann melilit sewaktu membayangkan Emma memutuskan hubungannya dengan Josh. Ia membayangkan perasaan Josh, bagaimana sakit hatinya cowo itu nanti.
“Tasku ketinggalan di mobil.” Ann mencoba mengalihkan pembicaraan mereka berdua, ia menatap Vincent,” mana kunci mobilmu? Aku ambil bentar ntar balik lagi.”
“Aduh, ngapain sih cepet-cepet? Kan kita baru selesai makan.” Emma cemberut.
“Nih kunci mobilnya.”
Di luar dugaan, Dennis tiba-tiba menyambar kunci mobil itu dari tangan Vincent. Ia beranjak dari kursinya,”Ayo, kuantar ke mobil.”
Emma tercengang,”Loh? Loh? Mau kemana?”
“Cuma anterin dia ke mobil kok.” Lagi-lagi si manusia tindik itu mengedip matanya. Ann berlari kecil ke mobil Vincent, sebisa mungkin menghindari rintik-rintik gerimis yang menghujaninya. Ann tidak terlalu memperdulikan kehadiran Dennis yang mengikutinya dengan santai dari belakang. Dennis membukakan pintu mobil untuk Ann, “Mumpung cuma ada kita berdua, kuharap kau mau ramah sedikit padaku.”

Ann tidak mengerti maksud ucapannya, ia mengambil tasnya dari dalam mobil Vincent kemudian beralih menatapnya heran, ”Maksudmu?”
“Kelihatannya kau tidak terlalu senang melihatku akrab dengan Emma.” kata-kata itu meluncur dengan ringan, disertai senyum genit, ” cemburu ya?”
“Aku? Cemburu?” rasanya Ann ingin tertawa,”sori ye! Aku memang tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan Emma. Aku tidak mau tahu kau ini serius atau tidak, tapi kuberitahu aja ya, Emma itu..”
“Sudah punya pacar?” potong Dennis cepat.
Ann tercenung diam.
“Itu mah aku sudah tau, aku sudah bisa menebak sendiri kok.”
”Lalu kenapa kau masih mengejarnya?!”
“Siapa bilang aku tidak boleh mengejarnya? Aku ini senang bergaul, apalagi ama yang namanya cewe cakep. Dia udah punya pacar atau belum itu bukan urusanku. Kalau kau tidak suka aku dengan Emma....ya...aku mengejarmu aja ya.”

Seumur hidup Ann belum pernah bertemu dengan cowo se-buaya Dennis. Ia merasa mualdan jijik dengan cowo itu. Apa ia kira de
ngan modal tampangnya itu bisa dengan mudah menggaet semua cewe yang ia mau?
“Aku becanda!!!” Dennis terpingkal-pingkal melihat wajah Ann yang pucat pasi menahan muntahan, ”aku becanda. Jangan marah donk.....gitu aja marah. Aku baru sadar, sejak tadi siang sampai sekarang aku belum pernah melihatmu tersenyum.”
“Senyumku terlalu mahal untuk cowo sepertimu.” Ann melangkah pergi meninggalkan Dennis.

Dennis mencegatnya,”Eh tunggu dulu, aku ini cowo baik-baik loh...aku bisa membuktikannya.”
“Oh ya?” Ann menepis tangan Dennis dengan kasar,” kalau begitu buktikan sekarang juga! Kau sendiri kan,yang tadi bilang sudah tau Emma sudah punya pacar? Itu bukan aku yang bilang loh. Kalau kau memang sudah tahu, dan kalau kau memang cowo baik-baik, jauhi dia mulai detik ini juga! Jangan dekati dia lagi!”

Dennis malah tersenyum misterius. Matanya menatap Ann tajam seperti sedang menilai seperti apa Ann di matanya. Setelah diam beberapa saat akhirnya ia mau melepaskan Ann, membiarkan gadis itu pergi meninggalkannya. Ann berjalan masuk ke café. Entah kata-kata apalagi yang harus dipakainya untuk menggambarkan betapa kesalnya Ann pada manusia tindik itu. Ia tidak habis pikir kenapa Emma bisa-bisanya tergila-gila dengan model cowo seperti itu?! Apa Emma sudah kehilangan akal sehat, atau sudah buta? Dennis jelas bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Josh!

Begitu Ann kembali ke mejanya, tak lama kemudian Dennis menyusul dengan cepat.Cowo itu tersenyum-senyum puas. Ann bisa menangkap dengan jelas raut wajah Emma yang menatapnya dengan tidak senang. Seolah-olah Ann baru saja melakukan sesuatu yang ‘asik’ dengan Dennis di luar sana. Tapi Emma tidak menanyakannya, ia hanya diam menahan rasa kesalnya pada Ann. Ann bisa mencium gelagat aneh Emma sejak mereka pulang dari cafe. Emma terus-menerus memasang muka cemberut untuk Ann, bahkan ia tidak mau bicara dengannya. Ann tahu betul apa sebabnya, pasti Emma ngiri saat Dennis mengantarnya ke mobil sementara dia malah ditinggal berdua dengan Vincent. Sebenarnya Ann rada kesel juga dengan sikap Emma ini, buat apa sih dia iri dan cemburu? Dennis kan bukan pacarnya?! Kenapa sifatnya kekanak-kanakan sekali, bukannya ia sendiri yang memaksa Ann ikut ke café dengannya?

Di sekolah, Ann bertekad menemui Emma dan memintanya untuk menghentikan tingkah laku childish-nya itu. Emma baru bisa ditemui saat kelasnya sedang pergantian pelajaran olahraga, kebetulan kelas Ann juga lagi kosong. Ann mencegat Emma di depan toilet.
“Kau marah padaku ya?”
Dengan malas-malasan Emma menjawab, “Buat apa? Alasannya kan sudah jelas.”
“Pasti karena Dennis kan?”
“Bagus kalau kau tau diri.” jawabnya ketus.
“Berhentilah bersikap seperti ini, kau mulai membuatku kesal. Kemarin aku hanya mengambil tas dari mobil Vincent! Memangnya kau kira aku ngapain sama si cowo jelekitu?!”
Emma langsung beradu mata dengannya,”Tapi kemarin itu kau sudah keterlaluan! Masak aku ditinggalin berdua ama Vincent?! Cowo yang aku taksir itu Dennis, bukan Vincent! Tapi kau malah pergi dengannya!”
“Cuma ambil tas, itu pun cuma sebentar!”
“Alesan! Aku mana tau kalian sebenarnya ngapain di luar sana
! Sejak saat itu Dennis jadi aneh padaku, jarang mengajakku bicara! Pasti kau bicara sesuatu padanya kan?”
”Bicara apa? Eh, asal tau aja ya, Dennis ternyata sudah
tau kalau kau ini sudah punya pacar! Aku akui aku hampir keceplosan
waktu itu, tapi dia duluan yang ngomong sebelum aku! Aku aja kaget ternyata dia sudah tau kau punya pacar.”
“Bilang aja kau memang tidak suka aku dengan Dennis!”
Ann menarik nafas panjang,”Aku kan memang sudah bilang itu dari dulu. Berapa kali aku harus bilang kau ini sudah punya Josh. Josh itu cowo yang baik, kau jangan sampai menyakiti hatinya. Apa kau sudah gila, menyia-nyiakan Josh demi cowo yang tidak karuan itu?! Kau sendiri bilang kemarin kalau kau tidak akan suka sama Dennis, tapi nyatanya kemarin kau malah centil-centilan di depan dia?!”
“Memangnya kenapa? Yang penting kan Joshtidak tahu! Memangnya aku tidak boleh senang-senang ama cowo laen? Ooh.....aku tahu sekarang,” Emma mengangguk-angguk kecil, belum pernah Ann melihat wajah Emma semarah ini , ”kau mau merebut Dennis dariku kan? Kau mau merebut dia supaya aku tetap dengan Josh!”
”Apa??!! Jangan menuduhku sembarangan!”

Ann marah besar. Hei.....tapi ucapan Emma tadi......hm, boleh juga idenya! Ann mengerut kening. Kalau saja Emma tidak mengucapkan kalimat yang menyakitkan tadi, ia tidak akan pernah kepikiran untuk melakukan hal gila itu. Benar juga kata Emma.....kalau Ann berhasil merebut Dennis, Emma tidak akan memutuskan Josh.
“Kau tidak akan bisa merebut Dennis, memangnya kelebihanmu apa sih?!” Emma memicing matanya, “kau tahu, Ann? Gara-gara peristiwa kemarin itu, aku semakin bertekad untuk mendekati Dennis. Kau lihat saja, kalau sampai aku mutusin Josh, semua itu secara tidak langsung adalah salahmu juga!”

Ann sudah berteman dengannya sejak kecil tapi ia baru tahu di detik ini juga, kalau Emma ternyata benar-benar teman yang menyebalkan. Ia bertanya-tanya kenapa selama ini ia bisa tahan menghadapi sifat jelek Emma. Ann tidak pernah mengeluh ataupun menyimpan dendam meskipun Emma pacaran dengan Josh, bahkan ia rela mengorbankan perasaannya pada Josh untuk Emma. Tapi kenapa Emma bisa dengan mudah meluncurkan kata-kata kasar padanya hanya demi 1 cowo semacam Dennis?
“Kalau sudah ada Dennis, aku akan putus dengan Josh. Titik!”

Ann tercekat kaget,”Kau tidak boleh begitu!”
“Suka-suka aku lah!” Emma tidak mau peduli lagi, ia pergi meninggalkan Ann yang terbengong-bengong sendiri. Ann benar-benar tidak menyangka Emma akan sekejam itu, ia masih mengira Emma dan Dennis paling-paling hanya sebatas having fun, tapi ternyata Emma serius mau dengan cowo menjijikkan itu. Kalau begini Dennis memang harus segera dijauhkan dari Emma. Hujan turun deras saat itu. Kalau saja Ann tidak ada eskul tambahan di sekolah, ia lebih memilih cepat-cepat pulang, tidur di rumah mumpung cuacanya dingin. Dari kejauhan Josh berjalan mendekati tempat Ann, tidak ada Emma di sampingnya.
“Belum pulang? Ada eskul ya?”
Ann kaget, sekaligus gugup,” Eh....iya, ada eskul paduan suara.”
Ann ingat betul apa reaksi Emma waktu dia mendaftar di paduan suara, Emma bilang itu eskul buat orang alim yang tidak tau cara menikmati masa muda. Lucu juga sih, tapi Ann memang suka
bergabung dengan kegiatan ini.
“Di luar hujan loh, kau bawa payung kan?”
“Nih.” Ann menunjukkan payung warna biru langitnya yang sudah bulukan sana-sini. Ann agak malu, cepat-cepat disimpannya payung itu ke dalam tas. Josh malah tertawa,” Kau masih simpen payung itu ya? Kan udah jelek, dibuang juga gak pa-pa kok.”

Tapi ini payung bersejarah.... Ann tidak akan tega membuangnya. Payung inilah yang pertama kali mempertemukannya dengan Josh. Kira-kira 2 bulan yang lalu, sore-sore saat Ann tengah berdiri seorang diri di depan gerbang sekolah menanti hujan reda. Ann tidak bawa apa-apa saat itu, ia hanya menutupi kepalanya dengan file kecil miliknya. Tapi hujan semakin lama semakin deras.
Lalu saat ia mulai merasa putus asa, seseorang tiba-tiba datang dari belakang dan menaunginya dengan sebuah payung. Ann masih ingat betul, saat ia menengadah kepalanya, yang pertama kali ia lihat adalah
warna biru langit yang cerah menutupinya dan melindunginya dari hujan. Lalu ia menoleh untuk melihat siapa orang yang baik hati itu.
“Jangan sampai kehujanan, nanti sakit.” seru orang itu.
Ann terpaku menerima senyuman tulus dari cowo itu.
“Namaku Josh.”
“Ann” hatinya berdegup kencang saat itu.
“Kau murid sini ya? Aku baru mendaftar disini, kelas 3 IPA. Pindahan mendadak dari sekolah lain.”
“Aku juga 3 IPA”
“Oh ya? Wah, semoga aja kita bisa sekelas ya.” Josh tersenyum lagi, lalu tiba-tiba ia menyodorkan payungnya, “pegang ini.”
“Hah?” tapi Ann menurutinya. Lalu tanpa aba-aba, tiba-tiba saja Josh berlari meninggalkannya sambil tertawa kecil. Ann kaget bukan main, ia nyaris tersedak memanggil-manggilnya. Josh berhenti sebentar, ia menoleh sambil menutupi kepalanya dengan telapak tangan lalu berseru kencang,”Payungnya untukmu saja! Cepat pulang ya! Sampai ketemu lagi besok!”
“Ta...tapi....” Ann bergerak maju hendak mengejarnya, tapi Josh berlari semakin cepat dan perlahan-lahan menghilang dari pandangannya. Ann menghela nafas panjang dan hatinya berdegup semakin kencang. Tanpa ia sadari perlahan-lahan bibirnya membentuk sebuah senyum untuk suatu alasan yang ia sendiri tidak mengerti.
*******

Ann memejam matanya, menyadarkan diri dari lamunan panjang.

Setiap kali hujan, aku selalu teringat dengan pertemuan pertama kita. Saat kau mengatakan ‘sampai ketemu lagi besok’, kita memang bertemu lagi keesokan harinya. Aku menunggumu di tempat yang sama di pagi hari itu, untuk mengembalikan payungmu. Tapi kau malah bilang payung itu untukku saja, aku boleh menyimpannya kalau aku mau. Aku memang selalu menyimpannya. Tidak peduli meskipun payung ini semakin lama semakin rusak...

Sejak saat itu lah Ann berteman dengan Josh. Ann memang sudah lebih dulu akrab dengan Josh sebelum Josh dikenalkan pada Emma. Ann tidak pernah bilang pada Emma tentang perasaannya terhadap Josh. Sampai saat ini pun tidak ada seorang pun yang tahu. Ann hanya menyimpannya seorang diri.
“Kau kenapa belum pulang?” tanya Ann.
“Nungguin Emma, dia lagi ada urusan bentar di OSIS. Katanya buat mading besok.Oh iya! Valentine kan udah deket nih, kau sudah ada acara?”
Ann menggeleng.
“Eh menurutmu kira-kira aku harus bikin acara apa ya buat Emma? Aku mau booking café buat berdua. Tapi kayaknya udah kuno ya? Ada ide gak?”
“Yang penting tulus, Emma pasti senang.” Ann berusaha tersenyum wajar. Jauh di dalam hatinya,ia sakit.
“Aku takut tidak bisa membuat dia senang. Kau tau sendiri kan, aku ini beruntung sekali bisa jadi pacarnya, padahal kan banyak banget yang ngejar dia waktu itu. Akh,sekarang juga banyak.” Josh menerawang, “makanya, aku mau bikin dia seneng, bikin dia tambah sayang. Aku takut kehilangan dia.”

Ann hanya bisa membisu. Andaikan saja Josh punya perasaan seperti itu padanya, ia pasti bakal jadi cewe paling bahagia di seluruh dunia. Tapi apa dayanya? Perasaan Josh hanya untuk Emma seorang. Ann hanya seorang teman biasa bagi Josh, hanya tempat baginya untuk berkeluh-kesah. Tapi meskipun begitu Ann selalu ingin yang terbaik untuk mereka berdua. Sudah 2 hari ini Ann dan Emma tidak saling bertegur sapa, peristiwa tempo hari yang tidak mengenakkan ternyata masih membekas di hati masing-masing. Setiap kali berpas-pasan dikoridor sekolah, mereka hanya saling melewati seolah-olah tidak saling mengenal. Emma selalu bisa mencari alas an setiap kali Josh mengajak mereka pergi bertiga. Bahkan Ria dan Priska, 2 teman Ann pun, tidak tahu menahu tentang perang dingin antara mereka. Ann merasa situasi seperti ini benar-benar menjengkelkan. Seumur-umur mereka belum pernah bertengkar hanya karena cowo. Tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengakhirinya, kalau ia bicara dengan Emma lagi bisa-bisa pertengkaran mereka malah tambah hebat. Sewaktu pulang Josh mengejar langkah Ann di depan gerbang sekolah, “Eh tunggu!”

Padahal Ann sudah berusaha menghindar dari cowo ini.
“Kenapa sih, dari tadi kabur mulu? Aku tadi manggil-manggil di kantin gak kedengeran ya?” Josh menatapnya bingung, “ada apa sebenarnya? Kau kelihatan.......aneh.”
“Tidak ada apa-apa kok.”
“Nanti malam aku dan Emma mau pergi ketempat biasa, kau mau ikut kan?”
“Aku sibuk malam ini.”
“Sibuk? Sibuk apa?”
“Hm....mau nemenin nyokap ke kondangan saudara.”
”Kau kan biasanya paling males kalau disuruh ke kondangan?”
“Tapi yang satu ini aku harus ikut.” Ann tersenyum palsu, “lagian kau ini juga aneh, masak pacaran ngajak-ngajak aku?”
”Kau ini kan teman baik aku dan Emma. Memangnya kenapa? Toh kami sama sekali tidak merasa keganggu. Kalau kau tidak ikut, suasananya jadi kurang!”

Pandangan mata Ann tertuju pada map kuning yang sedari tadi ada di tangan Josh ,”Apaan tuh?”
”Oh ini? Buat daftar kuliah. Udah pada buka kan? Aku mau daftar
di tempat yang sama kayak Emma, enak kan kalau bisa satu kampus setiap hari?” Josh tersenyum bahagia membayangkan impiannya bersatu dengan Emma tersayang di tempat kuliah nanti, “kau sudah beli formulir pendaftarannya? Mau masuk jurusan apa?” Ann tidak terlalu memusingkan kuliah. Buat apa pusing-pusing beli formulir pendaftarandi sini, toh orang tuanya bersikeras ingin mengirimnya kuliah di luar negri, mengikuti jejak kakak perempuannya yang sudah hampir lulus di Amrik sana. Tapi Ann juga berat meninggalkan semuanya.

Ah, tapi Josh kelihatannya tidak terlalu peduli aku mau kuliah di mana. Yang penting dia
bisa sekampus dengan Emma. Sebenarnya Ann juga berat berpisah dengan Emma. Waktu SD kelas 5, mereka pernah  berjanji akan sekolah dan kuliah di satu tempat yang sama. Tidak terpisahkan.
“Aku kayaknya disuruh kuliah di luar.”
”Wah....enak donk? Emang susah jadi anak pinter apalagi kaya! Pasti buntut-buntutnya
belajar di luar negri.” Josh tertawa tanpa beban, “jangan-jangan entar dapet pacar orang bule donk?”
“Ah itu mah mimpi!”
”Terus, bagaimana kalau dengan cowo yang itu?”
”Hah? Siapa?”

Josh menunjuk ke arah seorang cowo keren yang sedang berdiri jauh di depan mereka.
Cowo berpakaian santai itu tiba-tiba melambai ke arah mereka. Ann melongo saking
kagetnya. Itu Dennis! Mau apa dia ke sini? Mau cari Emma? Gawat....kan Josh ada disini!
“Dari tadi dia liatin kita terus, kau kenal dia?”
“I...itu temanku.” Jawab Ann gugup.
“Teman apa teman? Teman special ya?”
“Yang bener aja!”
Josh tertawa, “Jangan sewot gitu donk. Tuh, dia manggil noh. Kau mau menemuinya kan? Kalo gitu aku pulang dulu ya, ntar malem kalau kau mau pergi telepon aku aja. Oke? Bye, Ann.”
”Bye.”

Ann mengamati kepergian Josh dengan hati was-was. Setelah yakin Josh sudah lenyap dari situ, ia buru-buru menghampiri Dennis. Ia langsung melabraknya, “Mau apa ke sini! Cari Emma? Dia sudah pulang!”

“Eh, itu tadi pacarmu ya?” Dennis tidak menghiraukan pertanyaan Ann.
“Bukan, itu pacar Emma. Nah, kau sudah liat kan? Emma punya pacar yang keren, kau
tidak boleh mendekatinya lagi!”


“Oh jadi itu pacarnya Emma? Cakep juga. Dibandingin ama aku cakepan mana?”
“Jelas jauh lah! Dia itu cakep luar-dalam! Kau belum jawab buat apa kau datang ke sini? Kalau kau mau cari Emma, Emma udah gak ada di sini! Cepet pulang sana!”
“Siapa bilang aku ke sini buat cari Emma? Aku datang ke sini untuk mencarimu.”
Ann bengong. Dahinya berkerut, “Gak salah denger?”
“Aku datang ke sini untuk menemuimu,” ulang Dennis, “mungkin aku bisa mengantarmu pulang atau mengajakmu pergi? Kita bisa ngobrol-ngobrol lagi kayak hari itu.”

Konyol, bukankah hari itu mereka bukan ngobrol tapi bersilat lidah?
“Jangan becanda deh!”
“Aku serius.”
“Kau datang ke sini bukan untuk Emma?”

Dennis mengendik bahu, “Kenapa sih aku selalu dikaitkan dengan
Emma? Aku ke sini untuk mencarimu. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Emma.”
“Kau ini aneh ya! Buat apa dateng ke sekolah buat cari-cari aku?”
”Aduh....non, di mana-mana kalau ada cowo yang baru kenalan terus langsung dateng kesekolah buat anterin pulang, cowo itu pasti ada tujuan tertentu. Itu namanya PDKT. Ngerti?” Dennis begitu to the point, “kuantar pulang ya? Jalan kaki kan capek. Naik bajaj
kan banyak debu, ntar kalo jerawatan gak cakep lagi donk?”
“Aku tidak akan mau pulang denganmu!”

Tiba-tiba HP Dennis berdering kencang. Dennis memeriksa caller ID si penelepon lalu menerimanya,”Halo, Emma, kenapa?”

Ann membelalak kaget. Itu Emma! Jangan-jangan cewe itu benar-benar serius ingin mendekati Dennis. Ngapain dia telpon ke HP-nya?!
“Kenapa?” Dennis terdiam sebentar, lalu melirik Ann dengan tatapan serba salah. Ann langsung memberi isyarat supaya Dennis tidak memberitahu Emma kalau dia ada di situ bersamanya. Dennis mengangguk kecil, “Engak, aku lagi ama temen kampusku. Ada apa? Hm? Oh....begitu ya? Ketemu di café itu lagi? Jam tiga?”

Astaga........Emma ngajak Dennis pergi?! Ternyata dia emang udah bener-bener nekad dengan ucapannya tempo hari! Jangan sampai Dennis mau! Aku harus mencegahnya! Lalu tanpa diikuti akal sehatnya, Ann tiba-tiba merebut HP dari tangan Dennis secepat kilat. Dennis melongo tak mengerti. Dengan suara kecil Ann berbisik, “Jangan pergi dengannya. Kumohon....”
“Memangnya kenapa?” Dennis balas berbisik.
“Aku....uhm...aku...hei! Bukankah tadi kau bilang mau mengajakku pergi? Kita pergi aja sekarang! Oke?”

Dennis tersenyum nakal, tapi ia menggeleng. “Sini, balikkin handphone-ku.”

Ann mendesah kecewa lalu diserahkannya handphone itu pada si pemilik. Ia menunduk kesal, apa tidak ada cara lain untuk mencegah Emma melancarkan aksi gilanya? Melihat tipe cowo semacam Dennis keliatannya Dennis juga bakal ke-GR-an dengan aksi Emma.
“Halo, Emma? Iya sori tadi gak dapet sinyal, suaranya putus-putus. Tadi sampai mana? Ketemuan jem 3 ya? Hm.....boleh juga,” Dennis mencuri pandang ke arah Ann, “Eh,tunggu dulu. Oh iyaaa.... Aku baru inget, jam 3 nanti aku ada janji ama temen kampusku nih. Waduh sori banget ya, Ma! Lain kali mungkin?”

Ann mendongak tak percaya, ia tersenyum lega mendengar jawaban Dennis. Phew....

“Kau yakin tidak apa-apa? Oke deh, sori banget ya. Oke...oke....bye, Emma.” Dennis menutup flip HP-nya dengan penuh per caya diri,”Oke, aku sudah memenuhi permintaanmu. Hari ini, kau jadi milikku!”
***
Ann merasa agak rikuh berada di tengah-tengah kerumunan orang yang asik bergoyang dilantai disko. Cewe-cewe gaul dengan potongan baju minim berbaur dengan cowo-cowo yang asik mengerayangi tubuh mulus mereka, mereka menyatu dalam 1 irama music yang berdentum kencang. Suasana itu membuat Ann merasa tidak nyaman, ia malah kelihatan culun berada di tengah-tengah mereka. Matanya berusaha mencari Dennis ditengah-tengah lampu disko yang meredup-redup dalam kegelapan. Belum apa-apa Dennis sudah ada di belakangnya, “Aku sudah dapat tempat, yuk ke sana!”
 



Dennis membawa Ann ke meja di depan bar yang masih tersisa 2 tempat. Ann mengencangkan suaranya melawan dentuman musik yang memecahkan gendang telinga, “Kenapa kau mengajakku ke sini?”
“APA???”
“KENAPA KAU MEMBAWAKU KE TEMPAT INI? AKU TIDAK SUKA!” teriak Ann.

Dennis tersenyum lebar, “KITA SENANG-SENANG AMPE MALEM! KAU PASTI AKAN SUKA!”

”SAMPAI MALEM? KAU TADI BILANG CUMA SAMPAI JAM 10!”
Dennis hanya tertawa keras, tak lama kemudian ia larut dalam suasana di dalam diskotik. Kepalanya dihentak-hentakkan mengikuti irama musik, badannya mulai ikut bergoyang. Seorang bartender yang berpenampilan cuek dengan bandana merah di kepalanya
menyapa Dennis, “Hey coi, mau pesen minum apa?”
“Biasa.”
Bartender itu melirik Ann,
“Cie....gebetan baru nih?” Dennis merangkul pundak Ann sok akrab, “Namanya Ann, mulai sekarang dia ini pacarku!” kemudian tertawa, “gimana, oke kan?!”
Si bartender mengacung jempol, “Sip lah! Buaya kampung kayak lu emang paling mantep cari mangsa!”
Ann mendorong Dennis jauh-jauh, “Aku bukan pacarnya! Hey, jangan sentuh-sentuh aku!”
“Bener, cewe, jangan mau digrepe-grepe ama nih anak. Dia itu paling suka ngerayu cewe di sini, korban-korbannya udah banyak tuh! Kalo dikumpulin rame-rame mungkin si buaya ini bisa dikeroyok. Hati-hati ya!” bartender tertawa sambil memberi mereka 2 gelas minuman keras beralkohol.
“Aku tidak minum.”
“Ayolaaahh, minum segelas gak ada salahnya. Kau pasti lagi banyak pikiran ya? Aku tahu. Nah, ini minum sedikit aja udah bisa lega. Asik deh, bisa bikin kita lupa semuanya,”
Dennis mengambil gelasnya dan menghabiskan minuman itu dengan sekali teguk,
“AAHHH!!! Asik punya coi!”

Ann menatapnya jijik.
“Percaya deh, ayo coba diminum.”
“Tidak, aku tidak mau. Aku pesan yang lain saja.”
Tiba-tiba Dennis terkekeh.
“Kenapa ketawa?!”
“Bener juga kata Emma, kau ini anaknya terlalu kaku, kolot, kuno! Gak asik! Gak bisa nyantai dikit.”
“Emma bilang begitu?”
“He-eh. Dia pernah bilang padaku waktu kau lagi gak ada. Tadinya kupikir mungkin dia cuma sirik atau apalah, eehh...ternyata bener. Sadar donk, non, kita kan masih muda, seneng-seneng dikit gak ada salahnya. Aku berani taruhan, hidupmu selama ini pasti sangat membosankan kan? Kau punya hidup yang monoton, yang membuatmu ingin melakukan sesuatu yang gila sekali-kali.Kau ingin keluar dari lingkaran itu tapi kau tidak tahu caranya. Nah, aku akan membantumu keluar dari situ. Ayo kita senang-senang malam ini! Apa kau tidak mau tahu apa itu senang-senang? Kau tidak mau mencobanya? Apa kau tidak mau senang-senang melupakan segalanya?”

Ann meraih gelasnya, ragu.
“Untuk malam ini saja, kita lupakan semua unek-unek yang ada di hidup kita! Kita buang jauh-jauh semua beban kita! Malam ini kita bebas melakukan apa saja yang bisa membuat kita senang. Malam ini kita....terbang!!” teriak Dennis.

Terbang? Aku ingin terbang meninggalkan semua kepenatanku. Terbang meninggalkansemua masalahku! Diteguknya minuman itu perlahan-lahan. Pahit...pedas...Ann tidak bisa membedakannya. Rasa panas membakar seluruh rongga dadanya, kepalanya berdenyut-denyut dan pusing. Pandangan matanya terasa linglung. Padahal ia
baru minum 1 gelas kecil tapi rasanya.....
“Lagi!” Dennis menyodorkan gelas baru.
Lagi? Ya, apa salahnya?
“HAHAHAHAHAHA!!!!!!” tawa Ann meledak bersamaan dengan Dennis. Gelas demi gelas mulai memenuhi meja mereka. Hingar-bingar di sekelilingnya semakin malam semakin tidak karuan. Sekeliling Annterasa sangat sesak, sumpek, belum lagi ditambah dentuman musik yang semakin keras. Setengah jam berlalu tapi Ann tidak merasa penat lagi. Kini ia merasa nyaman, seisi kepalanya terasa kosong tanpa beban, tubuhnya terasa ringan hingga seakan-akan ia bisa melakukan apa saja yang ia mau. Alkohol te
lah merasukinya. Ia sudah menghabiskan 5 gelas dan rasanya tidak masalah untuk menambah lagi. Ia terbang....

“Wuiiingg.....” Ann terkikik sambil membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, “benar katamu, minuman ajaib ini bisa memberiku sayap.”
Dennis tersenyum, “Asik kan? Nih, minum lagi. Tenang aja
aku yang bayar semuanya.”

Ann merebut gelas itu dari Dennis dan langsung menghabiskannya. Ia membanting gelasnya ke atas meja sambil tertawa puas,
“Emma salah besar kalau dia bilang aku ini anak baik-baik yang tidak tau cara senang-senang. Kuberitahu ya.....aku ini....” Ann
mulai merasa perutnya seperti dikocok-kocok, rasa mual menyesak di dadanya, “aku ini sudah muak mengurusi semua masalah dia! Aku....tidak peduli lagi! Bodo amat dia mau ngapain kek!”
“Yeah...ini baru namanya menikmati hidup!”
“Aku tidak peduli dia hari ini mau kencan dengan Josh.....aku tidak peduli dia mau berpura-pura di depan Josh....aku tidak peduli dia mau menyakiti hati Josh....” Ann merasa pusing, “aku adalah aku....mulai
sekarang aku bukan lagi dayang-dayangnya....aku mengurusi masalahku sendiri........sebodo amat dengan semuanya.........”
“Hey, Ann, kau sudah ‘terbang’ ya?”
“Terbang?” Ann bangkit berdiri dari kursinya, dengan langkah sempoyongan ia menghampiri kerumunan orang di lantai disko, ia mengamati mereka satu persatu sambil tertawa.
“Hey cantik, mau ikut?” seorang cowo berpenampilan urakan menarik pinggangnya.
Ann samasekali tidak mengelak, ia malah mengikuti cowo itu dan ikut bergoyang bersamanya. Hentakan musik membuatnya semakin tidak terkendali. Yang ada dipikirannya sekarang hanya senang-senang, ia mau melepaskan semua kepenatannya malam ini. Di tempat ini, saat ini juga. Ia tidak terlalu sadar apa yang sedang ia lakukan dan siapa saja yang ada di sekelilingnya. Ia membiarkan tubuhnya bergerak bebas. Lalu tanpa ia sadari cowo itu mulai melancarkan aksinya, tangannya gerayangan disekitar bahu Ann dan mulai turun ke pinggangnya. Tubuhnya mendekat menempel padaAnn yang masih saja bergerak mengikuti irama musik. Semakin kencang music menghentak, semakin liar gerakannya.

Dennis mengamati dari kejauhan, matanya berkilat. Namun ia tersenyum menikmati.... Cowo itu membisikkan sesuatu tepat di telinga Ann. Ann tertawa. Kemudian ia menyibak rambut panjang Ann ke belakang, jari-jarinya mulai bergerak nakal di sekitar leher Ann. Perlahan-lahan namun pasti, ia mulai membuka kancing teratas dari kemeja Ann. Orang-orang di sekitarnya tidak ada yang peduli, mereka sibuk sendiri-sendiri tanpa memperdulikan pemandangan yang sudah wajar itu. Tapi Ann pun tidak peduli. Kemudian kancing kedua...... Dennis meneguk minumannya dengan santai. Lagi-lagi cowo itu berbisik menggoda, Ann tidak ambil pusing. Kancing ketiga......... Ann mulai merasa gerah, ditepisnya tangan cowo itu sambil terus bergoyang. Cowo itu malah semakin mendekat dan tangannya bergerak meraba pinggul Ann.

“Hey, bung.” seseorang tiba-tiba mengambil tangannya dan mencengkramnya dengan kasar, “jangan main-main dengan pacar
ku.” Entah dari mana Dennis muncul. Ann belum sadar juga, ia malah mendorong Dennis jauh-jauh, “Minggiiirr.....aku lagi asik.”
“Ini pacar lu?” tanya si cowo urakan.
“Iya, kenapa?!” Dennis melotot padanya.
“Ya udah terserah, sono bawa pergi.” Cowo urakan itu pergi meninggalkan mereka, mencari mangsa baru yang lebih sexy.
“Ayo kita pulang, kau sudah benar-benar mabuk berat malam ini.” Dennis menarik Ann dan membopongnya menerobos kerumunan orang yang berdesak-desakan di sana.
Beberapa orang yang mengenal Dennis menyorakinya.
“Oi...mangsa baru nih? Mau dibawa ke mana woi? Hotel ya?”
“Bawa ke rumah aja.”
“Asik nih, barang baru. Tumben-tumbenan lu dapetin cewe yang masih ‘fresh’ , lu kasih minum apa dia ampe teler kayak gitu?”
“Asik deh lu malem ini! Dasar lu licik, maenin tuh cewe pas dia lagi teler!”
Dennis tersenyum kecil pada mereka. Dennis membopong tubuh mungil Ann sampai keluar diskotik. Ann terus menolak pulang dan berusaha melepaskan dirinya dari Dennis. Langkahnya sempoyongan, pandangan matanya kabur. Tapi ia tidak peduli.
“Ngapain nyuruh aku pulang.........kau sendiri yang tadi bilang aku harus senang-senang....” Ann melepaskan pegangan Dennis.
Dengan linglung ia kembali berjalan kepintu masuk diskotik, “aku mau masuk lagiiii.........”
“Eh eh.....jangan masuk lagi,” Dennis menariknya, “melihat keadaanmu seperti ini, dalam sekejap saja kau sudah bisa digerayangin habis-habisan.”
“Biariiiinnn.....aku tidak merasa apa-apa! Kenapa kau menarikku keluar?? Aku lagi ‘terbang’!”
“Terbangnya jangan jauh-jauh dariku donk. Aku kan takut kalau pacarku kenapa-napa. Boleh kan aku jadi pacarmu?” Dennis tersenyum menggoda. Tapi yang digoda malah tertawa,”Kau bilang apa tadi? Gak kedengeraaannn” Ia menghampiri Dennis dan menatapnya dengan mata dibuka lebar-lebar, kemudian ia menepuk pipi Dennis. Pok...pok....pok....Ann tertawa, “Kenapa wajahmu ada 2 ?”

Dennis menyingkirkan tangannya, “Wajahku cuma ada satu. Itu karena kau sudah mabuk.”
“Apaaa??”
“Hey, Ann. Boleh aku jadi pacarmu?”
“Hmm...apa? Mau jadi pacarku? Copotin dulu tuh anting di bibir!” Ann tertawa lepas, kemudian mual, ”aku mau muntah..........HOEEKKK!!” Semua orang yang melewati mereka menutup hidung menyaksikan peristiwa itu. Ann muntah di mana-mana. Perutnya terasa melilit, seakan-akan ada sesuatu yang mengaduk-ngaduk isinya dan memaksanya keluar. Belum pernah Ann merasa mual sampai separah ini. Belum lagi kepalanya terus berdenyut-denyut seperti mau pecah. “Tuh kan, udah muntah kayak gini masih mau masuk ke dalam lagi?” Dennis mengambil HP dari saku celananya, ia menekan nomor Vincent, ”Halo, Vincent? Aku pinjem kondominium-mu malem ini ya!”

Kemudian ia menarik Ann sambil tersenyum misterius, “Ayo kita pergi dari sini, masih banyak tempat lain buat senang-senang.” Ann tertidur saat Dennis menyetir mobilnya dalam keheningan malam. Berkali-kali Dennis mengintipnya. Ia tersenyum, Ann sebenarnya cantik. Rambut panjangnya yang hitam legam tergerai jatuh di pundaknya, wajahnya putih mulus, bibirnya mungil begitu juga hidungnya. Tatapan matanya selalu bersinar-sinar setiap kali ia bicara. Meskipun dia tidak secantik Emma, tapi ada sisi lain darinya yang bisa membuat orang penasaran. Saat mobilnya berhenti di lampu merah, Dennis segera mengeluarkan saputangan dari sakunya. Perlahan-lahan ia mencondongkan tubuhnya ke tempat Ann, disekahnya sisa-sisa muntahan dari bibir Ann dengan lembut.
“Ergh....”
”Sudah bangun?” bisik Dennis pelan.
“Josh........” ternyata Ann mengigau. Dennis tertegun. Josh?
“Kau bodoh....bodoh sekali.....tapi aku tidak mau kau terluka.”

Tiiitt tiiitt.........mobil-mobil di belakang membunyikan klaksonnya, memarahi Dennis yang tidak maju-maju meskipun lampu sudah hijau. Dennis masih memperhatikan Ann dengan seksama. Ia mendesah sebentar lalu kembali menyetir mobilnya.
***

Ann membuka kelopak matanya perlahan-lahan, matanya perih menangkap cahaya lampu yang kelewat terang di depan matanya. Ia memejam matanya beberapa menit sampai akhirnya ia mendengar suara Dennis.
“Sudah bangun ya?”
Ann membuka mata. Ia menatap sekelilingnya dengan mata terbelalak, ”Di mana aku?!”
“Tenang aja, kau sekarang di tempatku.”

Dennis menghampirinya dengan segelas the hangat, “minum dulu.”
“Tidak mau.” Ann menatap dirinya sendiri dicermin besar yang ada di depan ranjang tempatnya berbaring sekarang. Keadaannya benar-benar tidak karuan. Muka pucat, rambut acak-acakan, dan.... ”HAH!?” Ann tercengang melihat kancing kemejanya yang terbuka lebar. Cepat-cepat ia mengancingnya kembali sambil menghindar dari lirikan mata elang Dennis. Dennis hanya tersenyum ringan melihat tingkahnya.
“Ngapain dikancingin lagi? Tadi di diskotik kelihatannya kau tidak
terlalu keberatan.”
”Tadi? Tadi aku ngapain saja? Aku....tidak ingat apa-apa.”
“Ngapain aja? Hm....seingatku, tadi kau asik sendiri dengan seorang cowoberpenampilan preman, kau mabuk berat dan melakukan hal-hal yang liar bersamanya. Karena lagi mabuk, kau tidak peduli meskipun dia nyaris melecehkanmu. Untung aku mencegahnya.” jawabnya mantap.
“Kok aku bisa ada di sini?! Ini di mana?”
“Di kondominium Vincent.”
Ann terhenyak, “Kenapa kau membawaku ke sini ! Aku mau pulang! Ini.....ini sudah jamberapa?!”
“Kira-kira sudah jam 1 pagi. Aku membawamu ke sini karena aku tidak mau mengantarmu pulang dalam keadaan mabuk berat, bisa-bisa aku dibunuh orang tuamu! Lagipula sudah lewat tengah malam.”

Ann langsung kalang kabut mendengarnya, ia memutar otak untuk mencari penjelasan yang tepat yang harus diberikan pada kedua orang tuanya nanti. Tapi rasa sakit dikepalanya itu semakin menjadi-jadi. Rasanya ia ingin muntah lagi.
“Sudah kubilang, minum ini dulu.” Dennis menyodorkan teh hangatnya lagi.
“Tidak mau!” Ann teringat dengan kisah-kisah tragis yang pernah dialami remaja putri seusianya sewaktu mereka diajak ke hotel, kondo atau apartemen dalam keadaan mabuk, ketika mereka sudah lumayan sadar mereka justru diberi minum yang sudah dicampur
dengan obat tidur.
Dennis mengerti apa yang ada di pikiran Ann, “Kalau aku mau mencelakaimu, itu sudah kulakukan dari tadi
sebelum kau bangun!”

Ann tetap tidak percaya, bagaimana pun ia belum mengenal betul cowo yang ada dihadapannya itu. Ia tetap harus berhati-hati.
“Tidak, aku tidak mau. Aku mau cuci muka dulu.” Ann beranjak dari tempatnya, dengan langkah sempoyongan ia masuk ke kamar kecil. Dibukanya kran air besar-besar, kemudian ia membasuh wajahnya. Ia mendongak menatap cermin dengan wajahnya yang basah, tidak percaya melihat seperti apa dirinya sendiri saat ini.

Aku memang mau senang-senang........tapi bukan seperti ini caranya. Kenapa aku jadi kacau begini? Hatinya gundah memikirkan apa yang akan di katakan kedua orang tuanya kalau nanti ia pulang. Sekujur tubuhnya bau asap rokok dan mulutnya bau alkohol.

 Matilah aku kali ini!

Tiba-tiba pintu dibuka dari luar, Ann kaget setengah mati, lalu dengan wajah tanpa rasa bersalah Dennis muncul sambil membawa sebuah handuk kecil, “Pasti kau mau mandiya? Nih handuknya. Ada baju kaos di lemari Vincent, mungkin agak kebesaran untuk ukuranmu tapi lebih baik ganti daripada tetap memakai bajumu itu. Kau tercium seperti sosis panggang.”

Ann membisu.

“Oh iya, lebih baik kau telepon ke rumah dulu. Bilang saja kau lagi nginap di rumah teman. Nanti pagi kuantar kau pulang.”

Dennis melempar handuk itu ke wajah kaget Ann, kemudian ia menutup pintu. Dennis mendesah kecil saat HP di sakunya berdering. Caller ID menunjukkan nama Vincent, tanpa banyak bicara Dennis segera menjauh dari pintu WC, “Halo.”
“Dia ada di situ denganmu?” tanya Vincent.
“Iya, lagi mandi.”
“Gimana? Kau tetap mau menjalankan rencanamu?”

Dennis terdiam sesaat, menimbang-nimbang.

“Jangan ditunda-tunda lagi, Dennis. Kau tahu sendiri kan ini sudah tanggal berapa? Aku tidak bisa banyak membantumu lagi, memangnya kau kira orang tuaku tidak curiga aku minta-minta duit terus?! Gadis itu satu-satunya harapanmu! Memangnya kau punya ide
lain apa? Merampok bank? Kepalamu bisa dipenggal kalau kau tidak bisa melunasi hutangmu!”

Dennis menelan ludah, “Aku mengerti. Aku tidak akan minta bantuanmu lagi.”
“Aku bukannya tidak mau membantu. Selama ini aku selalu membantumu kan? Berapa pun yang kau minta aku selalu bisa membantumu, tapi itu kan duit orang tuaku.Mereka lama-lama mulai curiga.”

Dennis menatap kalender yang tergantung di depan dinding kamar Vincent. Sudah tanggal 8, berarti 2 hari lagi. Ia menghela nafas panjang menahan semua amarah yang berkecamuk di dadanya, “Aku sudah punya rencana,Vincent. Kau tenang saja.”
“Yah, lebih baik begitu! Jangan sampai gadis itu lepas darimu! Ingat, Dennis, dia itu satu-satunya harapanmu!”

Dennis tidak menjawab, ia segera menutup flip HP-nya.
***
5 hari yang lalu..........

Di gang yang sempit itu Dennis berhadapan dengan segerombolan preman berbaju hitam dan berwajah garang. Masing-masing dari mereka memegang besi seukuran tongkat bisbol. Jumlah mereka ada 12 orang, sedangkan Dennis seorang diri. Tapi ia tidak gentar sedikitpun. Pemimpin mereka yang berbadan besar dan sering dipanggil ‘Bos’ oleh anak buahnya, menghampiri Dennis sambil mengacungkan tongkat besinya, “Mana uangnya!”
“Cuma ada segini.” Dennis melempar setumpuk uang ke arahnya, “untuk sementara aku hanya bisa mengumpulkan 1 juta.”
”1 juta?!” Bos menempelkan tongkat besinya di wajah Dennis, ”kau tahu berapa banyak uang yang dipinjam ayahmu? 5 juta! Kenapa kau hanya memberiku 1 juta? Mau main-main denganku?!”
“Aku akan memberi sisanya nanti.”
“Nanti? Aku sudah terlalu sabar pada kalian semua, aku memberi kalian waktu 2 minggu untuk melunasi hutang. Tapi dalam 2 minggu ini kau hanya bisa membayar segini! Ingat baik-baik, bocah tengik, kalau kau tidak bisa membayarnya....aku akan memenggal kepalamu!”
“Beri aku waktu 1 bulan.”
”1 bulan?” Bos menengok ke anak buahnya sambil tertawa terkekeh-kekeh, “kalian dengar? Dia minta waktu 1 bulan lagi.” Mereka menertawai Dennis mentah-mentah. Kemudian Bos membalik badannya menghadap Dennis, wajahnya mengeras karena marah. “1 minggu cukup untukmu! Ingat, kau harus memberiku 4 juta dalam waktu 1 minggu. Kalau tidak....” BUK!!!! Sebuah tinju melayang keras di wajah Dennis. Dennis tersungkur jatuh di atas gundukan tanah basah. Belum puas dengan itu, Bos menendang perutnya dan
menghantam tongkat besinya ke punggung Dennis. Dennis meringis menahan sakit, tapi ia tidak melawan.
“Phuih!” Bos meludah padanya, “kau akan kubuat lebih mampus daripada ini kalau minggu depan uang itu belum sampai di tanganku!”

Mereka menertawai Dennis sepuas-puasnya,beberapa bahkan ada yang ingin ikut menghajarnya. Tapi Bos menyeret kakinya meninggalkan tempat itu, anak buahnya segera mengikutinya dengan setengah hati. Dennis hanya tersungkur di bawah, memegang perutnya dengan tetesan darah yang mengalir dari hidungnya. Ia meronta kesakitan, tapi tak berdaya melawan. 4 juta. Dimana ia harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu 1 minggu? Kalau saja keadaannya keluarganya masih sama seperti dulu...jangankan 4 juta, 10 juta pun bisa ia dapatkan dalam waktu 1 hari! Tapi keluarganya tidak seperti dulu lagi. Semuanya sudah hancur. Tidak banyak yang tahu kemelut apa yang tengah melanda keluarga Dennis sekarang ini.

Perusahaan yang dikelola ayah Dennis bangkrut total karena hutang-hutang yang berjumlah trilyunan rupiah yang tidak bisa dilunasi. Musibah ini datangnya begitu tiba-tiba, mereka harus menjual semua rumah dan tanah yang mereka miliki untuk melunasi hutang yang melilit. Semua barang-barang mewah pun ludes disita. Keluarga itu terpaksa pindah dan menelan kepahitan dicerca banyak pihak.Ayah Dennis tenggelam dalam kesedihannya dan ia perlahan-lahan terjerumus dengan minum-minuman keras dan perjudian. Siapa sangka, kebiasaan baru ayahnya itu justru membawa bencana baru. Ia
kalah judi sampai 4 juta rupiah. Semua hutang-hutang itu dilimpahkan pada Dennis, Dennis yang tidak terbiasa menjalani kehidupan keras mau tak mau harus berupaya melunasi semua hutang-hutang ayahnya.
Tapi 4 juta dalam 1 minggu? Rasanya itu mustahil. Mobilnya sudah disita, semua barang-barang mewahnya tak ada yang tersisa. Bahkan handphone yang ada di tangannya saat ini pun bukanlah miliknya. Vincent sudah terlalu banyak membantu Dennis, tapi semua uang yang ia berikan pada Dennis adalah milik orang tuanya, Vincent tidak bisa banyak membantunya lagi sejak kedua orang tuanya sudah mulai curiga. Keluarganya dengan keluarga Dennis memang kurang
harmonis sejak peristiwa itu. Lalu entah dari mana muncullah ide gila dari Vincent....
“Kau lihat cewe itu?” ujar Vincent beberapa hari yang lalu saat mereka pertama kali bertemu Emma, “denger-denger bokapnya pengacara kaya. Dekati saja dia, siapa tahu kalau dia jadi pacarmu dia
bisa banyak membantumu.”

Dennis menurut. Mulailah aksinya mendekati Emma. Emma dengan segala kepolosannya rupanya terlalu mudah ditaklukkan. Ia terpikat dengan penampilan, bujuk rayu dan semua omong kosong tentang kekayaan Dennis. Lalu tak lama kemudian, Ann muncul. Vincent nyaris tersedak waktu pertama kali melihat Ann dari kejauhan, “Itu temannya Emma? Gila, itu kan anak Presdir papaku!!”

Ia melotot pada Dennis, “Plan B, Dennis!Plan B! Percaya deh, tuh cewe hartanya berkelimpahan! Siapa namanya? Siapa?!”

Namanya adalah Ann.
Dennis berbaring di ranjangnya seorang diri, hatinya tidak bisa tenang, Ann saat ini mungkin sudah tidur berselimut mimpi di kamar sebelahnya. Dennis mendesah panjang, kata-kata Vincent terngiang-ngiang di telinganya dengan jelas.

Kau mau tahu jalan keluar dari masalahmu, Dennis? Gadis itu lah jalan keluarnya. Tidak ada yang tahu seperti apa kondisi keluarga
mu saat ini, termasuk dia. Kau butuh bantuannya, Dennis. Kenapa susah-susah? Pakai saja akalmu, jadikan dia pacarmu maka dia akan menyelesaikan semua masalahmu. Uang yang ada di brankas papanya jauh melebihi aku ataupun Emma. Ingat Dennis, aku tidak bisa membantumu lagi. Dalam seminggu ini kalau kau gagal mengumpulkan uang 4 juta, nyawamu bisa-bisa melayang!
***

Dennis memarkir mobilnya di depan sebuah rumah mewah bergaya yunani. Rumah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan rumahnya yang dulu. Beberapa mobil mewah terparkir di halaman depannya, mengingatkan Dennis seperti apa kehidupannya dulu. Lalu pandangannya tertuju pada pria setengah baya yang keluar dari pintu rumah sambil mengenakan dasinya. Pria itu melihat mereka dengan pandangan curiga. Kemudian Dennis melirik Ann, gadis itu kelihatan serba salah.

Pasti itu papanya.

Kebetulan....semua rencana Dennis berjalan lebih mulus di luar perkiraannya. Ann cemas melihat Papa sudah berdiri di depan pintu, mengamati mereka dengan muka galak. Papa memang bukan tipe orang tua yang suka ngomel-ngomel, tapi orang tua macam apa yang tidak cemas melihat anak putrinya tidak pulang semalam, dan pagi-pagi malah diantar seorang cowo?!

Ann menoleh pada Dennis. “Sudah sampai, ini rumahku. Kau mau
mampir sebentar?”

Aduuh...please jangan mampir, aku cuma basa-basi
“Tidak, lain kali saja.”
“Kalau begitu aku masuk dulu ya.”
“Eh tunggu.” Dennis mencekal tangan Ann, “kita pacaran kan?”
Ann menganguk kecil, “Iya.”

Terserah deh....yang penting kau tidak pacaran dengan Emma.

“Kalau gitu....sun dulu donk.” Dennis menyodorkan pipinya.

Ann tercengang tak percaya, mana mungkin ia mau memberi sun pada cowo ini! “Apa-apaan sih? Lain kali aja!”

Tidak akan ada lain kali....

Saat Ann membuka pintu mobilnya, lagi-lagi Dennis mencekal tangannya. Ia menarik Ann mendekat ke arahnya lalu tanpa aba-aba, diciumnya pipi Ann sekilas. Wajah Ann merona merah dalam sekejap, cepat-cepat ia menghapus sisa-sisa kecupan Dennis di pipinya. Papa melotot, menyaksikan pemandangan mesra di dalam mobil itu.
“Kau ini apa-apaan!!” Ann mengosok pipinya kuat-kuat. Ia merasa jijik sekaligus kesal.
“Itu artinya kita udah resmi pacaran. Baru pipi aja kok, entar bibir nyusul deh...” Dennis tersenyum geli.

Ann tidak mau berdebat panjang-panjang dengannya, lagipula ia juga tidak mau lama-lama di dalam mobil. Bisa tambah runyam masalahnya. Ia membuka pintu mobil dengan kasar dan langsung meninggalkan Dennis. Langkahnya tergopoh-gopoh memasuki halaman rumah dan menghadap Papa yang sedari tadi terus berdiri mematung menatap mereka. Tapi apa yang terjadi? Dennis malah menyetir mobilnya ke depan gerbang pintu rumah, ia membuka kaca mobil dan berteriak lantang, “Bye, honey!!!! Nanti aku telepon ya!! Thanks buat semalam!!!”

Mulut Ann menganga, wajahnya pucat pasi menahan malu. Papa menengok ke arahnya setelah mobil Dennis pergi, alisnya terpaut naik,”Kamu bilang semalam kamu nginap di rumah Priska, tapi kenapa anak laki itu yang mengantarmu pulang? Tadi itu...kenapa dia cium pipi kamu?”

Ann paling tidak bisa berbohong pada orang tuanya apalagi pada Papa yang tegas, tapi kali ini ia mau tak mau harus berbohong, “Aku kemarin memang nginap di rumah Priska,Pa. Priska tidak bisa antar aku pulang, nah kebetulan dia bisa. Jadi.... ya....gitu deh!”

Papa berkacak pinggang, “Lalu ciuman itu?”
“Itu....cuma sun pipi kok.”
“Tadi dia bilang ‘thanks buat semalam’, apa maksudnya?”
“Oh itu..” Ann tersenyum kikuk, “semalam aku traktir Priska makan-makan, dia juga ikut. Cuma itu kok,Pa.”

Papa mendekati wajahnya dan menatap Ann dalam-dalam, keningnya berkerut saat ia tahu putri bungsunya itu sedang berbohong. Tapi Papa tersenyum, “Jangan bohong, Svannie. Papa bisa lihat kok, kamu ini
sama dengan kakakmu, paling gak bisa bohong. Nah, sekarang ngaku ama Papa ya....itu tadi pacarmu kan?”

Ann salah tingkah.
“Punya pacar kok gak cerita-cerita?” Papa tertawa lucu, “anak Papa udah gede ternyata....Ya udah, cepet sana masuk. Mama udah siapin sarapan tuh.”

Ann tersenyum lega. Tapi setelah Ann masuk ke dalam rumah, senyum Papa memudar. Bagaimana mungkin anakku pacaran dengan anak muda

berpenampilan urakan seperti itu? Apa benar ia kemarin nginap di rumah Priska?

Dennis memegang stir mobilnya kencang-kencang hingga buku-buku jemarinya memutih. Otaknya bekerja keras menyusun rencana. Aku harus mempengaruhi Ann sampai Papanya tidak suka Ann bergaul denganku. Aku akan membuat Papanya rela membayarku berapa saja asalkan aku mau menjauhi anaknya. Ya, aku harus tetap menjalankan rencanaku ini!
***

Ann masuk ke dalam kamarnya, ia melempar tasnya ke atas tempat tidur lalu berlari-larikecil ke kamar mandi. Ia mengaca, cemberut.

Nasibku memang sial....belum pernah pacar an tapi sekali pacaran malah ama cowo brengsek itu! Kenapa harus dia yang jadi pacar pertamaku?!

Ann teringat jaman-jamannya dia waktu kecil, ia selalu mengimpikan akan menjalin hubungan dengan seorang cowo baik-baik seperti sosok seorang pangeran tampan berkuda putih, pangeran tampan itu akan menjadi pacar pertamanya dan kemudian mereka akan memiliki kisah cinta yang indah. Semua itu diimpi-impikan Ann dengan begitu sempurna seperti cerita-cerita di dalam dongeng. Tapi lihatlah apa yang terjadi sekarang. Yang menjadi pacar pertamanya justru adalah Dennis, cowo menjengkelkan yang baru dikenalinya selama 3 hari ! Ia tidak akan berbuat seperti itu kalau saja ia tidak ingat dengan Josh, dengan apa yang akan Emma lakukan pada Josh kalau ia sudah mendapatkan Dennis. Ann tiba-tiba merasa sedikit takut. Takut kalau apa yang ia perbuat bukannya membuat suasana menjadi semakin baik, tapi malah membuat suasana menjadi semakin tidak karuan.
Apakah Emma akan benar-benar melepaskan Dennis?
***

Keesokkan harinya....

Dennis bangun dari tidurnya dengan hati was-was. Ia tahu betul sekarang tanggal berapa, sudah tanggal 10 Februari. Berarti sudah tiba batas waktunya untuk melunasi semua hutang. Dennis mengamati sekelilingnya, kamar tidurnya yang sempit dan sumpek tanpa jendela, tembok yang kotor dan retak, baju-baju berserakan di sana-sini. Dennis mengeluh panjang meratapi nasibnya. Ia harus segera mencari jalan keluar untuk menyelamatkannya dari situasi ini. Tapi boro-boro ingin keluar dari keterpurukan ini, untuk membayar hutang saja ia terpaksa harus menipu.

GUBRAKK!! Terjadi keributan di luar kamarnya. Dennis segera keluar dari kamar. Hatinya sesak melihat ayahnya pulang ke rumah sambil membawa botol minuman keras, wajahnya merah karena mabuk dan ia bicara tidak menentu. Ibu berusaha membantunya, tapi dengan kasar didorongnya hingga jatuh.
“Jangan mengurusi aku!!! Aku bisa jalan sendiri!!” Ayah melempar botol itu ke dinding, pecah berserakan di lantai mengenai Ibu.

Dennis berlari menolong ibunya. Ibu menangis tanpa suara, menahan sakit hati akibat perlakuan Ayah.
“Ayah, hentikan semua ini!!” teriak Dennis, “berhentilah menyakiti Ibu!”
”Diam, anak tengik! Aku adalah ayahmu! Kau berani membentakku, hah?! Kalau kalian tidak suka, kalian boleh pergi dari sini! Sana pergi!”

Dennis naik pitam, “Lihatlah sekelilingmu, Yah! Kita hidup seperti ini semua gara-gara Ayah! Kalau Ayah tidak berbisnis kotor dan terseret banyak hutang, kita semua tidak akan menderita seperti ini! Belum puas Ayah menghancurkan keluarga ini, Ayah malah berjudi habis-habisan dan terus menyakiti Ibu! Apa Ayah kira yang menderita di sini cuma Ayah saja? Ibu juga menderita! Aku juga!! Lihat hutang-hutang Ayah, aku yang harus menebus semuanya!!! Aku!!! ”

Ibu menangis-nangis sambil menarik putra semata wayangnya itu,
“Dennis....sudah,nak...sudah.”
“Biarkan saja, Bu! Aku sudah tidak tahan! Kalau ada orang yang harus pergi dari sini, dialah orangnya!!”

Ayah tertawa lantang, “Kau mau mengusirku pergi? Kalian bisa apa tanpa aku?”
”Justru kami bisa bertahan tanpa Ayah. Baik, kalau Ayah tidak mau pergi. Lihat saja nanti.....kalau aku sudah melunasi semua hutang, aku akan membawa Ibu pergi dari sini!!”
“Anak sepertimu bisa apa? Kau sudah terbiasa hidup enak, kerja keras dikit aja kau tidak bisa!!”
“Aku bisa. Setidaknya aku tidak akan terpuruk seperti Ayah.” Dennis membantu Ibunya berdiri, kemudian menuntunnya masuk ke dalam. “Jangan khawatir,Bu. Aku janji akan segera melunasi hutang-hutang Ayah, aku akan membawa Ibu pergi dari sini.”
-------------

Vincent menguyah-nguyah tusuk giginya sambil mengamati Dennis. Wajah sahabatnya itu terlihat pucat, matanya memerah karena kurang tidur, rambutnya kusut dan penampilannya benar-benar berantakan. Kalau ada orang lain yang melihatnya seperti sekarang ini, mereka pasti mengira Dennis hanya berpura-pura. Tapi inilah Dennis yang sesungguhnya. Dia bukan lagi Dennis si anak orang kaya yang bisa terus membanggakan dirinya seperti dulu.
“Kau kelihatan kacau.”

Dennis mengacak rambutnya, kesal. “Sekarang sudah tanggal sepuluh.”
“Ya, aku tahu. Mereka tidak akan melepaskanmu.”

Keduanya terdiam sesaat. Sunyi....

Vincent membuang tusuk giginya, “Jalankan rencanamu, Dennis. Jangan ragu-ragu lagi.Ini kupinjamkan mobilku.”
Dennis mengangguk kecil, diambilnya kunci mobil Vincent.
***

Ann sarapan pagi di meja makan bersama kedua orang tuanya. Papa duduk sambil membaca surat kabar paginya, sedangkan Mama mengolesi roti panggang mereka dengan selai. Ann menanyai kabar Caroline, kakaknya yang kuliah di Amrik, dan Theodore tunangannya. Mama tersenyum menceritakan kisah-kisah lucu yang terjadi sewaktu Caroline mencoba gaun pengantin. Papa mendelik menatap Ann, “Kamu mau nyusul ya? Masih kecil jangan main tunang-tunangan ya.”
“Idih Papa...” Ann ngeri membayangkan dirinya tunangan dengan Dennis.
“Oh ya....beberapa hari ini kenapa Emma sudah jarang ke rumah?”
“Mungkin dia lagi banyak kerjaan. Sekarang kan lagi musim ulangan, Ma.” hatinya sakit memikirkan pertengkaran mereka tempo hari.
“Kalian bertengkar ya?”
”Tidak!”
“Benar? Mama bisa liat loh. Kamu ini kan paling gak bisa boong.”

Tapi sudah beberapa hari ini aku berbohong........

“Benar, aku dan Emma baik-baik saja, kan tadi aku sudah bilang sekarang ini lagi musim ulangan, Emma pasti lagi sibuk-sibuknya.”
“Ya sudah kalau begitu. Oh ya, Pa.” Mama menatap Papa, “gimana kuliahnya Svannie? Sudah diurusin semuanya?”
“Sudah beres. Anak kita ini tinggal nyantai-nyantai aja, abis lulus SMU udah bisa langsung kuliah di luar. Kamu pilih Inggris kan? Kenapa tidak mau ke Amrik? Kan ada Caroline di sana. Gak mau ketemu kakakmu?”
“Bukan begitu....tapi kan universitas yang cocok adanya di sana.”
“Kamu yakin mau ambil kedokteran? Gak mau ambil manajemen aja, nerusin usaha Papa?”
Papa tertawa renyah, “kasian ya Papa, punya anak yang satu mau jadi pengacara, yang satunya lagi mau jadi dokter. Mana nih yang mau jadi pengusaha?”
“Ya nanti donk, tuh kak Caroline kan udah mau married. Sapa tau kak Theo bisa bantuin
Papa nanti.”

Papa baru saja mau menimpalinya kalau saja Bi Sumi tidak datang terburu-buru
memanggil Ann, “Non, ada yang dateng cariin tuh.”
“Pasti Priska.” Ann bangkit berdiri dari meja makannya, langsung berlari ke ruang tamu.
“Priskaaaa.....” Ann menari-nari menyambut Priska di ruang tamu, tapi ia tersentak kaget
begitu sampai di ruang tamu yang ada disana bukanlah Priska, “kau? Mau apa?”
Dennis tersenyum manis, “Pergi yuk.”
“Ke mana? Aku tidak mau ke tempat kemarin lagi! Itu bukan tempat buat senang-senang.”
“Aku cuma mau mengajakmu makan-makan. Itu aja kok. Pulangnya sore deh, gak
bakalan malem lagi. Janji!”
“Awas kalau pulangnya malam-malam lagi! Ya udah, aku ganti baju dulu.”
------------

Tanpa curiga sedikitpun, Ann mau diajak Dennis makan-makan di sebuah restoran
sederhana yang suasananya tidak terlalu nyaman. Ann terpaksa pergi kalau Dennis mengajaknya, ia tidak mau Dennis tahu kalau ia mau pacaran dengannya cuma demi Josh.
Tapi Ann sendiri pun tidak tahu kalau Dennis memacarinya juga demi sesuatu.  Ann memesan makanan sementara Dennis pergi meninggalkannya sebentar. Mau ke WC katanya.
Tapi Dennis sebenarnya pergi ke pintu belakang restoran itu, keluar menemui seseorang.
“Mana bos?”
“Mau ngapain!” orang kurus yang lagi asik main domino dengan seorang temannya itu
marah melihat kehadiran Dennis.
“Bilang ama Bos, uangnya belum bisa kukumpulkan.”
“Apa? Cari mati ya?!”
Dennis tetap tenang ,“Tapi aku akan membayarnya karena aku sudah punya aset.”

“Aset apaan lu?!”
“Aku punya teman yang bisa membayar semua hutangku. Tapi beri aku waktu 3 hari lagi,  aku jamin aku akan mengembalikan semua hutang ayahku tanpa tersisa sepersen pun! Kalau perlu akan kulunasi beserta bunganya! Bilang itu sama Bos!”
“Eh...eh...tunggu!”

Dennis tidak mengacuhkan panggilannya, ia berjalan masuk ke dalam restoran. Begitu
sampai di meja Ann, ia kembali memasang wajah cengengesan, “Udah pesen makanan
belum? Restorannya emang rada butut, tapi makanan di sini enak-enak loh! Pesen aja
sepuasnya, restoran ini punya Pamanku!”

15 menit kemudian........

“Eh, aku boleh nanya sesuatu gak?” tanya Dennis sewaktu mereka sedang menyantap
pesanan mereka.
“Tanya apa?”
“Josh itu siapa sih?”
“Hah?”
“Waktu kau mabuk kemarin malam kau menyebut-nyebut namanya. Josh....Josh....Wah,
mesra banget deh pokoknya. Aku jadi iri.”

Ann tidak ingat ia pernah mengigau nama Josh di depan Dennis, tapi sedikitpun ia tidak
mau menceritakan masalahnya pada cowo norak itu, “Josh itu nama temanku. Pacarnya  Emma. Pasti waktu itu aku lagi mimpi buruk jadi ngigau yang aneh-aneh. Aku juga mengigau nama Emma kok. Kau tidak dengar ya?”
“Tidak.” Dennis tahu Ann berbohong, “tidak sama sekali.”
“Ya sudah. Aku ini kalau lagi mimpi buruk emang suka ngigau.”
“Kau pernah mimpiin aku gak?”
“Amit-amit deh!”
Dennis terkekeh, “Kau ini kenapa sih? Ama pacar sendiri kok kayak gitu? Eh iya aku
baru ingat, Valentine nanti kita mau ngapain ya? Dugem lagi yuk!”
“Aku tidak mau.”

Aku mau valentine yang romantis seperti difilm-film, di mana tokoh utama prianya datang di depan rumah sambil membawa bunga. Lalu pergi kencan di tempat yang special, pulang-pulangnya pria itu memberi kekasihnya ciuman pertama. Andaikan saja aku bisa punya valentine seperti itu dengan.... Ann berusaha menepis bayangan Josh yang mengusiknya. Tidak, Josh itu pacar Emma. Aku tidak boleh memikirkan yang bukan-bukan.

“MANA DIA !!! MANA ANAK TENGIK ITU!!!”

Lamunan Ann mengembun pergi saat suara kasar yang lantang itu memecahkan keheningan. Beberapa pengunjung restoran menjerit ketakutan melihat kedatangan segerombolan preman bersenjatakan tongkat besi. Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang. Ann terhenyak kaget melihat mereka. Dennis menahan nafas, keringat dingin mengucur dari keningnya.

Tidak......ini di luar rencanaku!

Bos muncul dari balik kerumunan itu, wajahnya menahan marah sambil mengacungkan tongkat besinya ke arah Dennis, “KAU SUDAH BOSAN HIDUP RUPANYA!! “

Dennis melonjak kaget dari kursinya. Ann tercengang ketakutan, ada apa ini?

Gerombolan berandalan itu menendang mejadan mengusir semua pengunjung restoran, para pengunjung berhamburan kalang kabut. Satu persatu lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Hanya tinggal Ann dan Dennis. Pemilik restoran yang notabene adalah paman Dennis juga tidak terlalu berani ikut campur, ia memilih bersembunyi di dalam dapur dan berdoa semoga berandalan-berandalan itu tidak memporak-porandakan restorannya.

Bos menghampiri Dennis dengan wajah geram, dicengkramnya kerah baju Dennis,
“Bocah tengik, mana uangnya!!”

Uang? Uang apa?

Ann dilanda kebingungan dan ketakutan sekaligus.
“Sudah kubilang, beri aku waktu 3 hari lagi!” jawab Dennis.
“3 hari katamu? 3 hari?!!! KAU MAU MEMPERMAINKAN AKU, HAH!!?”

BUK! Bos meninju wajah Dennis. Ann memekik kaget.
“MATIIN AJA, BOS!!”
”KEROYOK RAME-RAME BIAR MAMPUS!!”
“BERI DIA PELAJARAN, BOS!”

Nafas Bos turun naik sambil terus mencengkram baju Dennis, “Aku sudah bilang waktumu cuma ada seminggu! Kau berani mempermainkan aku?!” Tangannya mengepal di depan wajah Dennis, “MANA UANGNYA!”
“Aku pasti akan membayarmu.”
“SIALAN!” Sebuah pukulan telak menghantam wajah Dennis! Dennis terhunyung mundur dengan darah menetes dari hidungnya.

Belum puas melihat Dennis hanya ‘mimisan’ , Bos menariknya dengan kasar dan menendang perutnya. Dennis mengaduh kesakitan sambil memegang perutnya, darah terus menetes dari lubang hidungnya, ia mencoba bangkit berdiri tapi Bos datang lagi dengan pukulan bertubi-tubi yang melayang ke sekujur tubuhnya. Bos menghajarnya seperti kesetanan, ia menendang, membanting, melampiaskan semua kemarahannya dengan sadis sampai puas. Anak buahnya bersorak-sorak melihat Dennis babak belur. Beberapa ikut maju menghajar Dennis rame-rame, besi-besi yang ada di tangan mereka dihantam ke Dennis tanpa belas kasihan. Salah satu dari mereka mengambil botol minuman dan melemparkannya ke kepala Dennis. Botol-botol itu pecah berserakan.

“Hentikan!!” Ann menjerit ketakutan, “hentikan, kubilang!!” ia berusaha meraih tangan salah satu dari mereka untuk menolong Dennis. Tapi justru ia yang terdorong. Ann bangkit berdiri, ia terus berteriak menyuruh mereka berhenti. Tapi suaranya tenggelam dalam keramaian dan aksi keroyokan itu terus berlangsung, Dennis bisa mati
di tangan mereka! Lalu entah kenapa Ann memberanikan diri mendorong tubuh besar Bos.

“PERGI KAU PEREMPUAN TENGIK!!” Bos marah besar, ia mencengkram pergelangan tangan Ann dengan kasar, tapi Ann malah menggigitnya, “BANGSAT!!”
Dan sebuah tinju melayang di wajah Ann! Telak..... Ann menjerit kesakitan, tubuhnya jatuh lunglai ke bawah. Sakit sekali.... Ann mengerang kesakitan dengan da rah menetes dari sudut bibirnya. Pandangan matanya mengabur. Suara-suara teriakan terdengar samar-
samar.....Kepalanya berat sekali. Wajahnya sakit sekali...Ia merasa lemah.

Apakah aku akan mati.........

Lalu ia merasa seseorang meneriaki namanya. Ada perkelahian di sana, ada yang ingin melindunginya.
“ANN!!”
***

Dennis terhenyak melihat Ann roboh dipukul Bos. Nafasnya tercekat,
rasa bersalah dan ketakutan menghantui dirinya. Tiba-tiba saja ia tidak merasakan sakit di sekujur tubuhnya, tendangan itu....pukulan itu....pecahan beling yang bersarang di kepalanya....besi-besi yang menghantam sekujur tubuhnya....Dennis merasa beku, tidak sakit, seolah-olah pandangannya menghitam dan hanya ada Ann di depannya. Gadis itu dalam bahaya.

Kemarahannya pun bangkit. Dengan seluruh sisa kekuatannya, Dennis bangun dan menerjang orang-orang yang sedang menghajarnya. Dengan cepat ia balas menghajar mereka satu persatu. Pembalasan!

“AKAN KUHAJAR KALIAN SEMUA!!!” entah dari mana kekuatan itu muncul, Dennis tidak peduli, ia membantai mereka satu-persatu tanpa pandang bulu. Kemarahannya benar-benar memuncak! Ia menyerang mereka dengan brutal.

Bos tertegun menyaksikan semua itu, ia melihat banyak anak buahnya yang berjatuhan.

“BERHENTI!!!! KUBILANG BERHENTI!!!” teriak Bos tiba-tiba.
Perkelahian itu berhenti mendadak. Mereka menatap Bos dengan kemarahan yang tertahan, mereka tak mengerti mengapa harus berhenti.

Nafas Dennis terengah-engah. Akan kubunuh kalian semua!

Ann menatap mereka dengan pandangan kabur. Sunyi senyap mengisi ruangan itu beberapa saat hingga ia berhasil mengumpulkan kembali semua kesadarannya. Ditatapnya Dennis dengan wajah memar.
Bos tiba-tiba menoleh ke tempat Ann. Cowo kurus kering yang tadi ditemui Dennis diluar restoran cepat-cepat menghampiri Bos dan membisikinya sesuatu. Bos mengangguk kecil, kemudian melempar pandangannya pada Ann. Ia mengerti sekarang.

Aset......gadis inikah aset yang dimaksud Dennis?

Ia menghampiri Ann dengan wajah geram, “Kau tahu kenapa bangsat itu kuhajar?”

Ann mengernyit ketakutan.         

“Dia hutang padaku 4 juta!”

Em...empat juta??

Ann melirik Dennis tak mengerti.

Besi dingin yang dipegangnya menempel dipipi Ann, “Baik, aku akan melepaskannya lagi kali ini. Tapi ini yang terakhir. Kalau uang itu masih belum sampai di tanganku, temanmu itu akan kubuat lebih mampus daripada sekarang! “
Ia mengacungkan tangannya ke Dennis, “Kau juga ingat baik-baik, bocah tengik, ini yang terakhir! Aku tidak peduli apa caramu untuk melunasiku, tapi kalau kau tidak bisa melunasinya......kau tahu sendiri, aku tidak akan segan-segan mengirimmu ke neraka!”

Dennis tidak peduli. Ia berani beradu pandang dengan Bos, menantangnya tanpa keraguan sedikitpun.
“Ayo pergi.”
“Tapi, Bos...”
“AYO PERGI!!”

Mereka geram, tapi terpaksa menuruti perkataan Bos. Satu persatu berjalan lunglai meninggalkan tempat itu.

Dennis menghampiri tempat Ann. Ann menatapnya dengan nafas tertahan, cowok itu babak belur.

Dennis segera berlutut, mengangkat kepala Ann dan tersenyum lemah padanya, “Lain kali jangan coba-coba menolongku. Dasar bodoh.”
***

“Kau mau tahu ceritaku yang sebenarnya? Inilah aku. Aku bukan Dennis si anak orang kaya. Aku tidak punya mobil, ayahku bukan pengusaha kaya dan ibuku tidak berpergian ke luar negri. Itu dulu. Dulu sekali. Sekarang keluargaku hidup melarat, kami hidup terkatung-katung dengan jumlah hutang yang tidak sedikit. Keluargaku sudah hancur, Ann.”

Ann menatapnya tak mengerti. Ada kesedihan yang dalam dari suara Dennis. Dennis meraih tangan Ann, mengenggamnya erat-erat saat ia melihat gadis itu tercengang kaget melihat ‘rumah’ barunya. Oh tidak, lebih tepatnya lagi ‘gubuk’ barunya. Dennis bahkan tidak yakin apa tempat se buruk itu pantas disebut rumah. Tapi entah kenapa ia ingin menunjukkannya pada Ann.

“Ayo,” Dennis membawanya masuk. Ann tak bersuara saat memasuki rumah sempit itu. Beberapa perabotan bekas yang tampaknya sudah tidak layak pakai berserak an di mana-mana, lantainya kotor dan berdebu, tapi bukan itu yang membuat Ann bergidik ngeri. Ia ngeri melihat beberapa pecahan kaca di dekat pintu rumah akibat pertengkaran tadi pagi. Ann tidak terlalu membanggakan kondisi keluarganya yang serba mewah, tapi sungguh ia menganggap tempat tinggal ini benar-benar tidak layak dihuni. Ia tidak menyangka kebangkrutan ayah Dennis sudah sampai separah ini.

“Ibuku mungkin sedang tidur. Kesehatannya akhir-akhir ini menurun drastis. Semua kejadian ini terlalu memukulnya. Belum lagi sifat ayahku yang semakin tidak karuan, aku sering memergoki ayahku memarahi dan memperlakukan ibuku dengan kasar,” Dennis mengintip ke balik sebuah pintu reyot yang jendelanya ditutupi kain
tipis. Ia tersenyum lemah melihat sosok ibunya yang memang tengah
tertidur di dalam. Suaranya serak,”aku sudah janji padanya, setelah semua urusan ayahku kuselesaikan, aku akan membawa ibuku keluar dari tempat busuk ini! Dari ayahku terutama....”

Ann mengamatinya dengan perasaan tak enak. Tapi apa yang bisa ia katakan?

Perkelahian di restoran tadi saja sudah hampir mem
buatnya mati ketakutan, dan kenyataan ini juga tak kalah menakutkannya. Ia samasekali tidak menyangka Dennis selama ini tidak seperti yang orang-orang kagumi. Tiba-tiba ia teringat dengan Emma, dengan betapa tergiurnya Emma saat mendengar cerita-cerita tentang kekayaan Dennis. Tapi Ann juga tidak bisa menertawainya. Bukankah ini semua di luar kemauan Dennis? Ann kaget tau-tau Dennis sudah berdiri lagi di depannya, “Wajahmu tidak apa-apa?”

Ann menggeleng, senyumnya benar-benar terpaksa. “Tidak apa-apa.”

Pipiku seperti mati rasa.........

Dennis mengamati lebam merah yang bersarang di sudut kiri bibir Ann akibat pukulan Bos, ia mendesah kecil, ”Tunggu disini, aku akan ambilkan obat.”
“Eh, tidak usah.”

Dennis tertegun.

“Lebih baik kau urusi dirimu sendiri. Lihat, kau sampai babak belur begini.”

tiba-tiba Ann tertawa, “tampangmu benar-benar tidak karuan.”

Dennis tanpa sadar ikut tertawa. Ann sekarang tahu semuanya, mobil dan semua barang mewah yang digunakan Dennis saat ini adalah milik Vincent. Ia sama sekali tidak mengeluh, ia menduga semua itu dilakukan Dennis karena ia ingin tetap terlihat seperti anak orang kaya. Ann juga tahu kalau Dennis bukan tinggal di istana mewah seperti apa yang diceritakan banyak orang, keadaan memaksanya tinggal di tempat sempit ini. Lalu Ann kini juga tahu tentang keluarganya, tentang ibunya yang sedang sakit-sakitan dan tentang ayahnya yang berubah total menjadi pemabuk dan pemarah, juga tentang Dennis yang ingin segera membawa ibunya keluar dari tempat ini.

Tapi tetap saja ada satu hal yang tidak diketahui Ann.
Dennis masih menyimpannya dalam-dalam.
***

Pukul 18.30 Dennis mengantar Ann pulang. Bukan dengan mobil pinjamannya, tapi dengan bus. Saat itu bus ber-AC yang ditumpangi mereka sepi. Hanya ada beberapa bangku yang diisi penumpang, selebihnya kosong. Dennis menghela nafas dan membuang pandangannya keluar jendela.Rintik-rintik hujan di luar membasahi kaca jendela bus dan mengaburkan pandangannya. Dennis tetap mencoba menatap menembus kaca, tapi perasaannya membuat dia ingin menoleh kesamping, ke arah Ann.

Ia baru sadar ternyata gadis itu tengah tertidur. Sama persis seperti malam di mana ia tertidur dalam keadaan mabuk.

Tapi wajah itu begitu lelah........

Dennis terpaku dalam keheningan yang damai, mengamati Ann yang terlelap seperti sesosok malaikat kecil tanpa sayap. Mungkin sayap itu kasat mata, atau mungkin Dennis tidak sadar ia telah melihatnya. Dennis tersenyum pahit, mampukah ia melukai malaikat ini?

Ia telah menyusun rencananya satu persatu dengan begitu rapi, dengan harapan pasti bahwa rencananya itu akan berjalan dengan mulus. Tapi apa yang terjadi pada mereka siang ini sama sekali tidak termasuk dalam salah satu rencananya. Sedikitpun ia tidak ingin ada yang menyakiti Ann, apalagi sampai memukulinya. Tapi bukankah ia sendiri saat ini tengah ‘memukulinya’ dengan satu rencana kotor?

Dennis membisu. Hatinya dilanda keraguan yang besar. Ia terenyuh melihat Ann yang mencoba melawan orang-orang
yang mengeroyoknya tadi siang.

Ia mencoba menolongku tadi....padahal ia tidak tahu akulah orang yang akan mencelakainya.



Dennis menoleh saat tubuh Ann bergerak sedikit, gadis itu bersandar kelelahan di tempat duduknya yang berlobang-lobang. Dennis merasa iba, diraihnya kepala Ann pelan-pelan agar tidak membangunkan gadis itu, lalu disandarkannya di bahunya. Lengan Dennis yang penuh luka bergerak perlahan, gemetar, ingin rasanya ia merangkul Ann. Tapi ia mengurung niatnya, ia takut akan membangunkan Ann........

Tapi terlebih-lebih lagi ia takut gadis itu akan menolaknya.

Saat Ann tertidur di bahunya, Dennis merasa dunianya berubah. Ada yang menyentuh hatinya meski ia terus menyangkal. Perasaan itu berkecamuk di dalam hati kecilnya, ia ingin melindungi gadis itu....ingin memberikan sesuatu yang mungkin sampai kapanpun juga tidak akan bisa diberinya....ia ingin membawanya terbang tinggi dengan sayap-sayapnya yang masih rapuh. Dan dari dalam lubuk hatinya ia ingin gadis itu suatu hari akan tersenyum untuknya. Hanya untuknya......

Dan tiba-tiba saja Dennis merasa takut akan kehilangan Ann.

Saat itu Dennis sadar, ia sudah jatuh cinta padanya. Pada malaikatnya yang sedang tertidur.....

Aku ingin menjadi seseorang yang berarti bagimu. Aku ingin menjadi bagian dari tawamu, dari mimpi-mimpimu. Aku tahu kau tidak akan pernah memimpikanku. Mungkin tidak hari ini, mungkin juga tidak untuk selamanya. Tapi aku akan berdoa semoga aku bisa selalu memberimu mimpi yang terindah, dan kuharap suatu hari nanti....ya,suatu hari nanti, kuharap kau akan memimpikanku......


Dear Love.
Last night I watched you
sleep as you lay there
I dropped down to my knees and said a prayer
I leaned over softly to
kiss your beautiful face
But I could not cross the ocean of your grace
The moonlight held you a lot a picture of peace
The only song was the soft breeze from the east
My heart beat down in my chest
To the rhythm of your gentle breath
And the whole world calmed down
For this moment of rest
Now I 'm standing above you,
trying so hard not to tell you I love you.
And all that I want in this world is you.
If you'd only wake up,
You'd know it was true.....
Oh baby ‘I love you’ can be so hard to say
Especially when it's meant in this strong a way
But at this moment while you lie asleep
I am suddenly free
And my trembling arms reach out for you
As if you could see....
Now I'm standing above you
trying so hard not to tell you I love you,
And all that I want in this world is you
If you'd only wake up you'd know it was true
If you'd only wake up,
you'd know it was true.........
***

“Bawa ini.” Ann mengeluarkan payung lipat dari dalam tasnya. Payung lipat berwarna biru langit kesayangannya, payung yang diberikan Josh padanya, “sebentar lagi pasti hujan deras.”

Dennis mengambilnya. Kemudian mereka saling bertatapan dalam keheningan, sama-sama membisu. Dennis ingin membuka mulutnya, mengucapkan apa yang ada di hatinya saat ini, tapi bibirnya
malah terkatup rapat.
“Ya sudah kalau begitu,” Ann menekan bel di gerbang rumahnya, “aku masuk dulu ya. Sampai ketemu lagi besok.”
“Uhm...Ann..”
“Hm?”
Dennis menimbang-nimbang, ragu. “Tidak apa-apa. Sampai ketemu lagi besok.”

Ia tersenyum tak berdaya melihat Annmeninggalkannya masuk ke dalam rumah.
--------------

Ann pulang ke rumah diam-diam, ia menyembunyikan wajahnya, terutama pada memar di sudut bibirnya. Kalau ada yang menanyakannya, ia berdalih kalau tadi dia tidak hati- hati jatuh di tangga dan membentur tiang. Tapi Papa toh tetap bisa melihatnya. Papa menahan rasa cemasnya di dalam hati. Ia melihat jelas dengan siapa Ann pulang malam-malam begini, lagi-lagi dengan anak berandalan itu. Dan keadaan anak itu juga tidak kalah buruknya, bahkan lebih parah dibandingkan Ann. Orang paling tolol sekalipun pasti tahu kalau luka-luka itu diakibatkan dari perkelahian. Tapi pertanyaan yang berkecamuk di benak Papa adalah apakah putrinya juga terseret dalam perkelahian itu? Kenapa putrinya sekarang bergaul dengan berandalan itu? Kenapa sejak saat Ann tidak pulang semalaman, sekejap saja ia sudah menjelma menjadi sosok yang lain yang seolah-olah menyimpan sejuta rahasia?

Dan tiba-tiba saja Papa dilanda ketakutan. Ia tidak ingin Ann berg
aul lagi dengan anak berandalan itu.

Keesokkan harinya di sekolah...
Emma meninggalkan ruangan OSIS dengan malas-malasan. Ia mengambil HP mungilnya dari dalam tas, mengamati puluhan delivery report yang masih berstatus pending sejak
kemarin. Emma tidak percaya orang seperti Dennis tidak mengaktifkan HP selama seharian penuh. Lalu ia menekan nomor
Dennis, segera memasang kuping baik-baik menanti suara jawaban Dennis. Tapi malah masuk mailbox. Emma kesal bukan main. Ditendangnya sampah botol minuman yang tergeletak di depan
sepatunya.

Lalu samar-samar ia mendengar suara canda tawa dari seberang sana. Suara tawa yang tidak asing baginya. Emma menoleh, ia melihat Ann bersama Ria dan Priska sedang asik bercanda di kelas mereka yang kosong. Emma agak terkejut melihat lebam merah di pipi kiri Ann. Diam-diam hati kecilnya tergerak untuk sekedar mencari tahu apa yang terjadi pada Ann sampai memar begitu. Tapi gengsinya kembali menguap-nguap, mengalahkanseluruh perasaannya.

Buat apa!! Dia mau jungkir balik kek, itu bukan urusanku!

Emma tersenyum pahit pada dirinya sendiri, aku tidak mau peduli lagi sama dia! Memang lebih baik begini, siapa suruh waktu itu dia nyolot!
“Emma.” Josh datang sambil membawa 2 helm motor, ia menyodorkan helm itu pada Emma, “Pulang yuk.”
“Yuk.”

Emma segera menarik Josh pergi dari situ, daripada nanti Josh melihat Ann dan malah memanggilnya ke tempat mereka. Josh tidak
perlu tahu tentang masalah antara mereka berdua, Emma yakin betul Josh bisa kalang kabut kalau sampai ia tahu. Lagipula Emma tidak mau Josh tahu apa-apa tentang Dennis si gebetan barunya.
“Eh, ke kantin dulu yuk. Aku mau beli minum sebentar.”

Emma menyamperi salah satu stand di kantin sekolah dan membeli satu gelas air mineral dingin. Ia mengambil sedotan dari ujung meja, lalu tiba-tiba saja Josh datang terbirit-birit padanya.
“Hey, cowonya Ann dateng tuh!” seru Josh sambil tertawa.
“Apa??”
“Itu tuh...” Josh menunjuk ke depan tempat parkir motor, di situ berdiri seorang cowo yang tidak asing lagi bagi Emma.

Emma nyaris memuntahkan minumannya. Tersedak kaget melihat Dennis ada di sekolahannya sekarang. Ia senang karena menyangka Dennis datang kemari khusus untuk bertemu dengannya.

Aih...senangnya....

Tapi kemudian kata-kata Josh tadi membuatnya kaku.
“Siapa tadi kau bilang? Pacar Ann?”
“Iya, waktu itu dia juga pernah datang kesini buat ketemu Ann. Aku sempat ngintip bentar tuh, kayaknya dia mesra banget sama Ann. Terus abis itu Ann pergi sama dia. Aku tidak pernah tahu kalau Ann ternyata sudah punya pacar, kenapa dia tidak pernah cerita padaku?”
“Tidak, itu bukan pacar Ann.”

Tapi......tunggu sebentar...........

Emma tercekat saat melihat Ann tiba-tiba muncul di tempat itu. Ann memang tidak menyadari keberadaan Emma maupun Josh, tapi Emma bisa melihat dengan jelas dengan mata kepalanya sendiri saat Ann menghampiri Dennis. Raut wajah Dennis kelihatan bebeda, ia langsung tersenyum dan mengucapkan sesuatu pada Ann. Ann hanya
mengangguk kecil, lalu mereka pergi. Bersama-sama......dan Dennis menggandengtangan Ann.......

“Tuh kan.....itu memang pacarnya Ann. Wah....Ann harus diomelin nih, masak pacaran gak cerita-cerita?” Josh tertawa.
“.........”
“Apa mungkin dia malu? Tapi pacarnya lumayan kok.”
“Josh, kita pulang yuk. Sekarang juga.” Emma menyambar tasnya pergi dari tempat itu secepat mungkin, ia tidak mengacuhkan Josh yang memanggilnya dengan nada kebingungan.

Ia ingin segera pulang.....menghapus semua peristiwa tadi yang terekam dalam otaknya...ia ingin mencuci otaknya kalau perlu....ia ingin berteriak...ingin menjerit...ingin berlari mengejar mereka....ia ingin marah....

Ann, kenapa kau tega berbuat ini padaku ?!
***

Saat pertama kali melihat Dennis berdiri seorang diri menunggunya, Ann sempat tersenyum dalam hati. Ia sekuat tenaga menahan tawa sewaktu berhadapan muka dengan Dennis. Dennis, si manusia tindikan itu, secara ajaib sudah melepaskan semua atribut diwajahnya. Meskipun wajahnya sudah babak-belur sana-sini akibat perkelahian kemarin, tapi tindikan di wajahnya sudah ditanggalkan semua. Ia kelihatan lebih bersih, lebih fresh, lebih ganteng.

Ia kelihatan berbeda..........

“Kenapa senyum-senyum terus dari tadi?” tanya Dennis saat mereka berjalan keluar dari sekolah.
“Ta...tampangmu itu....HAHAHAHAHA” Ann tertawa lepas, “tindikannya dicopotin semua?”
“Kau sendiri yang bilang, kalau aku mau jadi pacarmu aku harus lepasin semuanya.”
“Kapan aku bilang begitu ??”
“Ada, waktu kau lagi mabuk. Mungkin kau sudah lupa ya?”
“Tapi begini memang jauh lebih baik. Kau kelihatan lebih rapi.”
“Tambah ganteng gak?”

Senyum Ann memudar, “Bisa gak, janganke-GR-an?” Ann tidak pernah mengerti kenapa banyak cewe, terutama Emma, tergila-gila pada Dennis. Padahal menurutnya Josh jauh lebih keren.
“Oh iya, ini payungmu.”

Ann membelalak tak percaya melihat paying yang disodorkan Dennis padanya. Itu bukan payung butut biru langit pemberian Josh! Payung lipat yang disodorkan Dennis berwarna merah, dan masih baru.
“Ini bukan payungku! Payungku warna biru langit.”
“Maksudmu payung butut itu? Aku sudah membuangnya. Ini kugantikan dengan yang baru, lebih bagus.”
”A...apa? Kau buang? Payungku kau buang?!”

Ann panik, “itu payung kesayanganku! Itu payung yang sangat berarti bagiku, aku se lalu menyimpannya meskipun sudah rusak!”
“Itu kan cuma payung yang sudah kuno...”

Ann tidak bereaksi, perutnya melilit membayangkan paying pemberian Josh sudah bergabung dengan sampah-sampah lain di tempat pembuangan. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Kenapa kemarin aku harus meminjamkan payung itu padanya !?

Tiba-tiba saja Ann merasa menyesal.
“Baiklah....baiklah....aku salah, aku minta maaf. Aku tidak tahu kalau payung butut itu, maksudku payung unik itu, ternyata sangat berarti bagimu. Aku benar-benar tidak tahu. Ini aku gantikan dengan yang baru. Aku mohon jangan marah lagi.”

Ann tetap tidak bereaksi. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Sebagian hatinya jengkel setengah mati pada Dennis, sebagian lagi sedih karena kehilangan barang pemberian Josh. Ia tidak bergeming meskipun Dennis terus membujuknya dengan kata-kata manis.

Hingga akhirnya Dennis mau berjanji, “Baik, gini aja deh...aku janji pulang nanti aku akan mengobrak-abrik tempat sampah untuk mencari payung itu. Kalau perlu aku akan mengendus-ngendus ke semua tempat pembuangan sampah untuk mencarinya.” Dennis menggerak-gerakkan lubang hidungnya, lucu. “Aku pasti akan menemukan payungmu. Nanti kukembalikan.”
“Kau harus menemukannya, apapun caranya aku tidak peduli.”
“Iya...aku janji.”

Akhirnya setelah dipaksa, Ann mau juga tersenyum cemberut. Dennis lega. Ia menggengam erat tangan Ann sambil tersenyum, “Jangan marah lagi ya, aku mau membawamu ke suatu tempat. Kau pasti akan suka.”
***

Ann susah payah memanjat tembok tinggi pembatas yang memisahkan taman itu dengan tanah kosong tempatnya berpijak. Ia tidak mengerti kenapa Dennis bersikeras mau mengajaknya masuk ke dalam. Ini namanya bukan masuk, tapi menerobos.

Taman itu sudah ditutup sejak pertengahan bulan lalu, Ann sendiri tidak pernah datang ke sini sewaktu masih dibuka, ia juga tidak tahu kenapa harus ditutup. Sejak taman itu ditutup, tidak ada seorang pun yang diperkenankan masuk dan tidak ada seorang pun yang mau
merawatnya.

Buukk....Ann mendarat tidak terlalu mulus diatas dedaunan kering. Ia bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk bajunya yang kotor. Beberapa saat kemudian Dennis sudah menyusulnya. Ia melompat santai di depan Ann sambil tertawa.
“Kenapa kita harus masuk ke sini? Tempat ini kan sudah ditutup!”
“Aku tahu, tapi aku akan membawamu keliling.”
“Kau ini......kenapa sih selalu membawaku ke tempat yang aneh-aneh? Pertama ke diskotik, lalu ke restoran sarang mafia itu, sekarang malah ke sini! Tolong bawa aku ketempat yang normal sekali-kali!”
“Tapi tempat ini bagus, yaaa....dulunya sih.” Dennis menatap sekelilingnya, “tapi aku jamin kau pasti akan suka. Ayo, aku akan membawamu melihat-lihat.”

Dennis meraih tangannya dan mulai membawanya menelusuri taman kosong itu.
Keadaan taman ini tidak terlalu bagus, juga tidak terlalu jelek. Mungkin karena sudah tidak terawat lagi maka taman itu jadi berkesan semerawut. Tapi pohon-pohon rindang masih menaungi sekeliling taman, kokoh tak tergoyahkan seakan-akan mereka akan selalu hidup untuk mengisi kekosongan tempat itu. Cahaya matahari sore menembus pepohonan, samar-samar menampakkan rona merahnya yang indah. Ann mengamati beberapa bangku kayu yang kondisinya sudah benar-benar tidak terurus, tertutup ranting dan dedaunan kering. Tapi Ann sempat tersenyum saat melihat ukiran-ukiran yang pernah digoreskan beberapa pasangan yang kasmaran saat mereka duduk dibangku itu dulu.

Tiba-tiba saja Ann merasa damai. Dihirupnyaudara sejuk dalam-dalam, dinikmatinya suara kicauan-kicauan burung yang merdu bak nyanyian sore abadi.
“Aku sering sekali ke taman ini waktu kecil, biasanya aku hanya sekedar duduk-duduk saja sambil melamun. Di sana ada danau, kalau sore-sore pasti indah sekali. Aku tidak pernah menyadari betapa indahnya tempat ini sebelum tempat ini ditutup, heran ya.”

Dennis membawanya ke depan danau yang kondisinya tidak terlalu baik. Tapi suasananya begitu damai.
“Kau tahu? Dulu orang-orang bilang kalau kita melempar koin ke danau ini dan meminta permohonan apa saja, pasti akan terkabulkan.”
Ann menoleh padanya, “Dan kau percaya?”
“Tidak.”
Keduanya membisu, tenggelam dalam lamunan masing-masing.
“Bagaimana kalau kita coba saja?” cetus Dennis tiba-tiba, ia jongkok ke bawah dan mengambil 2 batu kerikil kecil untuk mereka, “tidak ada koin, batu pun jadi. Ayo, mintalah apa saja, tidak ada salahnya kan?”

Ann tersenyum-senyum sendiri mengambilkerikil itu. Ia menimbang-nimbang apa permintaannya.

Hoop! Tanpa aba-aba Dennis melempar kerikil itu jauh-jauh hingga tercemplung kedalam air danau. Ia tersenyum.
Aku ingin dia mengetahui perasaanku...

Sedetik kemudian Ann menyusul.

“Apa permintaanmu?” tanya Dennis ragu.

Ann tersenyum misterius, “Rahasia. Siapa tahu nanti kalau aku beri
tahu jadi tidak bisa terkabulkan lagi.”

 Lagi-lagi ia tersenyum,

Aku ingin semua masalahku dengan Emma selesai, aku ingin Josh selalu bahagia, aku ingin segera lulus sekolah dan kuliah di luar.

“Bagaimana kalau kita membuat perjanjian?”
“Perjanjian apa?” Ann menatapnya heran.
“Tempat ini akan menjadi tempat pertemuan kita setiap kali kita saling merindukan. Kalau kau merindukanku, datanglah ke tempat ini. Dan kalau ternyata kita bertemu disini, berarti ternyata hati kita memang sedang saling merindukan.”
“Baik.”

tapi Ann ragu apa ia akan pernah merindukan cowo itu.

Tak lama kemudian Dennis menoleh padanya, “Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu. “

Dennis tiba-tiba berlari kecil meninggalkannya, kemudian menghilang sebentar. Ann menunggunya dengan sabar meskipun ia lebih senang kalau tidak sendirian ditempat sepi ini. Diamatinya riak-riak air danau yang tenang hampir tidak bergerak, kemudian mendongak menatap gumpalan awan kemerahan yang menutupi langit sore.

Angin sepoi-sepoi menerpa memainkan rambutnya. Ia tersenyum penuh arti, berharap bisa selalu menikmati sore seperti ini.
Lalu ia mendengar derap langkah kaki, ia menoleh dan melihat Dennis kembali padanya sambil membawa setangkai mawar merah liar yang hampir layu. Ann benar-benar tidak menyangka, tapi ia senang. Tanpa sa dar ia tersenyum melihat bunga itu.

Dennis mendekati Ann sambil membawa mawar itu padanya. “Sudah hampir layu, tapi tadi aku sudah menelusuri seisi taman ini dan ternyata bunga inilah satu-satunya yang masih hidup. Kuharap kau mau menerimanya.”

Ann menutup bibirnya dengan tangan, setengah mati menahan senyum.

“Aku tahu aku memang bukan pacar yang baik, juga bukan yang seperti kau idam-idamkan. Tapi aku sungguh beruntung bisa bersama denganmu saat ini.”

aku memang si tolol yang beruntung.........sangat beruntung.....

“Kau ini kenapa sih?” Ann terkikik, berusaha sekuat tenaga agar tidak tersenyum terlalu banyak. Mulutnya ditutup lagi sebelum tawanya nanti meledak.
“Kejadian kemarin membuatku sadar sebenarnya kau ini sangat berarti bagiku. Aku tahu mungkin kau tidak merasakan yang sama padaku. Mungkin sekarang kau ada di sini bersamaku tapi hatimu sedang bersama yang lain. Aku benar-benar menyesal sudah menyeretmu ke dalam banyak masalah, maafkan aku untuk semuanya tapi aku tidak pernah bermaksud membuatmu terluka. Aku ingin selalu menjagamu..”

Ann membisu diam. Ia baru sadar Dennis ternyata serius. Entah mengapa tiba-tiba saja saat ia bertatapan mata dengan Dennis, ia baru menyadari hal-hal kecil dari cowo itu yang selama ini yang tidak ia perhatikan, sepasang matanya yang teduh, lekuk wajahnya yang sempurna, hidungnya yang mancung, rambut berantakannya yang tidak terurus....

“Svannie Celestine, bolehkah aku selalu bersamamu?”

Ia menyerahkan mawar itu pada Ann, meski ragu tapi Ann mau menerimanya. Meskipun sudah hampir layu tapi Ann terharu, ia belum pernah diberi mawar oleh siapapun. Ia lebih terharu lagi karena Dennis sampai menjelajahi seisi taman ini hanya untuk mencarikannya satu-satunya mawar yang masih hidup.

Saat itu tiba-tiba saja Ann melupakan semua masalahnya, lenyap tak berbekas meski hanya untuk sementara. Ia lupa masalahnya dengan Emma, ia lupa traumanya akan perkelahian kemarin, ia lupa tentang payung pemberian Josh yang dihilangkan Dennis, ia lupa dengan betapa menyebalkannya Dennis itu. Yang menari-nari di pikirannya hanyalah detik ini, saat ia meresapi semua keheningan milik mereka. Entah kenapa Ann merasa ada yang lain di dadanya, ia tidak mengerti mengapa jantungnya berdegup kencang saat ini. Kemudian ia tersenyum. Saat itulah saat yang tidak akan dilupakan Dennis. Ann tersenyum padanya untuk pertama kali. Hanya untuknya.
***

Dennis mengantar Ann pulang sampai di depan pintu gerbang rumahnya. Ann menekan bel dan menunggu pembantu rumahnya datang membukakan pintu.
“Payungmu pasti akan kutemukan. Nanti besok kukembalikan, kalau perlu malam ini juga.”

Meskipun Ann masih merasa sayang pada payung pemberian Josh, tapi dalam hati ia sebenarnya tidak terlalu memusingkan masalah itu lagi.

Ann berdiri salah tingkah di depan Dennis, tidak tahu harus bersikap bagaimana padanya. Sejak ia tahu isi hati Dennis, ia jadi merasa serba salah, tidak enak, tidak nyaman, tidaktenang....Ia terus bertanya-tanya kenapa Dennis bisa jatuh cinta padanya? Bukankah selama ini baik dia maupun Ann terkesan hanya main-main? Bukankah tujuan utama Ann pacaran dengannya semata-mata hanya untuk melindungi Josh dari kekejaman Emma? Kenapa semuanya jadi kacau begini? pikir Ann.

Tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri . Sebenarnya tanpa ia sadari, ia mulai merasa senang berada di dekat Dennis. Cepat-cepat Ann menyangkal perasaannya itu karena bayangan Josh masih tetap menari-nari dalam pikirannya. Selama masih ada Josh di hatinya, ia akan sulit menerima cinta yang baru dari siapapun juga.
“Oh iya....tentang hutang 4 jutamu itu....aku akan meminjamkan uangku untuk sementara.”

Dennis tertegun sejenak, “Tidak usah, aku bisa mencari jalan keluar lain.”
“Aku bukannya bermaksud menyinggungmu, tapi kalau besok kau tidak bisa melunasi hutang ayahmu itu, orang-orang itu tidak akan melepaskanmu. Mereka mungkin akan bertindak lebih jauh lagi padamu. Mereka itu mengerikan sekali. Orang kasar itu bilang padaku.....”
“Ann!”

Ann tersentak.

“Sudah kubilang, aku akan mencari jalan keluar lain. Aku akan baik-baik saja, janji.”
“Tapi....bagaimana caranya?”

Dennis mendengar langkah kaki pembantu rumah Ann yang tergopoh-gopoh membukakan pintu untuk Ann. Dennis lalu mengangguk sambil tersenyum padanya, “Kau tidak perlu khawatir tentang masalahku. Masuklah ke dalam, sampai jumpa lagi besok.”
“Tapi Dennis....”

Ann tidak berdaya melihat
kepergian Dennis dari tempatnya. 



0 komentar:

Posting Komentar

 

Widya Emblogs Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | Make Money from Zazzle|web hosting